Terima kasih. Walapun saya sangat suka menikmati tulisan Anda di milis ini (dan milis lainnya), tapi masih saja keliru mengeja nama Anda. Soal efisiensi birokrasi, rasanya sulit untuk memperoleh jawaban. Kita ini biasa dengan istilah resource-alocation dan menerapkan dalam kerangka mikro-ekonomi. Tapi saat mencoba untuk masuk ke ranah agregat yang lebih bercorak sosial-politik, rasanya sulit untuk menemukan jalan yang dapat dianggap saintifik. Birokrasi misalnya, lebih dari sekedar masalah mikro-ekonomi, tetapi juga menjangkau ke wilayah yang lebih luas. Kajian-kajian yang ada tentang masalah seperti ini umumnya bersifat positivistik dan hanya masuk ke wilayah analisis apa adanya. Instrumen yang biasa dikenal dengan sistem development, masih sangat jarang terdengar. Belakangan, sejak 1992 dan 1993, saat Hadiah Nobel memperkenalkan aliran pemikiran institutionalism dalam ekonomi, sebetulnya cahaya untuk mengkaji aspek-aspek agregat (yang lebih dari sekedar wilayah ekonomi), sudah mulai diangkat. Tetapi kenapa pemikiran seperti ini tidak berkembang. Pada saat 'rules of the game' yang mempengaruhi kinerja ekonomi sudah dilihat sebagai faktor yang sangat menentukan, kenapa hal seperti ini tidak dikembangkan. "Birokrasi yang efisien", adalah salah satu contoh permasalahan yang tidak atau belum pernah mendapat sorotan secara saintifik secara memadai. Akhirnya, masalah-masalah seperti ini seperti seperti sekedar wacana dan tidak pernah beranjak dari sekedar polemik. Barangkali Bung Poltak Hotradero bersedia memberikan pencerahan. Salam/W. Kasman
----- Original Message ----- From: Poltak Hotradero To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Sent: Friday, August 01, 2008 5:52 PM Subject: Re: [Keuangan] Fw: Nonton Bung Poltak Hotradero Koreksi. Nama saya Poltak Hotradero. Ya betul pertanyaan tersebut memang saya siapkan bagi para capres. Dan pertanyaan tersebut sebenarnya adalah pertanyaan jebakan. Kedua capres setuju pemerintahan kecil - tapi sepertinya mereka tidak cukup berdaya untuk memotong birokrasi di segi jumlah tenaga kerja. Padahal kita punya masalah besar, karena pos anggaran rutin terbesar dalam APBN adalah.... membayari pegawai negeri sipil (PNS). Padahal kita tahu efisiensi kerja birokrat kita sedemikian payah, yang berarti ongkos itu ditanggung oleh kita semua. Contoh sederhana yang saya ajukan dalam acara tsb. adalah bagaimana Depdiknas punya 200 ribu orang lebih pegawai non-guru. Apa iya kita perlu sebanyak itu - sementara banyak BUMN bisa beroperasi di seluruh Indonesia - hanya dengan sepersepuluh angka itu. Semua politisi bicara soal pemerintahan ramping -- tapi sepertinya tidak satupun mau melakukannya. Itu masalah kita.