At 11:31 AM 12/21/2009, you wrote:
>--- In 
><mailto:AhliKeuangan-Indonesia%40yahoogroups.com>AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com,
> 
>Poltak Hotradero <hotrad...@...> wrote:
>
> > Alasannya sederhana: untuk menjadi seorang profesional sejati --
> > perlu waktu, tenaga, dan peningkatan keahlian. Konsekuensinya? 
> Hanya tersedia sedikit waktu untuk bisa "kongkow-kongkow" di partai 
> -- yang sepengamatan saya -- makan waktu ribuan jam. Waktu yang 
> tentu lebih berharga bila digunakan untuk meningkatkan profesionalisme.
>
>Jawab:
>Nah ini juga pemikiran yang perlu diluruskan. Memangnya kalau ikut 
>berpartai bisa berkurang keahliannya?. Dengan berpartai, para 
>professional tersebut akan makin diasah dengan realitas nyata yang 
>dihadapi masyarakat dan kesulitan kesulitan yang bisa ditemui jika 
>ingin mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh. Tanpa terjun 
>langsung maka yang terjadi para profesional tersebut hanya akan 
>tinggal di menara gading dan menelan mentah mentah teori kapitalis 
>yang bisa jadi tidak cocok diterapkan di Indonesia.


Pengamatan saya sudah bertahun-tahun Mbak meliputi beberapa orang 
teman yang "nekad" aktif ikut di partai.  Hasilnya?  Nggak 
kemana-mana tuh.  Nggak tambah pinter dan juga nggak tambah profesional.

Yang ada tambah sibuk, tambah frustrasi dan keluar duit 
banyak.  Siapa sih yang bisa jadi profesional kalau berhari-hari dan 
berbulan-bulan harus ikut rapat ke luar kota dan harus melek ikut 
rapat sampai lewat tengah malam?

Di dalam partai saja sikut-sikutan.  Nggak heran kalau sesudah jadi 
anggota parlemen - mereka jadi cenderung korup.

Idealnya, SELURUH anggota kabinet adalah kaum profesional - karena 
kaum demikian sudah mendedikasikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk 
fokus pada bidang yang mereka pilih dalam kapasitas 
profesional.  Mereka akan bisa dinilai berdasarkan pemahaman dan 
keputusan profesional yang diambil.  Ini yang namanya meritocracy 
(pemerintahan oleh orang-orang yang mampu).

Kalau mau aktif di politik -- ya silahkan nangkring saja di parlemen.

Urusin tuh pembuatan undang-undang, supaya jangan cuman pemerintah 
saja yang bisa terbitin Undang-Undang - sementara parlemennya cuman 
bisa teriak-teriak (entah setuju atau nggak setuju) tanpa bisa 
memberi solusi.  Disuruh rapat saja malasnya minta ampun.

Parlemen kita masih seperti rombongan badut - itu masalah besar dalam 
demokrasi kita.



Reply via email to