Dan mengambil alih kepemimpinan politik suka tidak suka harus melalui jalur 
politik, yakni berpartai. Sebaiknya tidak perlu dipertentangkan apakah harus 
profesional non-partai atau sebaliknya. Persoalannya mungkin tidak di sana, 
karena jabatan setingkat menteri adalah jabatan politik. Bahwa di partai 
politik banyak yang buruk dan busuk, kita semua sudah tahu. Ini juga buah dari 
proses panjang ketika rakyat dibuat apolitis, dan dulu memilih jalur politik 
bisa diartikan bunuh diri, khususnya soal kesejahteraan dan karier, kecuali 
ikut partai pemerintah waktu itu.

Tapi apa yg diprihatinkan Bang Poltak juga beralasan, spektisisme pada para 
politisi kita, karena mereka lahir dari sistem politik yang sekedar menganut 
prinsip demokrasi formalistik, bukan substansial. Biaya politik sangat mahal, 
maka langkah pertama adalah mengembalikan modal, dan tentu harus membuka 
praktik negosisasi dan kolusi jabatan.

Pernah ada politisi yg berasal dari profesional di zaman reformasi, umumnya 
masuk ke PAN, dan tak sedikit yg bertahan, meski yg rontok jg banyak, semisal 
Faisal Basri. Kini kita masih bisa berharap, semoga dg masuknya banyak anak 
muda, mereka bisa mempertahankan idealismenya. Sejauh saya tahu, Budiman 
Sudjatmiko, Rieke Dyah Pitaloka, Miing Gumelar (PDIP), Nusron Wahid, Nurul 
Arifin (Golkar), dan beberapa yg lain masih bisa diharapkan (maaf saya tak 
hafal). Yang harus diawasi dan didekonstruksi adalah praktik oligarkhi dan 
kartel politik yg jelas tidak sehat.

Mari kita dorong makin banyak orang mau masuk ke parpol dg idealisme. Saya 
rasa, orang seperti Chatib Basri sekalipun tak bisa lagi menyebut dirinya 
profesional murni, karena ia telah menjadi bagian dari kekuasaan. Sebaiknya 
kita dorong saja mereka berkompetisi secara sehat, karena memimpikan zaken 
kabinet dlm format politik seperti sekarang tentu saja sulit. Reformasi harus 
dilanjutkan dengan agenda menyeluruh, dimulai dari penyusunan RUU yang baik, 
dan reformasi kelembagaan yang baik, termasuk konsistensi menerapan 
'treshhold', hingga nanti hanya akan ada setidaknya tiga partai, Partai 
Nasionalis, Partai Islam, dan Partai Independen.

salam




________________________________
Dari: teddy alfonso <teddyalfo...@yahoo.com>
Kepada: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Terkirim: Ming, 20 Desember, 2009 21:18:20
Judul: Re: [Keuangan] Re: Chatib Basri: Jangan Pertaruhkan Perekonomian 
Indonesia

  
Hemat saya, para profesional mesti mulai bergerak secara masif mengambil alih 
kepemimpinan politik negri ini. tentu bagi profesional yang sudah mapan. Tidak 
mungkin negri ini dibiarkan terus menerus diurus oleh orang2 yang tidak 
kompeten.

Teddy Alfonso Sikumbang

--- On Mon, 12/21/09, Poltak Hotradero <hotrad...@gmail. com> wrote:

From: Poltak Hotradero <hotrad...@gmail. com>
Subject: Re: [Keuangan] Re: Chatib Basri: Jangan Pertaruhkan Perekonomian 
Indonesia
To: AhliKeuangan- Indonesia@ yahoogroups. com
Date: Monday, December 21, 2009, 11:48 AM

 

At 11:31 AM 12/21/2009, you wrote:

>--- In 

><mailto:AhliKeuang an-Indonesia% 40yahoogroups. com>AhliKeuangan- Indonesia@ 
>yahoogroups. com, 

>Poltak Hotradero <hotrad...@. ..> wrote:

>

> > Alasannya sederhana: untuk menjadi seorang profesional sejati --

> > perlu waktu, tenaga, dan peningkatan keahlian. Konsekuensinya? 

> Hanya tersedia sedikit waktu untuk bisa "kongkow-kongkow" di partai 

> -- yang sepengamatan saya -- makan waktu ribuan jam. Waktu yang 

> tentu lebih berharga bila digunakan untuk meningkatkan profesionalisme.

>

>Jawab:

>Nah ini juga pemikiran yang perlu diluruskan. Memangnya kalau ikut 

>berpartai bisa berkurang keahliannya? . Dengan berpartai, para 

>professional tersebut akan makin diasah dengan realitas nyata yang 

>dihadapi masyarakat dan kesulitan kesulitan yang bisa ditemui jika 

>ingin mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh. Tanpa terjun 

>langsung maka yang terjadi para profesional tersebut hanya akan 

>tinggal di menara gading dan menelan mentah mentah teori kapitalis 

>yang bisa jadi tidak cocok diterapkan di Indonesia.

Pengamatan saya sudah bertahun-tahun Mbak meliputi beberapa orang 

teman yang "nekad" aktif ikut di partai. Hasilnya? Nggak 

kemana-mana tuh. Nggak tambah pinter dan juga nggak tambah profesional.

Yang ada tambah sibuk, tambah frustrasi dan keluar duit 

banyak. Siapa sih yang bisa jadi profesional kalau berhari-hari dan 

berbulan-bulan harus ikut rapat ke luar kota dan harus melek ikut 

rapat sampai lewat tengah malam?

Di dalam partai saja sikut-sikutan. Nggak heran kalau sesudah jadi 

anggota parlemen - mereka jadi cenderung korup.

Idealnya, SELURUH anggota kabinet adalah kaum profesional - karena 

kaum demikian sudah mendedikasikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk 

fokus pada bidang yang mereka pilih dalam kapasitas 

profesional. Mereka akan bisa dinilai berdasarkan pemahaman dan 

keputusan profesional yang diambil. Ini yang namanya meritocracy 

(pemerintahan oleh orang-orang yang mampu).

Kalau mau aktif di politik -- ya silahkan nangkring saja di parlemen.

Urusin tuh pembuatan undang-undang, supaya jangan cuman pemerintah 

saja yang bisa terbitin Undang-Undang - sementara parlemennya cuman 

bisa teriak-teriak (entah setuju atau nggak setuju) tanpa bisa 

memberi solusi. Disuruh rapat saja malasnya minta ampun.

Parlemen kita masih seperti rombongan badut - itu masalah besar dalam 

demokrasi kita.

[Non-text portions of this message have been removed]





      
___________________________________________________________________________
Dapatkan alamat Email baru Anda!
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke