Hi jg, Nah, itu point pertama postingku; dlm situasi yg tidak normal, sukses/tidaknya suatu keputusan yg diambil, hanya bisa dilihat dari probabilitas. Tidak certain. Ketika Hank Paulson mengambil keputusan untuk menyelamatkan Bear Stearns, dia jg cuma berharap bhw keputusan tersebut benar. (benar sih..meski cuma beberapa hari doang). ketika dia jg mengambil keputusan untuk tidak menyelamatkan Lehman, dia tentu jg berharap benar. Ternyata salah. Begitu jg ketika SMI & Boediono mengambil keputusan untuk menyelamatkan Century, terkandung jg unsur probabilitas (ngak enak dibilang gambling). Tapi keputusan tsb efektif.
Nah, pertanyaan bung Bayu, ada jawabannya. Sesudah kejadian tsb, Riley diperiksa termasuk oleh para ahli. Riley sendiri bilang ngak tahu kenapa dia bisa "tahu" bhw dia harus mengambil keputusan "yg benar". Cuma ada perasaan takut yg muncul ketika dia memperhatikan blip di radar. Pertanyaannya tentu, mengapa rasa takut tsb muncul. Setelah analisa beberapa lama. Ternyata meskipun blip misil dan blip A6 di frequensi yg sama dalam radar, tapi ternyata ada sedikit perbedaan dalam "timing". Nah, ini bawa aku pada point ke 2 ku. Hanya, dan hanya org yg involved dgn masalah tsb yg akan tumbuh hubungan emosionalnya. Jd para pengamat akan susah tumbuh "emosi". Para ahli neuro bilang "dopamine prediction". Salam, Enda --- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, Bayu Wirawan <bayu.wira...@...> wrote: > > Hi, > > cerita di bawah mengingatkan pada buku blink tulisan dari malcolm gladwell. > > cuma, repotnya adalah, bagaimana kita bisa tahu keputusan yang diambil > adalah benar? (dalam kasus di bawah, terbukti benda terbangnya adalah > misil musuh). > > > regards, > bayu