MessageP Sudja selamat malam, Wah saya ini hanya mampu baca baca saja karena terlalu serem untuk saya bicara soal listrik (sangat sadar bahwa ada masyaraakt yang belum menikmati listrik, dan juga banyak yang masih punya kemampuan ekonomi lemah jadi kalau pakai listrik juga susah)
Baca punya baca.... kita ini sedang berjuang katanya untuk 'renewable energy' salah satu upaya adaptasi climate change.... sedang kan P Sudja bicara terus mengenai batu bara...... saya bingung juga ini karena diskusinya jadi alot juga ya... kesepakatan bersamanya nggak kelihatan..... sedangkan kalau kita bicara soal teknis maka 1 tambah 1 sama dengan 2, tapi kalau soal sosial lain lagi jawabannya..... Sebagai sesepuh tentu kita ingin tau sebenarnya di belakang pengertian dari dua sisi berseberangan ini? Batubara versus renewable energy versus area abu abu? Saya bukan pejantan, tapi berani aja tanya tanya..... hehe Di Lamandau sudah berapa lama? apa dekat dengan rumah dari Prof. Manuaba yang dulu atau lebih dekat ke rumahnya Mary Pangestu? Saya ketika kecil tinggal di rumah pojok di jalan Sungai Pawan lo Pak..... Sempat masuk sd di PSKD yang pojok itu di depan rumah soalnya.. jadi kalau bel bunyi baru lari lari... Disana apa Keluarga Sukada masih ada? Dulu keluarga Kus Plus juga ada di seputaran sana..... salam, vieb ----- Original Message ----- From: Nengah Sudja To: bali@lp3b.or.id Sent: Thursday, January 17, 2008 1:10 PM Subject: [bali] Re: konferensi iklim dan bakar batu bara (a) Yth. Pak Wijaya Kusuma , Semeton Sareng Sami, Terima kasih atas input - inputnya. Yang jelas, membandingkan biodiesel tentu saja dengan solar, baik dari segi harga sampai dengan unjuk kerja engine. Membandingkan biogas tentu saja dengan lpg, dsb. Nah, sekarang saya mengerti apa yang Anda maksud, biodiesel bersaing dengan solar. Ketika harga solar Rp.3500 per liter. Setara tingkat harga 59,20 US $per barrel. Sementara, harga minyak sudah berada pada tingkat 100 US$ per barrel. Tetapi biodiesel tidak bisa bersaing dengan tarif listrik berbasis mixed fuel yang didominasi batubara. Untuk pembangkitan beban puncak dengan gas turbin atau diesel power plants yang masih memakai solar, biodiesel bisa bersaing, tapi tergantung pada keadaan setempat, bila tak ada pengganti solar misalnya tidak tersedianya gas alam atau hydro peaking unit. Jadi biodiesel bisa bersaing sebagai subsitusi solar, pada tingkat harga lebih murah dari solar. Sekalipun nantinya PLN atau Indonesia Power menggunakan jalur Jawa-Bali, masih banyak tenaga diesel yang ada di lapangan. Mulai dari genset, traktor, kapal laut, transportasi darat, dll, yang kebutuhan akan solar juga tinggi. Sementara itu, daya beli masyarakat sudah menurun. Kalau saluran 500 kV Jawa-Bali dibangun , pasokan biodiesel untuk PLN akan nol atau kecil kebutuhannya , (hanya untuk tambahan cadangan demi keamanan pasokan, saat terjadi pemadaman total, kalau pembangkit solar PLN masih dipertahankan di Bali). Potensi pemakaian biodiesel justeru ada diluar PLN untuk sektor industri dan transpotasi. Di luar Jawa masih banyak pembangkit listrik pakai solar, tapi sedang diupayakan mulai diganti dengan pembangkit batubara satuan kecil. Maaf pak Sudja, mengenai harga itu relatif dan tergantung bagaimana proses di hulu. Mulai dari pembibitan hingga pengolahan. Yang jelas, biaya produksi kami jelas kurang dari Rp. 3500 per liter. Saya mengerti harga itu relatif, yang penting berapa harga yang ditawarkan di pasar. Yang saya pertanyakan dengan harga di hilir ( di pasar) Rp.3500 per liter, berapa penghasilan yang diperoleh para petani di hulu (untuk bisa bayar bibit, perolehan upah yang pantas, sepadan agar tetap mau menanam jarak) ? Posting saya mengacu pada upaya I Silvia mencari alternatif solusi pemenuhan kebutuhan listriknya. Saya sampaikan yang termurah masih sambungan dari PLN 7 c/kWh, yang berbasis mixed fuel yang didominasi batubara. Malahan posting saya dimulai dengan tanggapan sebelumnya terkait penolakan pembangunan PLTU Celukan Bawang yang dikaitkan dengan pemanasan global. Padahal batubara merupakan bahan bakar murah untuk pembangkitan tenaga listrik. Jepang (yang lebih kecil luasnya dari Indonesia) mengimpor batubara 170 juta ton (2006) sedangkan Indonesia pemakaian batubaranya baru 40 juta ton (2006). Mengapa batubara yang merupakan sumberdaya energi murah mesti ditolak? Pengotoran, emisi perlu diatur dan dikendalikan. Itulah inti permasalahan perundingan perubahan iklim yang masih berlanjut sesudah di Bali. Penolakan saya pada pembangunan PLTU Celukan Bawang bukan karena dipakainya batubara tetapi karena alasan tidak ada studi kelayakan yang sepatutnya diajukan dulu kepada masyarakat (public acceptance). Pak Sudja, kami berupaya mengembangkan renewable energy ini dengan tujuan seperti postingan sebelumnya. Pak Wijaya, saya angkat topi (kata orang Eropa), saya hargai kegigihan Anda unutk mengembangkan renewable energy. You are a real dedicated engineer. Dunia ini dibangun oleh para insinyur , seperti Thomas Edison, Rudolf Diesel. Para fisikawan bekerja untuk menemukan konsep/ prisip dasarnya, para insinyurlah yang meneruskan dengan kegigihan, fanatik....... made it workable, available, reliable. Para ekonomi menimbang kelayakan, para pejabat (/penjahat) yang membuat keputusan yang sering ngawur, pengusaha / penguasa /penjahat yang ambil untung dan ...........rakyat yang buntung. Kalau Bapak berkenan, bisa bantu kami. Misalnya, biodiesel kami bisa diuji coba secara gratis di LITBANG PLN (dulu LMK) dan disertifikasi. Kalau bagus, bisa dilanjutkan agar memperoleh sertifikasi dari luar negeri. Dengan senang hati akan saya bantu. Kalau sudah ada technical specification -nya. Akan saya bicarakan dengan Kepala LITBANG / Kepala Jasa Teknik. Saya kira pada tahap ini, diskusi kita baru muncul putiknya, belum menjadi bunga, semoga kelak bisa berbuah. Terima kasih untuk P Gde Wisnaya, pencipta web site lp3b, patriarki, pejantan, bukan bangkung , pejantanpun kalau mau diskusi juga bisa reproduktif. SALAM . Nengah Sudja. Jl. Lamandau Raya No.21, Kebayoran Baru, JAKARTA 12130. Tel. 720 3143. Fac. 720 1690. E-mail: [EMAIL PROTECTED] -----Original Message----- From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Wijaya Kusuma Sent: Tuesday, January 15, 2008 9:42 PM To: bali@lp3b.or.id Subject: [bali] Re: konferensi iklim dan bakar batu bara (a) Pak Nengah Sudja dan saudara semuanya, Terima kasih atas input - inputnya. Yang jelas, membandingkan biodiesel tentu saja dengan solar, baik dari segi harga sampai dengan unjuk kerja engine. Membandingkan biogas tentu saja dengan lpg, dsb. Maaf pak Sudja, mengenai harga itu relatif dan tergantung bagaimana proses di hulu. Mulai dari pembibitan hingga pengolahan. Yang jelas, biaya produksi kami jelas kurang dari Rp. 3500 per liter. Sekalipun nantinya PLN atau Indonesia Power menggunakan jalur Jawa-Bali, masih banyak tenaga diesel yang ada di lapangan. Mulai dari genset, traktor, kapal laut, transportasi darat, dll, yang kebutuhan akan solar juga tinggi. Sementara itu, daya beli masyarakat sudah menurun. Pak Sudja, kami berupaya mengembangkan renewable energy ini dengan tujuan seperti postingan sebelumnya. Kalau Bapak berkenan, bisa bantu kami. Misalnya, biodiesel kami bisa diuji coba secara gratis di LITBANG PLN (dulu LMK) dan disertifikasi. Kalau bagus, bisa dilanjutkan agar memperoleh sertifikasi dari luar negeri. Salam, Wijaya. __________ NOD32 2788 (20080113) Information __________ This message was checked by NOD32 antivirus system. http://www.eset.com
<<faint_grain1.jpg>>