Mbak Ratna....

Mungkin temennya perlu ngomong2 ama sy tuhhhh :):):)

Sy dengan latar belakang keluarga yang sama seperti sobat mbak, dan suami sy
org yang biasa2 aja.
Namanya perjalanan pernikahan tidak selamanya mulus.

Intinya mbak, dengan istri menganggap suami tidak bisa menjadi kepala
keluarga yang bisa mencukupi kebutuhan istri dan anak itu merupakan
statement yang kurang bijaksana ya... secara suami juga tetep bekerja demi
keluarga.

Cobalah meminta sobat mbak untuk memahami ini, dan masalah suster dsb,
mungkin bisa dibilang cara pemilihan atau seleksi BS nya kurang cermat,
karena kondisinya mirip dengan sy. Tapi lain halnya jika ada kesempatan
untuk titip ke ortu, ya sekalian bawa BS nya ama anak2nya ke ortu. Pagi
dianter sore dijemput. Ya udah konsekuensi, jadi gak bisa juga kita bilang
capek.

Alternatif kedua: cari kerjaan yang di deket rumah, tidak usah pikirkan gaji
yang penting ad pekerjaan dan bisa ngurus anak. Memang dengan gaji yang
besar kebanyakan orang tidak mau mengorbankan sedikit buat anak2nya. SOalnya
temen sy juga demikian, dia berangkat pagi dan pulang jam 9 malam, wkt
ketemu anak gak ada, dan juga kualitas terhadap anak pendekatannya tidak
terlalu baik. Jadinya efeknya ke anak. Tapi temen aku tidka merasa bersalah,
dan dia enjoy dg hidupnya nah loh....

Menurut sy kita sebagai perempuan boleh dan sah2 aja bekerja, tapi tanggung
jawab ketika kita di rumah ya tetep HARUS dijalankan, kita tidak boleh
mengeluh capek dsb, meski badan kita capek, tapi anak2 adalah permata hati
kita dan butuh waktu kita juga. biasanya anak nakal itu karena kurang
perhatian dari ortunya.

ya banyak2 ditimbang2 baik buruknya.... selama tujuannya buat anak pasti ada
jalan keluar.
Ya karena sy muslim sy berdoa aja, semoga kita diperlancar semua, banyak
ikhtiar.


salam,
Y


On 7/25/07, Ratna Wulan Sari <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Dear rekans BA,
Salah satu sobatku tadi nelpon curhat panjang banget,… singkatnya dia
dalam keadaan frustasi.
Sobatku ini seorang karyawati perusahaan asing, gajinya lumayan besar.
Punya suami yang bekerja di perusahaan konglomerasi dalam negri dengan
gaji 1/3 gajinya.
Punya anak balita 2 orang. Suami istri ini berasal dari latar belakang
berbeda. Sobatku anak orang kaya
dan biasa hidup enak. Suaminya anak orang kekurangan yang biasa prihatin.
Singkat cerita awalnya hidup mereka bahagia. Masalah muncul ketika sudah
punya dua orang anak,
Dan anak2nya kurang perhatian karena orang tuanya sibuk bekerja. Biarpun
masing2 anak punya baby sitter dan ada
pembantu lagi dirumah, masalah selalu timbul. Pembantu keluar-masuk. Baby
sitter sudah dicoba dari
pengasuh biasa sampai baby sitter selalu ngga pas. Yang bagus cuma kerja
sebentar keluar karena kawin,
urusan keluarga etc. Alhasil gonta-ganti pengasuh/pembantu sudah biasa.
Yang kasihan anak2 tsb
(2 dan 4 tahun) jadi terlantar dan kurang perhatian. Yang TK jadi nakal
dan kalau ngomong agak kasar, mungkin
karena ibunya ini stress dan jadi suka marah2 setelah memikirkan keadaan
rumah masih memikirkan pekerjaan
di kantor. Juga kurang perhatian karena pengasuhnya bolak-balik ganti.
Yang 2 tahun jadi kurus karena ternyata tidak diurus dengan baik oleh
BS-nya – akhirnya dipecat. Sekarang dalam
keadaan sakit dan sobatku ngga bisa cuti karena dikejar deadline.
Pekerjaannya sangat menyita waktu.
Terpaksa anak-anaknya dititipkan dirumah orangtuanya.Tapi kan tidak bisa
terus-terusan begitu.
Sebenernya sobatku ini ingin resign saja untuk bisa mengurus anak dengan
baik, tapi memikirkan kebutuhan
saat ini yang sangat tinggi rasanya ngga mungkin mengandalkan gaji
suaminya saja. Lagipula sayang
rasanya meninggalkan pekerjaan dengan gaji puluhan juta begitu saja. Yang
bikin sobatku frustasi suaminya
Itu dirasanya ngga mampu untuk menjadi kepala keluarga yang baik alias
ngga bisa menghasilkan dengan layak
untuk standard kehidupannya yang sebenernya tidak mewah tapi tidak
pas-pasan banget. - Sebetulnya sih menurut saya
bukan salah suaminya, tapi memang dia itu jauh lebih pintar dari suaminya
dalam hal mencari uang, jadi sulit kalau
dibandingkan karena kemampuan suaminya memang mentok -. Memikirkan kalau
dia resign berarti anak2nya harus pindah
kerumah yang lebih kecil, mungkin cuma punya pembantu 1 yang berarti
selain mengasuh anak dia harus mengerjakan
pekerjaan rumah tangga yang sebelumnya jarang dikerjakan, mungkin dia
malahan bakal jatuh sakit kecapean, kemungkinan
anaknya ngga bisa les musik dan balet lagi atau beli susu dan buah-buahan
yang selama ini rutin dikonsumsi, dll, bikin
sobatku tambah frustasi.
Saya nulis ini karena rasanya banyak ibu2 BA yang mengalami kejadian yang
mirip, walau mungkin tidak 100% sama
(termasuk saya juga, karir dan anak selalu jadi dilema). Kalau ada yang
mau sharing atau sumbang saran untuk sobatku ini,
kira-kira bagaimana mengatasi masalahnya. Apa memang resign adalah pilihan
terbaik ?

Regards,
ratna


     __________________________________________________________________
Yahoo! Singapore Answers
Real people. Real questions. Real answers. Share what you know at
http://answers.yahoo.com.sg




--
Yesi
http://www.de-bloemen.blogspot.com/

Kirim email ke