Kayanya sih kenyataan.. kalo di suaramerdeka news..
krn isinya curhatan org SMG dsknya..

Hiks..hiks..hiks.. siang2 habis 'panas' jd terharu
nih...

Malu ah... pulang dulu yah dilanjut besok..

Uci mamaKavin

--- intan dima <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Benarkah Takdir Bukan Hukuman?
> 
> Tak pernah aku bayangkan, sesuatu yang menjadi
> bagian takdir, rencana Ilahi, didudukkan di pundakku
> sebagai sebuah kesalahan. Dan, dalam kesedihan
> kehilangan, aku mendapatkan bencana lain, dicap
> sebagai "pembunuh". Sesuatu yang tak pernah, tak
> akan pernah, terlintas dalam pikiranku. Tapi aku tak
> lagi bisa menolak... Bukankah rencana manusia memang
> hanya sekrup kecil dari rencana Tuhan.
> 
> Aku Risma (30), menikah, guru di sekolah swasta.
> Suamiku Farhan (31), bekerja di perusahaan
> kontraktor. Kemampuannya dalam desain interior dan
> gambar membuat kariernya cepat melesat. Ini
> berdampak langsung pada kemampuan finansial kami.
> Karena itu, jika semula kami berencana tak memiliki
> momongan saat menikah 6 tahun lalu, tapi di tahun
> kedua, rencana itu kami batalkan. Di tahun ketiga
> pernikahan, aku telah memberinya kado mungil yang
> luar biasa, seorang bayi perempuan yang cantik. Bayi
> itu kami namakan Farhis, gabungan namanya dan
> namaku. Dan, jadilah hari-hari kamu bergembira
> dengan bayi kami yang tumbuh subur, cantik. Tak ada
> hari libur yang tidak kami habiskan bersama. Tak ada
> gerak sedikit pun dari Farhis yang tidak kami
> ketahui. Farhan apalagi, setelah ada anakku,
> barangkali aku jadi wanita kedua di hatinya.
> Kasihnya melimpah luar biasa. Dan aku senang, aku
> bangga.
> 
> Farhis usia setahun, kami sudah memiliki rumah, dan
> kutinggalkan rumah ayah-ibu di Pedurungan. Kami
> tempti rumah tipe 45 di perumahan Semarang Atas.
> Mobil pun segera dibeli Farhan, meski dengan cara
> kredit. Alasannya, ia selalu tak tega membawa Farhis
> jalan-jalan dan kepanasan. Aku pun setuju. Apalagi,
> kalau sudah menyangkut urusan Farhis, tak ada yang
> dapat membantah Farhan. Ia bahkan sudah menabung
> untuk keperluan anakku, mulai rencana sekolah,
> sampai urusan-urusan yang menurutku masih akan
> berpuluh tahun lagi akan kami hadapi. Tapi semua aku
> setujui saja, karena aku tahu, barangkali itulah
> wujud kasih sayangnya. Oh ya, Farhan anak tunggal,
> sehingga kehadiran Farhis membuat dia segara
> mendapatkan kesempatan punya "adik". Mertuaku pun
> sayang luar biasa pada cucunya ini.
> 
> Namun, rencana manusia memang hanya sekrup kecil
> dari rencana Tuhan. Di balik kegembiraan kami,
> tersimpan duka yang luar biasa besar, yang tengah
> menanti. Tepatnya setahun lalu.
> 
> Usia Farhis sudah 2,5 tahun. Ia sedang
> nakal-nakalnya, dan sedang menggemaskan. Farhan
> jangan ditanyakan lagi besarnya cintanya pada anak
> kami ini. Dan, tak ada liburan yang tidak kami
> habiskan bertiga. Tapi, hari itu, bencana memang
> tengah dipersiapkan untuk kami. Kini aku dapat
> sadari hal itu.
> 
> Minggu, dan kami dapat undangan pernikahan di Demak.
> Kenalanku semasa kuliah menikah. Dan aku sudah
> menjanjikan akan datang. Farhan pun yang kebetulan
> kenal, juga sudah memberi lampu hijau. "Sekalian,
> membawa Fehis jalan-jalan," katanya. Kembali, soal
> Farhis dia tak lupa. Tapi, malam Minggu itu, Farhan
> panas. Flu dan demam menyerangnya. Ketika pagi,
> meski dia sudah agak mendingan, tetap saja tubuhnya
> terasa lemah. Aku pun tak tega mengajaknya pergi.
> Maka, kuberanikan diri untuk pergi sendiri. Farhan
> menolak. Dia meminta aku menunggu sampai jam 10
> siang, menunggu kondisi tubuhnya lebih baik. Aku
> setuju.
> 
> Nyatanya, Farhan tetap saja lemah. Untuk menyetir,
> jelas dia tidak mampu. Dia pun usul untuk
> membatalkan memenuhi undangan itu. Tapi aku menolak.
> Setelah "berdebat" sedikit, dengan agak berat, dia
> mengizinkan aku pergi. Sendiri. Aku protes lagi. Aku
> ingin Farhis ikut, karena nanti siapa yang akan
> mengurus dia. Lagi pula, dengan tubuh ayahnya yang
> masih lemah, aku tak ingin merepotkan suamiku. Belum
> lagi kalau Farhis nanti buang air atau menangis,
> kasihan Farhan. Kami berdebat lagi, dan aku kembali
> "menang". Dengan sebal, Farhan mengizinkan. Dia pun
> ikut mengantar kami sampai gerbang, sebelum aku
> pergi dengan Farhis di samping kiriku.
> 
> Dan rencana Tuhan terjadi. Aku tak ingat pasti
> bagaimana ceritanya. Cuma, sewaktu dekat Sayung,
> perbatasan Demak-Semarang, ketika aku bermaksud
> memotong sebuah truk yang jalan terlalu lambat,
> ternyata ada bus yang tiba-tiba juga memotong dari
> arah berlawanan. Posisi mobilku yang sudah separoh
> jalan memotong membuat aku panik. Untuk melalui
> nyaris tak akan dapat, untuk mengerem, aku juga tak
> yakin. Dan dalam kepanikan sepersekian detik itulah,
> aku nekat menambah kecepatan, bermaksud memotong
> truk itu. Berhasil, itulah yang kukira, tapi
> nyatanya tidak. Bus itu yang juga melaju kencang,
> menyentuh sisi kanan mobilku, meski tidak keras,
> benturan itu menimbulkan goncangan yang cukup kuat,
> dan aku tak tahu pasti, cuma tiba-tiba aku merasa
> seperti mendapat sorongan keras dari belakang, dan
> mobilku tanpa terhindarkan melesat meninggalkan
> badan jelan, melesak ke sisi trotoar, dan berhenti
> ketika menabrak pohon. Selebihnya, gelap. Aku
> pingsan.
> 
> Ketika sadar, aku di rumah sakit. Di sisiku hanya
> ada mertua, dan orang tuaku. Farhan tak ada. Dan
> ketika aku tanyakan, semua hanya diam. Mertua
> perempuanku yang menangis, merangung dan memeluki
> diriku. Ayahku hanya diam, juga mertua lelakiku.
> Tapi aku tahu, mereka juga menangis. "Ada apa?
> Kenapa? di mana Farhan? Farhis, anakku? Gimana dia?"
> begitu pertanyaanku meluncur, dan tak ada jawaban.
> Tapi aku telah tahu sesuatu, aku telah merasa, dan
> benarlah. Ya, Allah.... Anakku...
> 
> Dari ayah, aku tahu, Farhis telah tiada. Aku pingsan
> lagi. Ketika sadar, aku hanya meronta-ronta,
> menjerit-jerit, dan hanya ayah yang ada untuk
> menenangkanku. Mertua dan Farhan mengurus pemakanan
> anakku, yang tak dapat kuhadiri, karena aku tak bisa
> bergerak. Rusukku retak, dan kakiku patah, juga
> memar yang parah di kepala dan pinggulku. Aku hanya
> bisa menangis, menangis. Dari cerita ayah kemudian,
> aku ternyata pingsan berkali-kali.
> 
> Kenapa Farhis meninggal, padahal benturan itu tidak
> keras, juga tabrakan dengan pohon itu pun perlahan,
> selalu itu yang jadi pertanyaanku. Tapi, kata ayah,
> anakku terlontar karena tak memakai sabuk pengaman.
> Dan, meski dokter telah berusaha, pendarahan di
> kepalanya membuat nyawanya tak tertolong. (Dulu, aku
> meraung saat mendengar cerita ini...)
> 
> Kini sudah setahun hal itu berlalu. Rasa
> kehilanganku belum juga sembuh. Masih terbayang
> semua tentang anakku, jelas, sangat jelas. Tapi,
> sakit karena kehilangan itu tak cukup, aku juga
> kehilangan Farhan. Begitu aku sembuh dan boleh
> pulang 3 minggu kemudian, aku tahu, sudah ada yang
> salah dengan suamiku. Dari dia yang tak menjemput,
> dan tak menungguiku di rumah sakit, aku tahu, Farhan
> menyalahkanku atas kejadian itu. Tapi, begitu sampai
> rumah, aku tahu lebih parah lagi, ternyata Farhan
> bahkan mengganggap aku sebagai "pembunuh" Farhis.
> Dia pernah marah dan membentak-bentakku, "Kenapa
> tidak kamu saja yang mati?! Kenapa harus Farhis,
> kenapa bukan kamu??" Ya Tuhan... aku menangis saat
> dia mengatakan itu. Aku kehilangan suamiku, aku
> telah kehilangan anak, suami, dan juga
> kebahagiaanku.
> 
> Aku telah minta maaf ke Farhan. Aku katakan, "Jika
> memang boleh memilih, aku akan bersedia menggantikan
> nyawa anakku. Aku yang akan ikhlas mati, bukan
> anakku. Tapi ini takdir. Tolong jangan salahkan aku,
> tolong... Aku pun kehilangan anakku, bukan Mas saja,
> kita punya kesedihan yang sama..." Tapi nihil, aku
> tak pernah di dengar. Farhan hanya berucap,
> "Seandainya kamu tak pergi ke undangan itu...
> seandainya kamu patuh pada suamimu,..." Ohh.. untuk
> urusan takdir, dapatkah kita bicara "seandainya..."
> 
> Kini telah setahun, dan hubunganku kian kacau dengan
> Farhan. Ia jadi pemamun, dan kusut. Aku sering
> menemukan dia menangis. Dan aku tahu, lebih daripada
> menyalahkan aku, dia pun menyalahkan dirinya
> sendiri. Hubungan kami beku. Nyaris tanpa
> komunikasi. Hanya kehadiran mertua yang membuat kami
> bisa membuat rumah ini serasa hidup lagi.
> Selebihnya, aku telah sungguh-sungguh kehilagnan
> anakku, suami, dan kepercayaannya. Aku tak tahu
> lagi, entah bagaimana cara bisa menjalani hidup
> ini....
> 
> (Cerita Ny Risma, melalui e-mail kepada redaksi)
> 
> ---------------
> 


Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 


================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke