Ini saya copykan artikel dari tabloid nakita mengenai toilet training.


SERING BUANG AIR BESAR DI CELANA
 Boleh jadi si kecil enggak sakit perut, tapi semata-mata lantaran ingin
membangkang. Penyebabnya, toilet training yang salah. 


Dibanding si kecil mengompol, buang air besar atau BAB di celana tentulah
lebih merepotkan orang tua. Terlebih jika si kecil BAB-nya saat diajak
bepergian atau dalam perjalanan. Kendati sudah dipakaikan diapers, tetap
jadi persoalan. Khususnya bau tak sedap yang menebar jika si kecil tak
segera dibersihkan dan diganti diapers-nya. Lain dengan mengompol,
diapers-nya tak segera diganti pun tak jadi masalah. Bukankah air seni tak
menimbulkan bau tak sedap yang menyengat? Kendati dari segi kesehatan
harusnya segera dibersihkan dan diganti diapers-nya agar tak terjadi iritasi
di kulit. 


Itulah mengapa, tak sedikit orang tua yang mulai melatih anaknya ke toilet
sedari bayi. Memang, diakui Dra. Mayke S. Tedjasaputra, toilet training
untuk BAB sudah bisa diajarkan sejak si kecil usia 9 bulan, tepatnya ketika
ia sudah bisa duduk sendiri. Soalnya, toilet training untuk BAB jauh lebih
mudah dilakukan ketimbang BAK. Bukankah umumnya saat anak ingin BAB, dari
mukanya saja sudah terlihat tanda-tandanya? 


Jadi, kita bisa memulai pelatihan saat si kecil menunjukkan tanda-tanda
ingin BAB, dengan menyediakan pot khusus untuk BAB agar ia merasa nyaman di
situ. Ajak si kecil duduk di potnya sambil kita mengatakan, "Oh, Adek mau
pup, ya? Yuk, duduk di pot!" Dengan begitu, si kecil jadi mengasosiasikan
keinginannya untuk BAB dengan keharusan dari kita untuk duduk di pot
tersebut. Ia akan menangkap, "Oh, kalau aku merasakan sakit perut seperti
ini, berarti aku mau pup dan aku harus duduk di pot." 


Namun kita harus konsisten, lo. Artinya, tiap kali si kecil memperlihatkan
tanda-tanda yang sama, kita mengajaknya duduk di potnya. Tentu seiring
dengan meningkatnya usia, pelatihan BAB dari di pot dipindah ke WC. Hingga
akhirnya si kecil tahu bahwa kalau mau BAB harus di tempatnya, bukan di
celana. Ia pun jadi terlatih untuk mengendalikan kapan saatnya BAB. 


DIPAKSA BAB


Bukan berarti sudah terlambat, lo, kalau kita baru mengajarkan toilet
training untuk BAB di usia batita. Juga, bukan berarti yang dilatih sejak
bayi akan lebih cepat mampu mengendalikan kapan saatnya ia BAB. Pasalnya,
jika cara kita mengajarkannya salah entah sewaktu si kecil masih bayi
ataupun kala usia batita-, hasilnya juga takkan memuaskan. 


Sayangnya, ujar Mayke, kecenderungan yang terjadi justru orang tua
mengajarkannya dengan cara yang salah. Misal, anak belum saatnya mau BAB
tapi tetap dipaksa, hingga ia harus nongkrong sekian lama di pot/WC. Atau,
anak dimarahi karena tak juga mengeluarkan feses/kotorannya. "Terlebih
setelah anak bangkit dari pot atau keluar dari WC, hanya beberapa saat
kemudian ternyata fesesnya keluar di celana, biasanya orang tua langsung
hilang sabar hingga dimarahilah si anak," tutur psikolog pada Lembaga
Psikologi Terapan UI ini. 


Padahal, pemaksaan maupun kemarahan orang tua hanya akan menimbulkan
pembangkangan dari anak. Salah satunya, sering BAB di celana tapi feses yang
keluar cuma sedikit. "Hal ini terjadi lantaran anak menahan sekaligus
mengeluarkan." Atau, ia malah sengaja menahan BAB-nya. Jadi, sekalipun ia
ingin BAB, tapi akibat pemaksaan dan kemarahan tadi, malah sengaja enggak
dikeluarkan. 


Tentunya, dengan si kecil menahan BAB, bisa berakibat perutnya terasa
penuh/kembung, hingga akhirnya ia jadi rewel. Dampak lain, senses atau
kepekaannya jadi ikut terpengaruh. Artinya, ketika saat BAB benar-benar
tiba, ia tak lagi peka merasakannya, hingga akhirnya malah kebablasan BAB di
celana. 


PERHATIKAN KONDISI ANAK


Jadi, tegas Mayke, kebiasaan batita yang suka menahan BAB ataupun yang
mengeluarkannya sedikit demi sedikit, memang bergantung pada toilet training
yang diberlakukan orang tua. Apalagi jika anak memang belum siap tapi orang
tua terlalu menekankan toilet training yang berlebihan, tentu tak bisa
diharapkan hasil yang positif. Misal, si kecil baru usia setahun tapi sudah
dipaksakan duduk di kloset. "Secara fisiologis, kemampuan atau kematangan
tubuh anak usia setahun, kan, belum mungkin untuk melakukannya." 


Itu sebab, kita dituntut untuk mencermati mengapa si kecil suka menahan BAB,
apakah lebih karena faktor fisiologis atau sebab lain? Bisa jadi, kan, si
kecil kala itu pencernaannya sedang ada gangguan, hingga ia mengalami
kesulitan BAB. Jadi, penyebabnya lebih karena faktor organis; ia mengalami
konstipasi atau sembelit. Untuk mengatasinya tentu bukan dengan toilet
training, tapi perhatikan makanan yang dikonsumsi si kecil. Artinya, penuhi
semua kebutuhan zat makanan anak secara seimbang, terutama serat seperti
sayur-sayuran dan buah-buahan yang bisa membantu melancarkan BAB. Namun bila
keseimbangan zat makanan sudah terpenuhi, ternyata si kecil tetap mengalami
gangguan, kita perlu introspeksi diri. "Perbaiki interaksi antara orang tua
dan anak. Bila dirasa orang tua tak mampu melakukannya, tak ada salahnya
minta bantuan pada para profesional." 


"Orang tua yang peka terhadap kondisi anak tentu tak akan pernah memaksakan
kehendak. Sebaliknya, bila tetap memaksakan kehendak semata-mata demi
tegaknya peraturan atau kedisiplinan, besar kemungkinan akan berbuntut
dengan timbulnya sikap negativistik dalam diri anak," tutur pengajar di
Fakultas Psikologi UI ini. 


Sementara seringnya anak BAB tapi sedikit-sedikit, selain merupakan bentuk
pembangkangan terhadap orang tua akibat toilet training yang salah, juga
bisa lantaran ia berharap orang tuanya mau memperhatikan dirinya. "Boleh
jadi karena ada hal tertentu yang menyebabkan perhatian orang tua berpaling
darinya seperti kelahiran adik." Nah, bila si kecil menjadikan kebiasaan
jelek ini semata-mata untuk menarik perhatian, saran Mayke, orang tua sangat
diharapkan tak menunjukkan sikap panik/heboh atau lebih meledak marah.
Soalnya, cuma akan memancing si kecil untuk mempertahankan sikap
negativistiknya (membangkang). "Namun bila kita bisa menahan diri,
diharapkan anak pun bisa meredam sikap negativistiknya." 


LIHAT RITMENYA


Hal lain yang perlu diperhatikan, kita sebaiknya tak berkeras ingin melatih
si kecil BAB pada waktu tertentu semisal tiap pagi. "Pada sebagian anak,
cara seperti ini mungkin berhasil, tapi pada sebagian lainnya tak bisa
terlalu diharapkan atau malah tak bisa jalan sama sekali. Hal ini disebabkan
metabolisme tubuh tiap anak berbeda," terang Mayke. 


Yang terbaik, perhatikan ritme kehidupan si kecil. Misal, sekian jam setelah
makan, ia akan dikuasai perasaan ingin BAB. Nah, kalau kita sudah tahu
ritmenya memang seperti itu, sebaiknya jangan dihambat dengan memarahinya
hanya karena tak sesuai jadwal yang telah kita tentukan. Justru manfaatkan
ritme tersebut untuk mengajarkan toilet training padanya. 


Jikapun kita tetap ingin menerapkan disiplin pada si kecil agar BAB tiap
pagi, saran Mayke, sebaiknya jangan menghabiskan waktu berjam-jam.
"Pemaksaan semacam ini sama sekali tak memberi manfaat. Kalau memang enggak
keluar, ya, sudah. Segera ajak anak keluar dari WC dan biarkan ia meneruskan
aktivitasnya yang lain. Jangan sampai orang tua menunggui anak yang belum
saatnya BAB di WC terus-menerus selama berjam-jam. Apalagi sambil memarahi
atau memaki-maki anak lantaran orang tua kesal atau merasa sia-sia
menungguinya sekian lama tanpa hasil." 


Jika si kecil sudah telanjur berlaku keras, sebaiknya kita mengalah saja.
Dalam arti, bilang Mayke, cobalah untuk tak memberikan latihan yang terlalu
kaku/keras. Jadi, bila setengah jam di WC, si kecil tak juga BAB, kita
jangan lantas terpancing bersitegang di situ. Sekalipun ia memang sudah
berhari-hari enggak BAB. Toh, kita bisa membantunya dengan memberikan obat
pencahar, misal. Tentu harus seizin dokter dan sebaiknya cara ini dijadikan
pilihan terakhir bila cara-cara lain sudah diupayakan tapi tetap enggak
ampuh. 


TIAP ANAK ITU UNIK


Tentu saja, sebagaimana kita mengajarkan aktivitas lain, kita pun harus
konsisten saat mengajarkan toilet training. Soalnya, bilang Mayke, tak
sedikit orang tua yang kehabisan akal, merasa sudah berupaya dengan berbagai
cara, tapi tetap tak ada perubahan berarti. Padahal, penyebab
ketidakberhasilan ini biasanya tak lain karena sikap inkonsisten kita
sendiri, lo. Jadi, suatu saat kita bersikap ketat, tapi di saat lain dalam
kasus serupa kita justru memberi kelonggaran. 


Selain konsisten, kita pun dituntut mampu bersikap fleksibel. Jadi, bukan
pada semua aktivitas kita bersikap ketat. Artinya, kita perlu memilah-milah,
mana yang perlu pengawasan ketat dan mana yang tidak. Kalau semuanya
diperlakukan disiplin kaku/ketat, itu namanya otoriter, ya, Bu-Pak. Selain
kita pun wajib menumbuhkan dalam diri anak tentang pemahaman atau
pengetahuan mana yang boleh dan tak boleh. 


Tak kalah penting, kita wajib melihat keunikan tiap anak. "Ada anak yang
mudah sekali diatur, dalam arti beberapa kali latihan saja sudah bisa
berjalan dengan lancar dan nyaris tak pernah mengalami 'kecelakaan'. Namun
tak sedikit pula anak yang sulit dan mungkin butuh waktu berminggu-minggu
untuk bisa menyesuaikan diri menghadapi perubahan sekaligus menyelesaikan
tugas dengan baik," papar konsultan ahli psikologi anak di nakita ini. 


Dengan menyadari perbedaan tersebut, kita jadi tak mudah putus asa ataupun
menyalahkan si kecil kala ia tak kunjung bisa mengeluarkan fesesnya,
melainkan "menghibur"nya, "Oh, pup-nya susah keluarnya, ya, Dek? Enggak
apa-apa, kok. Nanti kita coba lagi, deh." Sedangkan bila di lain waktu ia
berhasil seperti yang kita harapkan, "Jangan pelit untuk memberinya pujian."



Menurut Mayke, bila kita mengajarkan toilet training secara tepat, si kecil
akan belajar memahami bahwa BAB ada waktunya dan harus di tempatnya, yaitu
WC atau kamar mandi. Bukan lagi seperti adik bayi yang bisa seenaknya BAB
maupun BAK kapan pun dan di mana pun. 


Nah, satu lagi masalah si kecil bisa terselesaikan, bukan? 





 

Yanti/Achmad Suhendi . Foto : Rohedi (nakita)

 
 

Stop Pakai Diapers!


Perlu diketahui, kegagalan toilet training, salah satunya juga ditentukan
pemakaian diapers. Itu sebab, anjur Mayke, hentikan pemakaian diapers kala
si kecil sudah berusia 2 tahun. Soalnya, anak-anak yang terus dipakaikan
diapers tak akan pernah terlatih mengendalikan kapan saatnya BAB maupun BAK.
Orang tua pun jadi sulit mengontrolnya. 



Hendi 

 
 

Kelewat Resik


Mengajarkan toilet training pada anak, selain tak boleh dengan paksaan, juga
jangan sampai kelewat resik. Soalnya, akan membentuk si kecil jadi terlalu
pembersih. Bahkan, kata Mayke, bukan tak mungkin bisa berkembang jadi
semacam fobi, lo. "Tiap berada di tempat yang kotor sedikit saja, ia tak
bisa duduk, tak bisa makan, dan tak bisa melakukan apa pun, termasuk BAB."
Bisa dibayangkan, bukan, apa jadinya bila si kecil berada dalam kondisi
darurat semisal diajak mudik yang tak memungkinkan menemukan WC sebagus dan
sebersih di rumahnya di kota? Kelihatannya sepele, tapi pasti akan
mengganggu kehidupannya juga, ya, Bu-Pak. 


Dampak buruk lainnya, mungkin ia tak cukup hanya sekali cuci tangan seusai
toilet training, melainkan 3-4 kali atau lebih mencuci tangannya. Begitu
juga bila ia kotor sedikit saja, langsung dibersihkan. Belakangan, ia jadi
punya kebiasaan untuk selalu menciumi dan mencuci tangannya kendati mungkin
baru saja habis cuci tangan. Kebiasaan begini, kan, bisa membebani rutinitas
sehari si kecil. Kapan ia bisa bermain bebas atau melakukan kegiatan lain
kalau sebentar-bentar merasa perlu ke belakang hanya untuk cuci tangan? 



Hendi 

 
 
 
"Hobi" Banget Ke Kamar Kecil


Jika si kecil "gemar" mondar-mandir ke kamar kecil, kita harus cermati
apakah ia betul-betul gelisah ingin BAB ataukah sebenarnya ia berharap
mendapat "nilai tambah" semisal perhatian dari orang tua atau malah
strateginya agar bisa menunda kegiatan lain. 


Pelajari pula apakah saat itu ia betul-betul BAB atau malah menikmati pot
kecilnya dan duduk berlama-lama di sana. Bila memang demikian, carikan
aktivitas lain yang lebih menarik, terutama mainan atau permainan
kesukaannya, dibanding sekadar keluar masuk WC. 


Atau, jangan-jangan ia bolak-balik ke kamar kecil semata-mata lantaran ingin
bermain. Mengapa tak sediakan sarana semacam itu di halaman? Dengan
demikian, si kecil pun jadi belajar bahwa untuk bisa bermain air, tak perlu
harus cari-cari alasan ke WC. 


Lain hal, bila si kecil terkena diare dan butuh tindakan lanjut dari kita
untuk membawanya ke dokter, sekaligus memastikan apakah ada gangguan
fisiologis pada anak. Jikapun bukan gangguan fisik, cermati lebih lanjut
mungkin ada hal lain, entah perasaan nervous atau sesuatu yang bersifat
psikologis. 


Saran Mayke, sebaiknya kita memiliki catatan lengkap mengenai kapan dan
dalam situasi seperti apa anak tiba-tiba minta BAB. Dari situ, telusuri
lebih jauh lagi, apa kira-kira yang salah atau enggak beres. Semisal pola
asuh yang tiba-tiba dirasakan anak begitu berubah dengan datangnya adik
bayi. Saat timbul kecemasan pada si kakak akibat takut tersaingi semacam
itulah, bisa terjadi si kecil mewujudkannya dengan bolak-balik ke kamar
kecil dan bukan dengan menyakiti si adik yang jadi saingannya. 



Hendi 

 
 
 
Si Kecil Kedapatan Bermain Feses


Ada kalanya anak usia 1-2 tahun punya kebiasaan memain-mainkan fesesnya
tanpa sempat teramati oleh orang tua maupun pengasuhnya. Anak seusia ini,
jelas Mayke, keinginannya bereksplorasi sangat kuat. "Ia sama sekali belum
mengerti kalau 'mainan' barunya sesuatu yang kotor karena pemahamannya
memang belum sampai ke sana." Malah bukan tak mungkin, lo, feces dianggapnya
sebagai sesuatu yang mengasyikkan untuk dimain-mainkan mengingat strukturnya
yang lengket dengan bau tertentu. 


Nah, bila si kecil kedapatan tengah asyik bermain dengan fesesnya, saran
Mayke, bersikaplah biasa saja. "Jangan pernah panik yang hanya akan membuat
anak bertanya-tanya semakin tak mengerti. Jangan pula bersikap terlalu keras
semisal menghukum." Ingat, ia belum mengerti sama sekali; ia hanya ingin
mencoba dan mengamati sesuatu yang baru yang dianggapnya menarik, sampai
suatu saat pemahamannya akan muncul. 


Jadi, lebih baik beri tahu si kecil dengan lembut, "Nak, ini kotor, bau, dan
jijik. Jadi, jangan dipegang, ya." Selanjutnya, kita harus lebih
berhati-hati agar jangan sampai hal itu terulang lagi. Jikapun sampai
terulang, kita juga tak perlu marah atau menghukum. Bukankah kita tak bisa
berharap si kecil langsung paham hanya dengan sekali dijelaskan? Hingga,
kita perlu mengulang-ulang penjelasan tersebut. 



Hendi 

 
 

 


>> kirim cake & bunga ke 20 kota di Indonesia? klik, http://www.indokado.com  
>> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com
Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED]
Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]


















Kirim email ke