Sigana di luar negeri mah bank Islam teh nuju 'booming', sapertos boomingna
jumlah penduduk anu Muslim di nagara-nagara Barat.

Abdi mendak artikel, duka nu nyerat artikelna obyektif atanapi henteu,
nanging nyebatkeun seueur nagara nu ngadopsi sistem bank islami.
Tapi duka oge naha dina praktekna 100% sapertos sistem bank islam ideal nu
kabayang ku abdi atanapi henteu :)

Sedengkeun di RI nyalira, RUU perbankan syariah teh cenah ditolak ku Fraksi
(Partai) Damai Sejahtera.

Salam,
Dian.

------

Lengkepna tina: http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=322204&kat_id=16

Ekonomi Syariah untuk Kepentingan Bangsa

*Agustianto* Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen
Pascasarjana PSTTI UI dan Islamic Economics and Finance Trisakti.

Kelahiran Undang-Undang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN) sebenarnya sudah di ambang pintu. Sejak lama
masyarakat ekonomi syariah mendambakan kehadirannya.

Saat ini DPR tengah mengagendakan pembahasan kedua RUU tersebut yang
direncanakan akan dibahas bulan April mendatang. Namun, Partai Damai
Sejahtera (PDS) menolak pembahasan kedua RUU tersebut.

Memang di alam demokrasi penolakan tersebut wajar, tetapi secara membabi
buta dan emosional adalah suatu tindakan yang sangat naif. Penolakan PDS
terhadap kedua RUU ekonomi syariah tersebut antara lain disebabkan PDS salah
paham dengan ekonomi syariah. Karakter dasar ekonomi syariah ialah sifatnya
yang universal dan inklusif.

Ekonomi syariah mengajarkan tegaknya nilai-nilai keadilan, kejujuran,
transparansi, antikorupsi, dan eksploitasi. Artinya, misi utamanya adalah
tegaknya nilai-nilai akhlak dalam aktivitas bisnis, baik individu,
perusahaan, ataupun negara.

Bukti universalisme dan inklusivisme ekonomi syariah cukup banyak. Pertama,
ekonomi syariah telah dipraktikkan di berbagai negara Eropa, Amerika,
Australia, Afrika, dan Asia. Singapura sebagai negara sekuler juga
mengakomodasi sistem keuangan syariah.

Bank-bank raksasa seperti ABN Amro, City Bank, dan HSBC sejak lama
menerapkan sistem syariah. Demikian pula ANZ Australia, juga membuka unit
syariah dengan nama First ANZ International Modaraba, Ltd.

Jepang, Korea, Belanda juga siap mengakomodasi sistem syariah. Bagaimana PDS
memandang fakta-fakta ini? Aneh dan ajaib.

Fakta itu sejalan dengan laporan The Banker yang menyebut Bank Islam bukan
hanya didirikan dan dimiliki oleh negara atau kelompok Muslim, tetapi juga
di negara-negara non-Muslim, seperti Inggris, AS, Kanada, Luxemburg, Swiss,
Denmark, Afrika Selatan, Australia, India, Sri Lanka, Filipina, Siprus,
Virgin Island, Cayman Island, dan Bahama.

Sekadar contoh, di Luxemburg yang menjadi *managing directors* di Islamic
Bank Internasional of Denmark adalah non-Muslim, yaitu Dr Ganner Thorland
Jepsen dan Mr Erick Trolle Schulzt.

Kedua, kajian akademis mengenai ekonomi syariah juga banyak dilakukan di
universitas Amerika dan negara Barat lainnya. Di antaranya, Universitas
Loughborough, Universitas Wales, Universitas Lampeter yang semuanya di
Inggris. Demikian pula di Harvard School of Law (AS), Universitas Durhem,
Universitas Wonglongong, Australia.

Di Harvard University setiap tahun digelar seminar ekonomi syariah bernama
Harvard University Forum yang membahas *Islamic finance*. Malah, tahun 2000
Harvard University menjadi tuan rumah pelaksanaan konferensi internasional
ekonomi Islam ketiga.

Perhatian mereka kepada ekonomi syariah dikarenakan keunggulan doktrin dan
sistem ekonomi syariah. Banyak ekonom non-Muslim yang menaruh perhatian
padanya serta memberikan dukungan dan rasa salut pada ajaran ekonomi
syariah, seperti Prof Volker Ninhaus dari Jerman (Bochum Universitry),
William Shakpeare, dan Rodney Wilson.

Dr Iwan Triyuwono, ahli akuntansi dari Fakultas Ekonomi Universitas
Brawijaya, ketika menulis disertasinya tentang akuntansi syariah di
Universitas Wolongong, Australia, mendapat bimbingan dari promotor seorang
ahli akuntansi syariah yang ternyata seorang pastur.

Ketiga, harus pahami larangan riba (*usury*) yang menjadi jantung sistem
ekonomi syariah bukan saja ajaran agama Islam, tetapi juga larangan
agama-agama lainnya, seperti Nasrani dan Yahudi. Dengan demikian, bagi
pemeluk agama mana pun, ekonomi syariah sesungguhnya tidak menjadi masalah.

Pandangan Yahudi mengenai bunga terdapat dalam kitab Perjanjian Lama pasal
22 ayat 25 yang berbunyi: ''Jika engkau meminjamkan uang kepada salah
seorang dari umatku yang miskin di antara kamu, maka janganlah engkau
berlaku seperti orang penagih utang dan janganlah engkau bebankan bunga uang
padanya, melainkan engkau harus takut pada Allahmu supaya saudaramu dapat
hidup di antaramu.''

Pandangan agama Nasrani mengenai bunga terdapat dalam kitab Perjanjian Lama,
Kitab Deuteronomiy pasal 23 ayat 19. ''Janganlah engkau membungakan uang
terhadap saudaramu baik uang maupun bahan makan yang dibungakan.''
Selanjutnya dalam perjanjian baru dalam Injil Lukas ayat 34 disebutkan,
''Jika kamu mengutangi kepada orang yang kamu harapkan imbalannya, maka di
mana sebenarnya kehormatan kamu, tetapi berbuatlah kebajikan dan berikanlah
pinjaman dengan tidak mengharapkan kembalinya karena pahala kamu akan
banyak.''

Melihat pandangan kedua agama tersebut tentang pelarangan bunga, amatlah
tepat untuk menyimpulkan bahwa no-Muslim pun harus menyambut baik
lembaga-lembaga keuangan dan sistem ekonomi tanpa bunga. Ini karena ekonomi
syariah memberikan jalan keluar dari larangan kitab suci di atas.

Inilah sarana yang paling tepat untuk mengembangkan kerja sama dalam
memerangi bunga. Fakta kerja sama ini telah banyak terjadi di Indonesia,
seperti di Kupang, Palu, Manado, dan Maluku Utara. Deposan dan nasabah
bank-bank syariah banyak (dominan) dari kalangan non-Muslim dan tokohnya
para pendeta.

Keempat, para filosof Yunani yang tidak beragama Islam juga mengecam sistem
bunga. Sejarah mencatat bangsa Yunani kuno yang mempunyai peradaban tinggi,
melarang peminjaman uang dengan bunga. Aristoteles dalam karyanya, *Politics
*, telah mengecam sistem bunga yang berkembang pada masa Yunani kuno. Dengan
mengandalkan pemikiran rasional filosofis, tanpa bimbingan wahyu, ia menilai
sistem bunga tidak adil.

Menurutnya, uang bukan seperti ayam yang bisa bertelur. Sekeping mata uang
tidak bisa beranak kepingan uang yang lain. Dia mengatakan meminjamkan uang
dengan bunga adalah sesuatu yang rendah derajatnya.

Sementara itu, Plato (427-345 SM) dalam bukunya, *LAWS*, juga mengutuk bunga
dan memandangnya sebagai praktik yang zalim. Menurut Plato, uang hanya
berfungsi sebagai alat tukar, pengukuran nilai, dan penimbunan kekayaan.
Uang bersifat mandul (tidak bisa beranak dengan sendirinya).

Uang baru bisa bertambah kalau ada aktivitas bisnis. Pendapat yang sama juga
dikemukan Cicero. Ketiga filosof Yunani yang paling terkemuka itu dipandang
cukup representatif untuk mewakili pandangan filosof Yunani tentang larangan
bunga.

*Tata dunia baru*
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka tidak perlu ada yang takut pada
ekonomi syariah. Manfaatnya dinikmati semua komponen di Indonesia, bahkan di
skala global akan menciptakan tata ekonomi dunia yang adil dan makmur.

Ekonomi syariah akan menciptakan stabilitas ekonomi bangsa secara
menyeluruh. Ekonomi syariah yang mengedepankan gerakan sektor riil (bukan
derivatif) akan secara signifikan menumbuhkan ekonomi nasional dan tentunya
ekonomi rakyat. Tegasnya, akan membantu pembangunan ekonomi negara dan
bangsa.

Ada beberapa alasan penerimaan RUU Perbankan dan RUU Surat Berharga Syariah
Negara menjadi undang-undang. Pertama, secara yuridis kehadiran UU Sukuk dan
UU Perbankan syariah didasarkan pada Pancasila dan UUD 45. Jadi, penerapan
hukum ekonomi syariah memiliki dasar sangat kuat. Ketentuan Pasal 29 ayat
(1) dengan tegas menyatakan Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
pada dasarnya mengandung tiga makna.

Makna pertama, negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau
melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Makan kedua, negara berkewajiban membuat peraturan
perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud
rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang
memerlukannya. Makna ketiga, negara berkewajiban membuat peraturan
perundang-undangan yang melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap
ajaran agama (paham ateisme).

Dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Kata 'menjamin'
sebagaimana termaktub dalam ayat (2) pasal 29 UUD 1945 tersebut bersifat
'imperatif'. Artinya, negara berkewajiban secara aktif melakukan upaya-upaya
agar tiap penduduk dapat memeluk agama dan beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu.

Melalui ketentuan pasal 29 ayat (2) UUD 1945, seluruh syariat Islam,
khususnya yang menyangkut bidang-bidang hukum muamalat, pada dasarnya dapat
dijalankan secara sah dan formal oleh Muslimin, baik secara langsung maupun
tidak langsung, dengan jalan diadopsi dalam hukum positif nasional.

Keharusan tiadanya materi konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang
bertentangan dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut adalah
konsekuensi diterapkannya Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah satu
prinsip dasar penyelenggaraan negara. Jadi, kehadiran kedua UU ekonomi
syariah tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, dan tidak
menggangu keutuhan NKRI.

Kedua, secara faktual sistem ekonomi syariah melalui perbankan telah
terbukti menunjukkan keunggulannya di masa krisis. Ketika semua bank
terguncang dan sebagian besar dilikuidasi, bank syariah aman dan selamat
dari badai hebat tersebut karena sistemnya bagi hasil.

Ajaibnya, bank syariah dapat berkembang tanpa dibantu sepeser pun oleh
pemerintah, sementara bank konvensional hanya dapat bertahan karena memeras
dana APBN dalam jumlah ratusan triliun melalui BLBI dan bunga obligasi. Hal
itu berlangsung sampai detik ini. Padahal, APBN adalah hak seluruh rakyat
Indonesia.

Perbankan syariah tampil sebagai penyelamat ekonomi. Karena itu, sangat
tidak logis dan irasional, jika ada pihak yang menolak kehadiran regulasi
syariah. Jadi, yang hendak ditawarkan ekonomi syariah bukanlah ajaran agama
tertentu, tetapi adalah nilai-nilai keadilan, kejujuran, transparansi,
tanggung jawab, yang menjadi nilai-nilai universal bagi semua orang.
Nilai-nilai itu berasal dari Alquran dan Hadis.

Ketiga, secara historis, pengundangan (legislasi) hukum syariah di Indonesia
telah banyak terjadi, seperti UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama yang
selanjutnya diamendemen UU No 3 Tahun 2006. Demikian pula UU tentang
pengelolaan zakat, UU Perwakafan, dan UU Haji. Undang-Undang yang mengatur
hukum untuk umat Islam saja dapat diterima DPR, apalagi UU ekonomi yang
bertujuan untuk kebaikan, kemajuan, dan *kemaslahatan* bangsa dan negara
secara universal, jelas semakin penting untuk diterima dan diwujudkan.

Keempat, dengan diundangkannya RUU Sukuk (SBSN) maka aliran dana investasi
ke Indonesia akan meningkat, baik dari luar negeri (utamanya Timur Tengah)
maupun dalam negeri. Menolak RUU tersebut berarti menolak investasi masuk ke
Indonesia dan berarti menolak kemajuan ekonomi bangsa.

Harus disadari bahwa tujuan ekonomi syariah adalah untuk
*kemaslahatan*seluruh bangsa, bukan kelompok tertentu. Pihak yang
menolak, seperti PDS,
harus berbesar hati dan bergembira dengan kehadiran kedua UU tersebut. Bukan
malah takut dan membabi buta menolak dengan alasan sentimentil (*hamiyyah*)
atau kebencian kepada agama tertentu.


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to