artikel heubeul.... bahan obrolkeuneun! R

Zaim Saidi:
Bebas Bunga, Tak Berarti Bebas Riba
22/12/2003

Ada keyakinan dikalangan umat Islam bahwa bank syariah tidak
menjalankan sistem ribawi. Selain karena berpedoman pada tata cara
syariah Islam, bank syariah juga dianggap tidak memberikan bunga, tapi
bagi hasil. Nah, keyakinan dan pendapat itu dibantah oleh Zaim Saidi,
Direktur PIRAC (Public Interest Riset and Advocacy Center), sebuah
lembaga penelitian dan advokasi untuk kepentingan publik.

Ada keyakinan dikalangan umat Islam bahwa bank syariah tidak
menjalankan sistem ribawi. Selain karena berpedoman pada tata cara
syariah Islam, bank syariah juga dianggap tidak memberikan bunga, tapi
bagi hasil. Hal ini berbeda dengan bank konvensional pada umumnya.
Apalagi diperkuat oleh fatwa MUI yang mengatakan bahwa bunga bank
adalah riba, setelah Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia
(Rakornas MUI) di Jakarta, Selasa kemarin (16/12/2003).

Nah, keyakinan dan pendapat itu dibantah oleh Zaim Saidi, Direktur
PIRAC (Public Interest Riset and Advocacy Center), sebuah lembaga
penelitian dan advokasi untuk kepentingan publik. Menurut Zaim yang
juga penulis buku-buku: Tidak Islaminya Bank Islam dana Melawan Dollar
dengan Dinar, bank syariah mungkin bebas dari sistem bunga, tapi
hampir mustahil terbebas dari sistem ribawi. Untuk mengetahui lebih
mendalam tentang pemikirannya tersebut, Nong Darol Mahmada dari Kajian
Islam Utan Kayu mewawancarainya Kamis (11/12/03). Berikut petikannya:

NONG DAROL MAHMAD (NONG): Mas Zaim, menurut Anda, apa yang
melatarbelakangi munculnya unit-unit perbankan syariah?

ZAIM SAIDI (ZAIM): Penjelasannya bisa dengan cara yang sederhana. Di
masyarakat Islam, memang ada keinginan yang kuat untuk mendapatkan
institusi perbankan yang dirasa aman secara spiritual, sebab selama
ini perbankan konvensional dikenal sebagai lembaga ribawi. Lantas,
bermunculanlah unit-unit perbankan syariah yang masih menginduk ke
bank-bank konvensional. Hanya saja, dalam perkembangannya kemunculan
unit-unit syariah itu dimanfaatkan juga oleh institusi perbankan biasa
untuk mendongkrak sentimen nasabah. Jadi menurut saya, ini hanya trik
marketing saja. Kalau kita lihat secara substansial, antara perbankan
konvensional dan perbankan syariah memang tidak seratus persen sama.
Tapi, 99,9 % sama saja.

NONG: Lantas, di mana letak perbedaan substansial antara bank
konvensional dengan bank syariah selain label syariahnya?

ZAIM: Mungkin, problem yang mendasar adalah sistem atau lembaga
finansial yang ada sekarang ini (bank-bank konvensional) dianggap
sebagai lembaga ribawi. Uang yang ada di perbankan saat ini dianggap
bercampur-campur dan tidak jelas stasus halal-haramnya. Uang itu bisa
saja digunakan untuk kegiatan yang menurut kaum muslim dibolehkan atau
tidak dibolehkan. Kita tidak tahu, apakah misalnya uang di situ
dipakai untuk kegiatan judi, beternak babi, atau memproduksi minuman
keras, dan lain sebagainya. Karena itu, tesis yang dikonseptualisasi
di perbankan syariah adalah bagaimana membersihkan sistem perbankan
dari dua unsur yang diharamkan itu.

NONG: Nah, apakah bank syariah berhasil menghilangkan dua unsur tersebut?

ZAIM: Dalam kenyataannya, tidak. Karena pada akhirnya, apa yang
dikemukakan para konseptor bank syari'ah itu secara simpel akan
berujung begini: bank syari'ah adalah bank yang bebas bunga, tapi
tidak bebas dari riba. Jadi, pengertian riba ini yang tidak dimengerti
secara benar. Kekeliruan pertama adalah mereduksi pengertian riba itu
pada soal bunga saja. Dengan logika ini, kalau perbankan dikembangkan
tanpa sistem bunga, pasti dia juga tanpa riba.

Padahal, riba dalam konteks sekarang ini sudah menjadi sebuah sistem
kokoh yang menghasilkan sesuatu dari sesuatu yang tidak ada. Dalam
konteks perbankan artinya uang beranak uang. Secara tradisional, riba
terjadi kalau orang meminjamkan seribu rupiah misalnya, lalu minta
kembalian menjadi seribu seratus. Nah, kalau itu dihilangkan, meminjam
seribu tidak kembali seribu seratus, maka dianggap bebas riba.
Padahal, kalau kita telaah secara mendalam, sebenarnya bunga yang dari
seribu menjadi seribu seratus itu hanya jalan masuk ke dalam sistem
ribawi.

NONG: Menurut Anda, apa yang dimaksud dengan sistem riba itu?

ZAIM: Bagi saya, sistem riba itu sama seperti segitiga sama kaki, yang
unsurnya terdiri dari tiga hal. Pertama, bunga. Kedua, uang kertas
atau paper money. Dan ketiga, kredit. Dengan tiga unsur ini,
sebetulnya kredit inilah yang memungkinkan terciptanya uang yang
sebetulnya tadi tidak ada. Dulu sebelum ada sistem bank, orang
meminjam seratus akan kembali seratus, kecuali ditambahkan riba. Tapi
sekarang, kalau seseorang mempunyai uang seratus milyar, dengan adanya
bank, dia akan cenderung menaruhnya di bank. Dengan begitu, bank yang
tadinya tidak punya apa-apa, tiba-tiba mempunyai uang seratus milyar.
Dan biasanya, bank mempunyai liability karena dia harus membayar bunga
kepada si penyimpan. Maka, masuk akal kalau dia pasti akan meminjamkan
uang tersebut kepada orang lain.

Menurut aturannya, yang boleh dikeluarkan dari uang tadi hanya
sembilan puluh persen saja, karena sebagian harus ditahan sebagian
cadangan. Maka yang dipinjamkan ke pihak ketiga adalah 90 % saja. Nah,
dari satu kali perjalanan uang ini saja, tiba-tiba dalam catatan buku
terdapat uang sejumlah seratus tambah seratus tambah sembilan puluh
atau sama dengan 290. Padahal, uang yang sebenarnya kan cuma 100.
Sementara, yang 190 itu sebenarnya hanya ada di buku catatan; buku
tabungan orang yang menyimpankan uangnya di bank tadi, dan ketika
pihak ketiga meminjamnya dari bank.

Nah, dari 100 menjadi 290 itu, sebetulnya sudah merupakan suatu
tambahan dari sesuatu yang tidak ada. Itu adalah riba. Dan perlu
diingat, sistem pinjam-meminjam hanya bisa dilakukan karena adanya
bunga. Memang, persoalan ini agak complicated. Tapi intinya, sistem
banking yang ada ini, menciptakan uang karena adanya pinjam meminjam.
Atau sistem operasionalnya kalau disederhanakan, pada dasarnya adalah
sistim sewa-menyewa uang. Jadi, kita yang punya uang, menyewakan
kepada suatu institusi yang bernama bank, dengan uang sebesar 10 %.
Itulah yang kita kenal selama ini sebagai bunga.

NONG: Di dalam sistem perbankan kan tidak hanya menjalankan sistem
sewa menyewa uang saja. Bagaimana dengan sistem transaksi yang lainnya?

ZAIM: Ini yang dicampuradukkan. Kalau di bank syari'ah ada pembedaan
dua bentuk transaksi. Pertama, ada yang namanya mudlârabah atau
profit-lost sharing, yakni sistem bagi hasil. Kedua, sistem yang
disebut murâbahah atau sistem jual beli. Mereka mengklaim tidak
mengenal sistem kredit, tidak mengenal sistem pinjam meminjam. Jadi,
mereka hanya mengenal sistem bagi hasil dan jual beli. Tetapi kalau
kita lihat ke dalam, secara de facto yang terjadi adalah kredit dengan
bunga fix. Jadi seperti fix rate.

Jadi, kalau ada nasabah yang ingin beli motor, karena tidak punya
uang, bank akan membelikan lebih dulu. Jadi, pihak bank yang
membelinya lebih dulu, katakanlah seharga 10 juta. Lantas, harga motor
itu bisa menjadi 15 juta dari pihak bank nantinya. Maka, kalau si
nasabah oke, dia harus membayar 15 juga atas dasar kesepakatan.
Kuncinya kan bersepakat. Nah, di situ yang menjadi soal adalah: kenapa
harga motor yang 10 juta dijual seharga 15 juta? Jawabannya, karena
pembayarannya dengan cara cicilan. Pertanyaaan berikutnya: kenapa
kalau mencicil, harganya membengkak dari 10 juta menjadi 15 juta?
Jawabannya, karena cicilannya memakan tempo 5 atau 10 tahun.

Jadi, di situ waktu menjadi satu-satunya faktor yang membuat harga
jadi berubah. Dan sebetulnya, waktu yang dihargakan dengan uang, atau
time value of money itulah yang bisa disebut riba.

NONG: Kalau mengikut logika Anda, bank syari'ah yang mengklaim diri
luput dari unsur praktek ribawi, sebenarnya pada saat pelaksanaan
terjebak dalam praktek ribawi juga?

ZAIM: Betul, karena penciptaan uang tidak berhenti pada titik itu
saja. Memang, secara de jure di dalam akad, mereka mengatakan hanya
menyelenggarakan proses jual-beli (murâbahah) atau sistem bagi hasil
(mudlârabah) tadi. Tapi secara de facto, itu juga menciptakan sebentuk
kredit atau hutang. Orang akhirnya berhutang, lalu menyicil, dan
ketika menyicil itu terjadi beban tambahan. Dan itu sesungguhnya
persis dengan praktek riba. Memang, mereka mengatakan bahwa mereka
membeli dulu dan lantas dijual kepada nasabah dengan harga yang
dibengkakkan, di-mark-up. Tapi tadi sudah saya katakan, satu-satunya
dasar yang dipakai untuk mark-up itu adalah waktu; karena nasabah
menyicil selama 5 atau sepuluh tahun. Dan ketika menghitung nilai
tambahannya itu, sama saja dengan cost of money, bunga tambahan
seperti bank biasa. Jadi, dasarnya adalah riba-riba juga.

Kedua. Yang sesungguhnya terjadi juga dalam sistem perbankan adalah
praktek mencampuradukkan antara uang titipan dengan uang pinjaman.
Pada dasarnya, sistem syari'ah memang tidak mengenal praktek pinjam
meminjam. Nah, kalau kita menyimpan sesuatu seperti menitipkan sepatu
di masjid, ketika sepatu itu harus diambil, dia kan harus ada. Jadi,
sepatu tadi tidak boleh dipinjamkan kepada orang lain karena statusnya
adalah barang titipan. Nah, dalam sistem perbankan dicampuradukkan
saja antara uang yang dititipkan dengan uang yang dipinjamkan. Kalau
uang itu statusnya dipinjamkan, memang si peminjam berhak memakainya
untuk keperluan apapun, termasuk untuk dipinjamkan kepada orang lain.
Tapi dalam sistem perbankan, status itu menjadi tidak jelas; siapa
yang menitip dan siapa yang meminjam. Akhirnya, praktiknya berujung
juga pada sewa menyewa uang dan menjadi kredit.

Di sini juga masih terdapat persoalan mendasar. Dalam prinsip bagi
hasil, antara orang yang punya uang dengan yang memakai uang kan ada
arrangement yang jelas: saya punya uang, anda punya tenaga, maka kita
bekerja sama dalam prinsip bagi hasil. Nah, sekarang kita lihat apa
yang diakui sebagai prinsip mudlârabah dalam sistem perbankan
syari'ah. Ketika bank berhadapan dengan orang yang punya uang, dia
mengaku sebagai pihak yang punya tenaga. Anda sebagai nasabah atau
orang yang berpunya uang, maka mari kita bekerjasama. Nanti kalau ada
hasilnya akan berbagi. Namun begitu kita pergi, lalu datang orang lain
yang butuh uang. Maka bank bilang, "saya adalah pemilik uang. Anda
butuh uang, dan mari kita berbagi hasil. Atau, bank menawarkan untuk
membelikan sesuatu yang sudah di-mark-up. Anda lalu mesti membayar
kembali kepada bank. Pertanyaannya adalah, uang siapa yang diberikan
bank syariah kepada orang lain itu?

NONG: Apakah riba itu diharamkan karena prosedur transaksinya atau
karena bunganya?

ZAIM: Karena alasan menindasnya. Sebab, riba itu sebagaimana yang kita
terangkan tadi. Kalau Anda mula-mula meminjam seribu, dalam jangka
satu tahun bisa menjadi seribu seratus. Dua tahun bisa menjadi seribu
dua ratus. Tiga tahun seribu tiga ratus, dan seterusnya. Di situ ada
unsur menindas orang yang meminjam. Orang meminjam pertamanya seribu,
tapi dalam dua tahun bisa menjadi dua ribu.

NONG: Tapi Bung Zaim, apakah bisa dikatakan adil jika kini saya punya
hutang dengan orang lain seribu rupiah untuk tempo setahun, tapi dalam
kondisi moneter yang tidak stabil saya kembali membayar seribu rupiah
dalam tempo setahun itu?

ZAIM: Di situ sebetulnya terkandung problem sistemiknya. Ini
disebabkan kita menggunakan uang kertas yang kemudian secara integral
masuk ke dalam sistem banking. Konsekuensinya, nilai uang itu bisa
merosot. Sebab, kertas adalah kertas, karena tidak tidak punya nilai
intrinstik, atau nilai pada dirinya sendiri. Mau Anda tulis angka satu
juta, seratus ribu, pada ujungnya dia akan menjadi zero, nol. Karena
itu, dalam tradisi Islam, mata uang yang digunakan adalah emas dan
perak yang tidak pernah merosot nilai intrinstiknya.

NONG: Ada sebuah cerita yang biasanya menjadi rujukan dalam pinjam
meminjam. Konon pernah Nabi Muhammad berhutang onta berumur dua tahun.
Lalu, ketika mengembalikan hutang tersebut, beliau memberikan onta
berumur empat tahun. Sahabat lalu bertanya, "lho, kok dibayar pakai
unta empat tahun?" Nabi menjawab, "khiyârukum ahsanukum qadlân."
Sebaik-baiknya penghutang adalah yang terbaik dalam pengembalian
hutangnya. Nah, bagaimana posisi sikap Nabi ini dalam konsep perbankan
modern?

ZAIM: Itu bisa diterjemahkan bahwa orang yang meminjam yang harus tahu
diri. Orang yang dipinjamkan sesuatu, boleh menetapkan berapa dia
harus mengembalikan pinjamannya dan menambahkan dari yang dia pinjam.
Orang yang meminjam sebaiknya memberikan bonus atas pinjamannya. Nah,
dalam konteks perbankan, itu tidak diterjemahkan seperti perilaku Nabi
tadi. Lantas, diterjemahkan menjadi penetapan persenan yang harus
dibayar oleh pihak yang meminjam. Itu yang saya maksud menindas.

Selama ini, yang sering diperdebatkan juga adalah seberapa besar
kecilnya persentase bunga itu. Jadi, riba dipahami sebagai konsep yang
relatif. Satu persen misalnya, dianggap bukan riba, kalau sepuluh
persen baru terhitung riba. Tapi orang lupa bahwa dalam sistem banking
sekarang, satu persen itu dalam hitungan sekian tahun akan beranak
menjadi menjadi seratus persen.

NONG: Pandangan Anda radikal sekali, tapi nyaris utopis untuk kondisi
sekarang. Soalnya, apakah mungkin kita keluar dari jebakan sistem
perbankan yang ada? Sebab, jika mengikut jalan pikiran Anda, nyaris
tidak ada sistem perbankan yang bisa dibenarkan dalam Islam.

ZAIM: Kita kan tidak bisa mengatakan bahwa meski babi haram, karena
banyak orang yang memakan, maka babi tidak haram. Analogi ini sama
saja dengan dunia perbankan. Meski bunga bank haram dan banyak orang
yang memanfaatkannya, dia menjadi tidak haram. Jadi, posisi itu yang
mesti dijelaskan betul. Sebetulnya, kalau menurut syari'ah betul, maka
kita tidak butuh institusi perbankan. Sebab, mekanisme bagi hasil yang
diklaim murni bersyariat itu, hakikatnya tidak membutuhkan dunia
perbankan. Sebab esensinya, ketika ada seorang yang punya uang bertemu
dengan orang yang tidak punya uang tapi punya tenaga, mereka bisa
secara personal bekerja sama dan berbagi hasil. Hubungannya bisa
bersifat personal saja, tidak institusional.

NONG: Artinya Anda ingin mengatakan bahwa pembicaraan tentang bank
tidak absah dengan menggunakan embel-embel syari'ah?

ZAIM: Betul. Sebab, implikasinya cukup luas. Ketika kita menggunakan
sistem banking, baik uang yang di bawah bantal, dari kampung-kampung
dan kecamatan sekalipun akan terbawa ke Jakarta. Lalu di tarik ke atas
lagi; ke Paris, London dan lain sebagainya. Dan dalam ekonomi Islam,
uang bersifat lokal dan seharusnya tertahan di lokasi tertentu.

Nah, kalau bentuknya produk bank syariah itu adalah bagi hasil, maka
uangnya tidak perlu berputar melalui bank, tapi di sektor ekonomi
riil. Jadi, inti pembicaraan kita ini adalah: sistem banking adalah
apa yang dikenal sebagai financial economy, ekonomi uang. Jadi,
permainan kertas dan angka-angka. Sementara, sistem bagi hasil adalah
ekonomi yang riil, mungkin dagang. Karena itu, dalam Al-Qur'an
ditegaskan bahwa riba diharamkan sementara perdagangan dihalalkan.
Kira-kira, zaman sekarang ayat itu bisa berbunyi: "diharamkan atas
kamu bank dan dihalalkan mekanisme bagi hasil". Menurut saya, ketika
MUI mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank adalah riba, sebetulnya itu
juga kurang jelas dan kurang radikal. Yang jelas adalah semua bank
termasuk bank syariah adalah sistem ribawi. []
^ Kembali ke atas

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=466

Kirim email ke