Artikel kadua ngeunaan pajak ganda salah sahiji faktor 'mahalna' barang nu
'diical' ku bank syariah.

Salam,
Dian.

http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=322205&kat_id=16

*ikhtisar:*
- Pemerintah masih kurang berpihak pada perbankan syariah.
- Negara-negara lain mulai memberi tempat pada praktik syariah.
- Perlu stimulus agar bisnis syariah bisa berkembang [di RI].

Solusi Pajak Ganda Bank Syariah

 *Agus Triyanta*
Dosen Fak Hukum UII, Alumnus The University of Manchester

Apa yang telah dijanjikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla di hadapan para
praktisi perbankan syariah bahwa penghapusan pajak ganda di perbankan
syariah akan diselesaikan dalam waktu dua bulan ke depan cukup melegakan.
Seharusnya itu benar-benar dipenuhi. Permasalahan ini sudah sangat mendesak
untuk dituntaskan. Pajak ganda (*double taxation*) adalah salah dari problem
mendasar di bidang hukum (*legal impediment*) terkait dengan operasional
perbankan syariah di Indonesia. Lima belas tahun sudah perbankan syariah
beroperasi di negeri ini. Namun, hal ini belum juga teratasi.

Problem ini menjadi kian serius untuk diselesaikan, bukan saja karena dalam
rangka pencapaian target aset sebesar dua persen tahun ini. Namun, juga
karena kepentingan masuknya investasi asing.

Berbagai raksasa perbankan Islam dari berbagai negara telah membidik
Indonesia sebagai sasaran ekspansi strategis. Misalnya, Kuwait Finance House
dan Qatar Islamic Bank. Namun, mereka masih menunggu penyelesaian masalah
ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank
Indonesia.

Berbeda dengan perbankan konvensional, perbankan syariah (dan sama halnya
dengan perbankan Islam di seluruh dunia), menawarkan sebuah pembiayaan
dengan transaksi *murabahah* dan derivatnya *bai' bi thaman ajil* (BBA).
Dengan skim ini, bank membeli barang yang dibutuhkan oleh nasabah, kemudian
pihak bank menjual lagi barang tersebut kepada nasabah dengan harga asal
ditambah dengan profit margin dan nasabah akan membayar dengan cara
angsuran.

Dikarenakan terjadinya dua kali transaksi jual beli itulah, maka terjadi dua
kali peralihan kepemilikan dengan transaksi jual beli. Karena itu, sesuai
dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, utamanya Pasal 1A ayat (1),
huruf a dan b, berarti juga terbebani dua kali pembayaran pajak.

Hal ini dirasakan sangat membebani perbankan syariah. Padahal,
*murabahah*adalah produk andalan pada perbankan syariah. Saat ini
berdasarkan data yang
ada pada Bank Indonesia, transaksi perbankan syariah tidak kurang dari Rp
21,920 triliun, dengan komposisi terbesarnya adalah *murabahah* sebanyak Rp
13,340 triliun (60,86 persen).

Ketidakseriusan pemerintah dalam merespons hal ini menyebabkan perbankan
syariah enggan membayar pajak. Karenanya, pajak tersebut menumpuk sampai
miliaran, bahkan puluhan miliar rupiah.

Terlepas bahwa pajak itu tetap akan ditarik atau tidak, sikap membiarkan
status quo semacam ini menunjukkan iktikad yang tidak baik dari pemerintah.
Untuk itu, solusi harus segera diupayakan.

*Berkaca pada negara maju*
Kecerdikan berbagai negara maju untuk menangkap *booming* bisnis keuangan
Islam telah ditunjukkan dengan sikap mereka dalam merespons hambatan hukum
dalam perkembangan bisnis keuangan Islam. Amerika Serikat, negara yang boleh
dikatakan baru-baru ini saja berkohesi dengan bisnis keuangan Islam,
ternyata langsung melakukan *legal adjustment* (penyesuaian hukum) terhadap
masalah ini.

Secara tegas National Bank Act of 1864 di Amerika Serikat melarang industri
perbankan melakukan transaksi jual beli. Hal ini jelas merupakan hambatan
utama bagi perbankan Islam.

Namun, hebatnya Office of the Comptroller of the Currency (OCC), otoritas
yang bertanggung jawab mengatur urusan moneter di negara itu, akhirnya
mengeluarkan dua Interpretative Letters, yakni No 806 dan 867 yang berisi
tentang transaksi *murabahah* dan *ijarah*, dengan catatan tertentu dapat
dikecualikan dari ketentuan yang disebutkan pada National Bank Act 1864
tersebut. (Shirley Chiu and Robin Newberger, 2006).

Hasilnya, perbankan Islam menjadi sangat diminati, terutama dalam program *home
financing*. Ini karena praktik itu jauh lebih baik dibandingkan dengan
melalui skim *mortgage* yang konvensional.

Inggris barangkali dapat dikatakan sebagai negara yang paling akomodatif dan
fleksibel dalam merespons bisnis keuangan Islam, melebihi berbagai negara
Muslim sekalipun. Hal ini sejalan dengan kebijakan Pemerintahan Inggris
untuk menjadikan London sebagai *hub* bagi *Islamic financial business* di
Eropa.

*Selesai cepat*
Terkait dengan masalah pajak ganda, di negara ini juga sudah diselesaikan
dengan cepat. Tahun 2003 FSA (Financial Service Authority), badan independen
yang menentukan regulasi keuangan di Inggris, menghapuskan pajak ganda yang
menurut badan tersebut dianggap sebagai *the main hurdle in the UK*, dengan
diintroduksinya Finace Act 2003.

Dengan demikian, dalam *home financing* saja sekarang sudah mencapai 500
juta poundsterling (setara dengan satu miliar dolar AS). Bahkan, hampir
setiap tahun dalam empat tahun terakhir ini selalu ada perubahan regulasi di
negara itu khusus dalam rangka merespons bisnis keuangan Islam ini.

Singapura, negara tetangga kita, juga telah mendahului Indonesia dalam hal
ini. Monetary Authority of Singapore, sebagai yang diumumkan bersamaan
dengan *annual budged* negara itu tahun 2005, telah menghapuskan pajak ganda
pada Maret 2005. Sebagai yang dilansir berbagai media, saat ini telah
menunjukkan hasilnya dengan berdirinya raksasa perbankan Islam Asia di
negara itu dengan modal yang cukup besar berasal dari investor Timur Tengah.

Karena itu, tidak mengherankan bisnis perbankan Islam berkembang dengan
sangat pesat di dunia Barat dan berbagai negara maju. Ini tentu karena
bisnis ini sangat menjanjikan. Karenanya, tidak mustahil jika dikatakan
bahwa negara-negara yang secara idealis merintis perbankan Islam, karena
tidak sigap, saat ini ketinggalan, dan justru bisnis ini seakan diambil alih
oleh negara-negara maju.

*Pengalaman Malaysia*
Malaysia, negara yang telah memulai bisnis perbankan Islam lebih kurang satu
dekade sebelum Indonesia memulainya, telah menyelesaikan permasalahan ini
hanya beberapa tahun pada awal beroperasinya perbankan Islam. Bahkan, dalam
beberapa tahun kemudian diikuti dengan berbagai amandemen berbagai *statutes
* (undang-undang).

Pajak ganda bagi pembiayaan keuangan dengan prinsip syariah telah dihapuskan
dengan Amendment Real Property Gains Tax (RPTG) Act 1976. Di dalamnya ada
pengaturan baru pada *schedule* 2 paragraf 3(g), yang menyebutkan bahwa *
gains* yang diperoleh oleh bank dengan penjualan aset kepada nasabah atas
prinsip syariah dikecualikan dari pajak.

Dalam Stamp Act 1949, juga untuk 'memuluskan' perbankan Islam, terjadi
amandemen dengan memasukkan pasal (*section*) 14A, yang menyebutkan bahwa
penghitungan pajak didasarkan pada jumlah pembiayaan dari bank meski dalam
perjanjian dengan nasabah yang terjadi harga penjualan adalah jumlah
pembiayaan ditambah dengan profit margin. Lagi-lagi untuk mendukung industri
keuangan Islam, Income Tax 1967 Act juga diamandemen dengan memasukkan pasal
(*section*) 2(7), bahwa semua penyebutan *interests* (bunga) dalam
undang-undang ini berlaku secara mutatis mutandis dengan
*gains*(keuntungan) dan
*expenses* (biaya) dalam pembiayaan berdasar syariah.

Mempertahankan pajak ganda, bukan saja akan menghambat perkembangan
perbankan syariah, tetapi juga menunjukkan tidak adanya *good will* yang
cukup strategis. Memang penghapusan pajak ganda secara faktual akan
mengurangi penerimaan pajak, tetapi di sisi lain, tergeraknya roda ekonomi
karena investasi tadi akan memiliki *spill over* terjadinya aktivitas
ekonomi yang pada akhirnya bermuara pada meningkatnya pendapatan pajak.

Terlebih lagi, perbankan syariah selama ini menunjukkan lebih banyak
menyentuh sektor riil jika dibandingkan dengan perbankan konvensional.
Sebenarnya, dalam Peraturan Pemerintah No 144 Tahun 2000 Pasal 5 huruf d,
jasa perbankan mendapatkan dispensasi untuk tidak terkena kewajiban PPN.
Namun, menurut penafsiran Ditjen Pajak, transaksi *murabahah* tidak dapat
digolongkan sebagai jasa perbankan.

Jika dilihat secara faktual, perbankan syariah juga institusi perbankan,
yang juga berada di bawah regulasi Bank Indonesia. Berbagai perubahan
regulasi di berbagai negara yang disebutkan di atas, hampir semuanya
memiliki tafsiran bahwa apa pun produk bank syariah, dia haruslah dianggap
sebagai bagian dari sistem perbankan yang tidak layak dikenai dengan pajak
ganda. UU No. 18 Tahun 2000 tersebut di atas haruslah dengan segera
diamandemen untuk dapat merespons masalah ini, berikut dengan pengeluaran
peraturan pemerintah dalam hal terkait.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke