Harian Tribun Timur, Senin, 14 Desember
2009 



Menimbang Rencana Regulasi Penyadapan Depkominfo

http://www.tribun-timur.com/read/artikel/62741 

Oleh : Muslimin B.Putra



Pemerintahan SBY-Boediono melalui Departemen Komunikasi dan Informasi
(Depkominfo) dibawah menteri barunya, Tifatul Sembiring berencana membuat
aturan penyadapan sehingga institusi seperti KPK yang sering melakukan
penyadapan terhadap seseorang yang terkait dengan indikasi korupsi akan
dikendalikan Depkominfo. Hal tersebut pertama kali dikemukakan Tifatul Sembiring
pada rapat kerja dengan Komisi I DPR-RI pada 23 November 2009 lalu. Bila aturan
tersebut diberlakukan, maka KPK secara institusi berada dalam kendali
pemerintah, bukan lagi lembaga non pemerintah yang independen. Meski dikenal
ada empat lembaga yang berhak melakukan penyadapan yakni KPK, Polri, Kejaksaan
dan Badan Intelijen Negara (BIN), namun KPK secara kelembagaan merupakan
institusi yang berbeda dari ketiga institusi pemerintah tersebut. 



Rencananya aturan penyadapan dalam bentuk peraturan pemerintah dan dijadikan
turunan dari Undang-Undang No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) yang telah disahkan 2008. Padahal pembuatan aturan penyadapan
sebenarnya tidak diperintahkan oleh UU ITE, dan hanya skenario pelemahan KPK
secara perlahan-lahan oleh pemerintahan SBY-Boediono setelah tidak berhasil
melemahkannya melalui penahanan dua orang pimpinan KPK: Chandra M Hamzah dan
Bibit S. Riyanto.



Saat ini Depkominfo telah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Tata
Cara Penyadapan bagi Lembaga Hukum untuk mengatur izin penyadapan dan
ditargetkan selesai dalam enam bulan ke depan. Depkominfo menjadikan Australia
dan Korea sebagai referensi yang menerapkan aturan penyadapan dalam satu pintu.
Pada kedua negara tersebut, penyadapan dilakukan oleh lembaga semacam
Depkominfo yang bernama Law Full Interception. 



Selain itu, Tifatul Sembiring sering mengatasnamakan Hak Azasi Manusia (HAM)
yang terlanggar dalam penyadapan yakni hak untuk berkomunikasi. Bukankah
praktek korupsi juga melanggar hak azasi manusia orang lain yang diambil haknya
untuk menikmati pembangunan dari anggaran negara yang dikorup oleh koruptor.
Penyadapan yang dilakukan oleh KPK bukanlah terhadap semua orang yang
berkomunikasi, tetapi hanya beberapa gelintir orang yang dicurigai melakukan
praktek korupsi. Hak azasi segelintir orang bisa disepelekan manakala melanggar
hak azasi banyak orang. 



Bila tanpa gerakan penolakan, bisa jadi aturan tersebut akan berpotensi
menghambat gerakan pemberantasan korupsi. Penyadapan akan dibirokratisasi oleh
Depkominfo, sebuah langkah mundur bagi rezim SBY-Boediono dalam mendukung
gerakan anti-korupsi yang menjadi tema kampanye mereka pada Pilpres Juli 2009
lalu. 



Trauma Penyadapan



Bisa diduga munculnya rencana pembuatan aturan penyadapan oleh Depkominfo
dilandasi oleh kegerahan para pejabat negara yang dirugikan kepentingannya oleh
aktifitas penyadapan KPK yang telah terbukti efektif. Kasus penyadapan Anggodo
Widjojo yang terkait dengan proyek pengadaan Sistem Komuniasi Radio Terpadu 
(SKRT)
dengan tersangka Anggoro Wodjojo yang telah diperdengarkan dalam sidang
Mahkamah Konstitusi beberapa hari yang lalu pada sebagian pihak meresahkan. 



Tampaknya rezim SBY-Boediono trauma terhadap penyadapan KPK yang telah
menghebohkan dunia internasional sehingga menyerukan Depkominfo membuat
regulasi tentang penyadapan. Bahkan Depkominfo telah membuat strategi
berjenjang dalam rangka meregulasi penyadapan: startegi melalui satu pintu atau
dua pintu. Bila satu pintu, maka aturan tersebut dibawah kontrol Depkominfo
atau pengadilan, dan bila dua pintu maka aturan penyadapan berada pada kedua
institusi dimaksud. 



Namun Depkominfo melupakan bahwa penyadapan yang dilakukan oleh KPK berdasarkan
kewenangan dari Undang-Undang, sementara Depkominfo akan mengaturnya pada level
Peraturan Pemerintah (PP). Jelas antara PP dengan UU tidak selevel dan
melanggar UU No. 10/2004 yang mengatur hirarki perundang-undangan. 



Velox et Exactus 



Prosedur penyadapan seharusnya menganut prinsip velox et exastus (informasi
terkini dan akurat). Mungkin atas dasar inilah KPK selama ini berhasil
membongkar beberapa tindak pidana korupsi seperti kasus dua anggota DPR yang
telah terjerat hukum pemenjaraan: Abdul Hadi Jamal dan Al Amin Nasution.
Keduanya berhasil ditangkap melalui proses penyadapan dan laporan terkini dan
akurat. 



Penyadapan yang dilakukan oleh KPK sudah diatur oleh Undang-Undang sehingga
aturan dalam bentuk Peraturan Pemerintah menyalahi hirarki hukum
perundang-undangan. Aturan penyadapan KPK telah diatur pada Pasal 12 Ayat 1 (a)
UU No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebutkan bahwa
lembaga KPK dalam menjalankan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan memiliki
wewenang untuk menyadap dan merekam pembicaraan. Berdasarkan pasal tersebut,
dalam melakukan penyadapan KPK tidak memerlukan izin ke pengadilan.



Persoalan izin pengadilan menjadikan satu prosedur dalam RPP yang dibuat
Depkominfo. Sementara saat ini dunia peradilan berwajah buram dengan munculnya
makelar kasus dan mafia peradilan yang menjadikan perkara-perkara dalam
institusi pengadilan kedalam skema transaksional- material. Keberadaan sosok
Artaliyta Suryani dalam kasus jaksa yang menangani BLBI serta sosok Ong Yuliana
dan Ari Muladi dalam kasus Masaro – dua kasus hukum besar yang menyedot 
perhatian
publik - adalah bentuk makelar kasus yang berkaitan dengan mafia peradilan yang
memperjual-belikan perkara hukum.



Bila kewenangan penyadapan diatur oleh pengadilan yang sarat mafia peradilan
akan sangat berpotensi menghambat proses pemberantasa korupsi di Indonesia.
Mekanisme semacam ini akan menjadi rawan bagi makelar kasus yang bermain pada
level informasi perkara. Saat ini tak satupun institusi pengadilan yang bisa
membuktikan bahwa institusinya bebas dari praktek mafia peradilan. 



Persoalan independensi peradilan saat ini masih sangat sulit ditemukan ditengah
sistem hukum Indonesia yang tereduksi oleh mafia hukum. Peradilan yang
indendepen harus bisa menghormati proses hukum yang sedang dilakukan yang
terkait penyadapan agar tidak membocorkan kepada pihak yang sedang menjadi
sasaran penyadapan. Seyogyanya memang penyadapan hanya boleh dilakukan oleh
seseorang atas nama lembaga yang memiliki kewenangan terkait adanya dugaan
tindak pidana atau kejahatan. Atau dangan kata lain, penyadapan bisa dilakukan
apabila lembaga penegak hokum itu sudah memiliki bukti-bukti yang cukup
terlebih dahulu. Disinilah batasan penyadapan dilakukan agar tidak melanggar
hak azasi seseorang. 

Dalam tataran internasional, prestasi KPK dalam memberantas korupsi melalui
penyadapan telah diakui dunia. Karena itu tidak sepantasnya aturan penyadapan
dikenakan kepada KPK, tapi bisa diberlakukan pada lembaga penegak hukum lainnya
didalam jajaran pemerintahan, seperti kepolisian dan kejaksaan. Selama ini KPK
menggunakan proses penyadapan berdasarkan Standard Operational Prosedure (SOP)
sendiri yang sudah diatur dibawah payung hukum UU KPK.



Celah yang bisa diatur dalam regulasi penyadapan hanya pada tata cara
penyadapan, apakah dilakukan pada proses penyelidikan, atau penyidikan atau pada
proses penuntutan. Pendapat yang berkembang terletak pada proses penyidikan,
dengan demikian KPK diharuskan bekerja mencari bukti awal sebelum penyadapan.
Selama ini KPK tidak dibatasi dalam melakukan penyadapan, tergantung konteks
perkara yang ditangani. Bisa saja KPK melakukan penyadapan untuk mencari bukti
awal pada proses penyelidikan. Dengan cara seperti itu terbukti berhasil
menjerat para koruptor seperti pada kasus Al Amin Syukur, anggota DPR dari PPP.




Praktek penyadapan sudah berjalan selama tujuh tahun sejak UU KPK diundangkan.
Namun ironisnya baru sekarang pemerintah mempermasalahkan praktek penyadapan
dan bermaksud membuatkan regulasi. Ada apa dengan rezim SBY-Boediono? 



Penulis, Pemerhati Politik dan Kebijakan Publik pada Center for Policy Analysis
(CEPSIS), Makassar.




      
___________________________________________________________________________
Dapatkan nama yang Anda sukai!
Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan @rocketmail.com.
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

Reply via email to