Memang sesuatu yang sangat unik bisa terjadi di Indonesia, mungkin juga tak ada keduanya didunia ini, dimana bisa terjadi masalah kewarganegaraan begitu rumitnya khusus terhadap etnis Tionghoa.
Coba perhatikan, Ivana Lie seorang atlet Bulutangkis yang membela nama baik Indonesia, tapi masih bisa berstatus stateless, belum mempunyai kewarganegaraan yang sah. Mengapa? Satu kontradiksi peraturan UU Kewarga-negaraan yang terjadi di Indonesia. Betul-betul membuat amburadul, entah disengaja atau kelalaian dari pihak Pemerintah RI. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang berasaskan ius Soli, tempat kelahiran seseorang sebagai syarat menjadi kwarga-negara Indonesia, yang jelas telah di-Undang-kan pada tahun 1946, maka seharusnya Ivana Lie yang lahir di Indonesia, sekalipun orang-tuanya berasal dari Tiongkok sana, adalah seorang warga-negara Indonesia yang sah, selama dia tidak pernah menyatakan menolak menjadi warga-negara Indonesia untuk tetap menjadi warga-negara Tiongkok (mengikuti orang-tuanya). Tapi, kemudian lupa konkritnya tahun berapa diberlakukan keharusan seseorang turunan asing (kenyataan hanya khusus diberlakukan untuk etnis Tionghoa saja), diharuskan memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarga-negaraan Indonesia), dan, ... karena Ivana Lie tidak pernah berhasil memiliki SBKRI, dia jadi tetap dianggap stateless, bukan warga-negara Indonesia yang sah! Sekalipun dia beberapa kali keluar-negeri mewakili regu Bulutangkis Indonesia. Keluar negeri keliling kemana-mana hanya dengan surat jalan, "Saat keluar negeri, saya hanya dibekali secarik kertas yang menyatakan bahwa saya orang Indonesia. Tapi, ketika pulang, kewarganegaraan saya dicabut dan menjadi stateless (tidak punya kewarganegaraan, Red)," ujarnya. Masalah kerumitan administrasi SBKRI baru bisa diselesaikan setelah KONI dan PBSI memberikan bantuan. Satu keganjilan yang bisa terjadi di negeri ini, aneh, lucu sekaligus juga sangat menyedihkan. Dan keganjilan demikian ini ternyata juga menimpa diri atlet Bulutangkis peranakan Tionghoa lain seperti, Alan Budi Kusuma, Susi Susanti, dan Hendrawan yang juga pernah mengharumkan nama Indonesia didunia Internasional. Entah berapakali sudah bendera Merah-Putih dikibarkan dengan kumandang "Indonesia Raya" ditengah-stadion Internasional, karena prestasi yang atlet-atlet peranakan Tionghoa tersebut. Hati mereka dan kesetiaan mereka pada Indonesia tidak bisa diragukan, hanya birokrasi di Indonesia saja yang menghambat mereka menjadi warga-negara Indonesia yang sah! Salam, ChanCT ----- Original Message ----- From: BUD'S To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Thursday, February 02, 2006 2:12 PM Subject: Re: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless Kalau kasus Ivana kan ortunya masih WNA ??? cobadeh baca dengan teliti berita dari indopost ini, ini kutipannya : Ivana tidak memiliki surat kewarganegaraan karena orang tuanya adalah pendatang. "Pada 1940, orang tua saya datang dari China ke Indonesia dan belum berstatus warga negara Indonesia. Otomatis, saya menjadi warga negara asing. Padahal, saya lahir di sini sampai menjadi atlet," jelasnya. ----- Original Message ----- From: melani chia To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Wednesday, February 01, 2006 9:05 PM Subject: Re: OOT Re: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless Tdk punya SKBRI masih bisa punya pasport ,asal saja parent ada SKBRI,jd dulu kalau sy mau perpanjang pasport hrs bawa dokumen org tua sy,ribet lah,kalau masih manual,sy hanya pikir gimana kalo ilang dokumen2 jaman dulu milik org tua/milik anak2 sekarang,serba manual,hari gineeeeeeeeee. BUD'S <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Tanpa kewarganegaraan bearti ngak punya Pasport dong, tapi kenapa ya bisa mondar mandir keluar negeri he he he aneh tapi nyata. boleh tuh masuk MURI ----- Original Message ----- From: Ambon To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Sunday, January 29, 2006 5:32 AM Subject: [budaya_tionghua] Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=209258 Minggu, 29 Jan 2006, Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless JAKARTA - Masyarakat Tionghoa belum sepenuhnya diperlakukan adil. Aparat sering memperlakukan mereka secara diskriminatif. Tak jarang masyarakat Tionghoa di Indonesia menjadi komoditas para aparat untuk menjadi sapi perahan. Khususnya, dalam pengurusan identitas kewarganegaraan atau surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa tersebut dibeberkan dalam diskusi yang bertema Imlek, Eksistensi Tionghoa di Indonesia yang digelar di Marioss Place, Jakarta, kemarin. Ivana Lie, mantan atlet bulu tangkis nasional, yang hadir dalam diskusi tersebut menceritakan, dirinya merupakan salah seorang korban rumitnya birokrasi dalam mengurus SBKRI. "Bertahun-tahun saya menjadi pemain nasional, tapi tanpa kewarganegaraan," ungkapnya. Sebagai pemain yang membawa bendera Merah Putih, Ivana berkali-kali mengharumkan nama bangsa di level internasional. Prestasinya itu membuat lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang di berbagai penjuru dunia. "Saat keluar negeri, saya hanya dibekali secarik kertas yang menyatakan bahwa saya orang Indonesia. Tapi, ketika pulang, kewarganegaraan saya dicabut dan menjadi stateless (tidak punya kewarganegaraan, Red)," ujarnya. Dia juga telah berusaha mengurus KTP, tapi tidak bisa karena tidak memiliki surat kewarganegaraan. Ivana tidak memiliki surat kewarganegaraan karena orang tuanya adalah pendatang. "Pada 1940, orang tua saya datang dari China ke Indonesia dan belum berstatus warga negara Indonesia. Otomatis, saya menjadi warga negara asing. Padahal, saya lahir di sini sampai menjadi atlet," jelasnya. Akhirnya, SBKRI tersebut didapatkan setelah diperjuangkan KONI dan PBSI. "Bukan hanya saya yang mengalami hal ini. Tapi, beberapa atlet bulu tangkis lain seperti Alan Budi Kusuma, Susi Susanti, dan Hendrawan juga mengalami," katanya. Mengomentari Ivana, pengamat etnis Tionghoa Ridawan Saidi mengatakan, "Tidak ada tanda-tanda akan menjadi baik. Itu (SKBRI) satu kerumitan administrasi. Itu satu peluang untuk mencari uang bagi para birokrat. Kita punya kebijakan nasional kewarganegaraan, tapi tidak berjalan karena tidak ada juklak dan juknis." Menurut dia, peraturan yang mewajibkan warga keturunan Tionghoa mempunyai SBKRI harus dihentikan. Sebab, hal itu sudah tidak relevan dengan kondisi bangsa yang mengedepankan kesetaraan. "Peraturan seperti itu seharusnya disudahi. Itu kan kelanjutan dwi kewarganegaraan rangkap 1950," tegas mantan anggota DPR tersebut. Hal yang sama diungkapkan dosen Studi Masyarakat Tionghoa Indonesia dari Beijing Foreign Studies University, Eddy Prabowo. Dia menyatakan, permasalahan SBKRI masih belum jelas karena konsep pemerintah masih berbelit-belit. "Ini sebuah realitas bahwa orang bisa ditendang ke mana saja. Karena apa? Sebab, ini adalah massa mengambang. Kedua, punya duit. Ini sangat berbahaya karena merembet dalam banyak hal, terutama status hukum," jelasnya. Dalam kesempatan tersebut, dia juga menyinggung soal diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Menurut dia, diskriminasi tersebut terjadi karena faktor eksternal. Artinya, bukan disebabkan keberadaan masyarakat Tionghoa dan lainnya. "Di lapisan bawah, simbiosis dengan masyarakat bawah sudah cukup baik. Yang mengondisikan adalah faktor eksternal," ujarnya. Salah satu faktor eksternal adalah faktor politis. Lalu, bagaimana menyikapi faktor-faktor eksternal tersebut? Dia menyatakan sangat sulit. Sebab, tidak ada kemauan untuk berubah ke arah lebih baik. "Sulit. Sebab, orang Tionghoa terkesan ngapain kita bicara kalau salah dan nggak bicara juga salah, mau mengadu ke siapa? Minta perlindungan ini, itu," tegasnya. Di sisi lain, Eddy yakin diskriminasi itu lambat laun berkurang. Sebab, mulai terjadi gerakan-gerakan generasi muda keturunan Tionghoa untuk melakukan dialog multikultural. "Generasi sudah mulai mendobrak kebekuan yang ada," katanya. Mereka mulai mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) serta Departemen Hukum dan HAM. Bukan hanya itu. Menurut Eddy, perlu dikembangkan rekonsiliasi sosial yang mengedepankan keterbukaan serta kesepahaman. "Tidak ada gunanya saling mencela dan kemudian kecenderungan eksklusivitas. Yang penting kesepahaman antara elemen," tegasnya. (yog) [Non-text portions of this message have been removed] .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links [Non-text portions of this message have been removed] .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/