--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Akhmad Bukhari Saleh" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
---- deleted --- >Salah satu yang sulit disanggah adalah kalau mencermati unsur motifnya. Setiap tindakan tentu ada motivasinya. Kalau itu kebijakan untuk anti Tionghoa WNI, samasekali tidak bisa dicari apa motivasinya, apa kepentingannya, apa untungnya bagi Soeharto untuk anti-Tionghoa. Yang nampak justru kebalikannya, dia punya motivasi, punya kepentingan, punya keuntungan untuk berbaik-baik kepada Tionghoa WNI. Sedangkan kalau itu kebijakan untuk membendung RRT, walau pun di milis ini ada yang membela sikap RRT kepada RI waktu itu, tetapi nampak jelas ada motivasi, ada kepentingan, ada keuntungan Soeharto yang sangat valid waktu itu untuk mengisolasi pengaruh RRT masuk ke Indonesia. ---------------- Disinilah, Ahmad heng, konplexnya sejarah komunitas Tionghoa di tanah air kita, sejak Perang Diponegoro sampai akhir masa pak Harto. Pola sejarah tidaklah hitam putih, tetapi multi facette. Perilaku pimpinan pribumi, terutama bangsawan, adalah mendua menghadapi ko0munitas Tionghoa, demikian juga pemerintah Hindia Belanda. Di satu sisi pangeran Diponegoro didukung oleh komunitas Tionghoa dalam melawan Belanda dengan dana dan senjata (khabarnya juga kuda pangeran Diponegoro adalah pemberian seorang sahabat Tionghoa), on the same time ada pembantaian komunitas Tionghoa oleh keluarga Hamengku Buwono, yakni dibawah pimpinan bangsawan wanita. Juga sikap bung Karno menghadapi komunitas Tionghoa mendua. Disatu sisi beliau sangat senang dengan dukungan RRT dan para politisi Tionghoa yang kiri, tetapi secara pribadi beliau tak dekat dengan tokoh ataupun sahabat Tionghoa. Sebaliknya pak Harto, yang secara politis menekan keTionghoaan warga Tionghoa di Indonesia, memiliki sahabat sahabat kental dari komunitas Tionghoa, seperti Bob Hasan, Liem SL dan lain lainnya. Hubungan business keluarga pak Harto dengan para tokoh business Tionghoa sangat intensif, dibandingkan hubungan bung Karno dengan kawan kawan Tionghoa, yang selalu berjarak. Pak Harto yang pemerintahannya mau meremukkan sendi budaya Tionghoa on the same time menciptakan sebuah kelas ekonomi Tionghoa yang sangat andal, yang kini menumpu perekonomian kita secara micro. Para konglo Tionghoa tak mempunyai peluang untuk menjadi kaya seperti itu dibawah bung Karno. nah, baik dibawah bung Karno maupun dibawah pak harto selalu ada potensi diantara politisi Non Tionghoa, yang selalu menginginkan berakhirnya dominasi ekonomi Tionghoa. sampai kini. Hal ini paralel dengan yang terjadi di Malaysia sejak Malaysia berdiri ditahun 50an pertengahan. Di satu sisi sultan sultan malayu cukup akrab dengan pengusaha pengusaha kaya Tionghoa seperti keluarga Kuok. Dilain sisi, mereka mendukunu kekuatan diantara orang Melayu alias Bumiputra untuk memojokkan komunitas Tionghoa, yang memuncak pada clash berdarah tahun 1968. Bung Karno, yang mendukung gerakan Paraku di Kalimantan utara, yang terdiri dari pejuang pejuang Tionghoa, tak mempunyai banyak sahabat akrab dari kalangan Tionghoa dalam kehidupan se-hari hari. Pak Harto yang memerangi Paraku dalam rangka memperbaiki hubungan dengan Malaysia, punya sahabat kental setumpuk dari kalangan usahawan Tionghoa. Kita lihat, kepentingan pribadi (seperti yang Ahmad Heng singgung) dan kepentingan politik tak selalu sejalan. Saya, yang memahami derita kalangan Tionghoa dizaman orde baru, mempunyai segunung sahabat terutama dari kalangan usahawan kaya yang dekat pak Harto. Aneh tapi benar. Baik ayah Ahmad Heng, maupun ayah saya yang sering duduk dalam kabinet RI pada awal sejarah negara ini, mempunyai jarak politis yang paralel dengan resim Suharto. Salam Danardono