Bung Danardono yang budiman:
Terima kasih atas uraian anda. Namun saya tidak percaya bahwa majoritas orang 
Tionhua dapat menggunakan bahasa Jawa secara benar walaupun tinggal di 
pedalaman. Saya percaya bahwa banyak yang dapat bicara bahasa Jawa berikut 
segala sopan santunnya, tetapi ini termasuk minoritas yang banyak bergaul 
dengan tetangga non Tionghua. Walaupun demikian orang Tionghua yang Kristen 
atau Katolik umunya tidak berani mengikuti kebaktian dalam bahasa Jawa. Saya 
kira yang dapat berdoa "Rama kawula" dan "Sembah Bekti kawula Dewi Maria" 
langka sekali.
Peter Liem

--- On Sun, 6/8/08, RM Danardono HADINOTO <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: RM Danardono HADINOTO <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [budaya_tionghua] Re: Bahasa Daerah Sunda
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Date: Sunday, June 8, 2008, 6:45 AM










    
            Ini tergantung dari dimana masyarakat Tionghoa itu bermukim di 
Jawa. 

Apa yang anda tuturkan memang banyak terjadi di pantai utara Jawa, 

seperti Semarang sampai Surabaya. Disana, komunitas Tionghoa 

kebanyakan hidup dengan orang Jawa yang menjadi karyawan mereka, yang 

kebanyakan datang dari pedesaan didekitarnya.



Ini sangat berbeda dengan masyarakat Tionghoa yang bermukim ditengah 

sentra budaya Jawa seperti Jogya dan Surakarta, bahkan sampai ke 

Kediri dan Madiun. Pengusaha pengusaha batik diwilayah ini sangat 

menguasai bahasa Jawa, sampai ketingkat kromo inggil.



Juga orang Jawa yang datang dari daerah yang bahasa Jawanya dinilai 

tidak terlalu halus, seperti Banyumas dan sekitarnya, tidak menguasai 

bahasa Jawa yang dinilai baik. Sahabat saya, pensiunan direktur bank 

swasta berasal dari Banyumas bahasa Jawanya "berantakan" .



Dalam ritual kebaktian, biasanya dipakai bahasa pustaka. Atau yang 

mendekati bahasa sastra, eperti dalam misa berbahasa Jawa. Dalam 

sebuah kebaktian umat Buddha disebuah vihara yang bejalur Ekayana, 

dipakai selain bahasa Sansekerta, juga bahasa Jawa kuno (Kawi). Ini 

biasanya berasal dari tembang (doa dalam bentuk pantun).



Salam budaya



Danardono



--- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, peter liem <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:

>

> Bung David yang budiman:

> Saya sangat memperhatikan soal bahasa yang digunakan oleh orang 

Tionghua dan tertarik akan uraian anda tentang pemakaian bahasa Sunda 

didaerah Sunda. Saya yang berasal dari daerah Jawa merasa sadar bahwa 

umumnya orang Tionghua disana juga tidak mampu bicara bahasa Jawa 

yang benar (menurut sopan santun dan menurut aturan bahasa) dan tak 

mampu bicara bahasa yang halus. Bahasa Jawa yang digunakan antara 

orang Tionghua tidak hanya terbatas dalam vokabuler dan 

menggunakan& nbsp; kata kata Hokkian, juga bahasa kasar, tidak 

mengindahi sopan santun karena kebanyakan digunakan untuk 

berkomunikasi dengan pembantu. Bila mereka mau bicara agak "halus" 

mereka menggunakan bahasa "Mlayu" atau bahasa Indonesia dengan logat 

lokal. Akibatnya umunya orang Tionghua tidak dapat mengikuti khotbah, 

doa, kebaktian atau misa dalam bahasa Jawa. Pokoknya Bahasa Jawa yang 

dipakai orang Tionghua disana berbeda daripada bahasa yang dipakai 

orang Jawa.

> Peter Liem

> 

> --- On Sat, 6/7/08, David Kwa david_kwa2003@ ... wrote:

> From: David Kwa david_kwa2003@ ...

> Subject: [budaya_tionghua] Bahasa Daerah Sunda

> To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com

> Date: Saturday, June 7, 2008, 1:20 AM

> 

> 

> 

> 

> 

> 

> 

> 

> 

> 

>     

>             Sesuai dengan perkembangan zaman, bahasa Sunda modern 

memang hanya 

> 

> terbagi dalam tiga tingkatan: bahasa kasar ("cohag"), bahasa akrab 

> 

> ("loma") dan bahasa hormat ("hormat"). Dahulu, seperti yang saya 

> 

> pelajari, terbagi dalam lima tingkatan: kasar sekali ("kasar 

> 

> pisan"), kasar ("kasar"), sedang ("sedeng"), halus ("lemes") 

> 

> dan halus sekali ("lemes pisan"). 

> 

> Bahasa kasar biasanya digunakan pada waktu sedang marah, bahasa 

> 

> akrab kepada teman akrab atau kepada orang lain yang umurnya 

sebaya, 

> 

> sedangkan bahasa hormat kepada orang dihormati atau orang yang baru 

> 

> dikenal.

> 

> 

> 

> Bahasa Sunda Tionghoa (bandingkan dengan bahasa Melayu-Tionghoa 

atau 

> 

> bahasa Jawa-Tionghoa dalam film Ca Bau Kan) biasanya berkisar 

antara 

> 

> bahasa akrab dan kasar. Mungkin karena tidak adanya tingkatan dalam 

> 

> bahasa Tionghoa, sehingga tingkatan bahasa Sunda pun diabaikan. 

> 

> 

> 

> Sepengamatan saya, Tnglang tidak pernah berbahasa hormat kepada 

> 

> sesama Tnglang, janggal rasanya. Seorang anak akan memakai ragam 

> 

> bahasa yang sama waktu berbicara dengan orangtua ataupun teman-

> 

> temannya. Tnglang yang bisa berbahasa hormat biasanya akan mencoba 

> 

> berbahasa hormat kepada warga etnik Sunda, apalagi bila lawan 

> 

> bicaranya itu cukup tinggi tingkat sosial-ekonominya, meski dengan 

> 

> susah-payah. Mereka yang tidak bisa lebih memilih berbahasa 

> 

> Indonesia, yang dianggap netral, daripada dianggap kurang hormat, 

> 

> seperti kasus tukang bangunan tadi. Seperti bahasa Jawa-Tionghoa, 

> 

> ragam bahasa Sunda-Tionghoa juga sangat khas dalam kosa kata dan 

> 

> strukturnya; saya juga menggunakan ragam bahasa ini waktu berbicara 

> 

> dengan sesama Tnglang, bukan ragam bahasa yang biasa dipakai di 

> 

> kalangan etnik Sunda. Saya amati gejala seperti ini juga terjadi 

> 

> dalam bahasa Jawa-Tionghoa.

> 

> 

> 

> Pengalaman saya, karena stigma bahwa Tnglang tidak mampu berbahasa 

> 

> Sunda hormat, terutama di Bogor, beberapa warga etnik Sunda tidak 

> 

> mau menjawab dalam bahasa Sunda. Disapa dalam bahasa Sunda, mereka 

> 

> menjawab dalam bahasa Indonesia. Mungkin mereka takut "dikasari", 

> 

> atau ada sebab lainnya. Padahal stigma itu kan tidak sepenuhnya 

> 

> benar, masih banyak Tnglang yang mampu berbahasa hormat. Namun 

> 

> secara jujur harus diakui, banyak Tnglang yang hanya mampu 

berbahasa 

> 

> kasar dan akrab, terutama Tnglang yang jarang bergaul akrab dengan 

> 

> warga etnik Sunda. Dalam situasi dimana banyak anak muda Tnglang 

> 

> berkumpul, di warnet yang menyediakan video games, misalnya, yang 

> 

> terdengar oleh kuping saya adalah sungut-sungut atau sumpah-serapah 

> 

> dalam bahasa Sunda sangat kasar ("cohag").

> 

> 

> 

> Sebenarnya, menurut hemat saya, bahasa Sunda kasar itu akan hilang 

> 

> dengan sendirinya, seiring dengan meningkatnya pendidikan. Orang 

> 

> yang berpendidikan tinggi tentu akan merasa malu berbicara dalam 

> 

> bahasa yang tidak sesuai dengan tingkat pendidikannya itu. Teman-

> 

> teman saya Tnglang Bandung asli juga tidak menggunakan bahasa kasar 

> 

> di kampus, karena malu dengan lingkungan, hanya bahasa akrab. Dan 

> 

> bahasa akrab dipakai semua kalangan, tanpa memandang etnik.

> 

> 

> 

> --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, "gsuryana" 

gsuryana@ .> 

> 

> wrote:

> 

> >

> 

> > Bahasa daerah itu sebenarnya unik, ada bahasa sehari hari 

dimana 

> 

> terdengar 

> 

> > kasar dan ada bahasa daerah resmi dimana terdengar merdu dan 

halus.

> 

> > Untuk Bahasa Sunda bisa dibilang terbagi dalam beberapa 

dialeg, 

> 

> dengan kosa 

> 

> > kata lebih banyak kasar, dan sayangnya

> 

> > Bahasa Sunda yang kasar ini lebih banyak di pakai, terutama 

oleh 

> 

> para 

> 

> > Tenglang yang datang belakangan ( generasi tahun 40-an ) 

sehingga 

> 

> bila 

> 

> > ngobrol dengan mereka akan terdengar seperti sedang marah, dan 

> 

> dengan 

> 

> > kondisi seperti ini, putra/i nya akan menjadi bingung di 

sekolah, 

> 

> karena 

> 

> > bahasa yang dipelajari menjadi berbeda jauh.

> 

> > 

> 

> > Uniknya untuk beberapa daerah dan berlokasi di pedalam an 

> 

> pemakaian 

> 

> > bahasanya lebih banyak yang halus, dan semakin ke kota besar 

> 

> semakin kasar.

> 

> > 

> 

> > Pernah sekali waktu aku membawa tukang bangunan dari Bogor 

kerumah 

> 

> mertua, 

> 

> > dan teman mertua datang sambil bicara bahasa Sunda kasar 

banget, 

> 

> sampai 

> 

> > sampai hampir kena pukul, setelah dijelaskan bahwa itu tidak 

kasr 

> 

> dan biasa 

> 

> > dia hanya bengong heran.

> 

> > 

> 

> > Melanggengkan Bahasa Daerah bagi ku bukan sesuatu yang utama, 

> 

> melainkan 

> 

> > mencerdaskan masyarakat adalah yang paling utama, dan untuk 

> 

> mencapai itu 

> 

> > Bahasa Indonesia jauh lebih optimal, biarpun dalam 

kenyataannya 

> 

> Bahasa 

> 

> > Indonesia pun tidak semudah seperti menulis dan mengarang, 

karena 

> 

> Bahasa 

> 

> > Indonesia sendiri didalam bentuk tulisan bisa menjadi bias dan 

> 

> sangat mudah 

> 

> > terjadi mispersepsi.

> 

> > 

> 

> > sur.

> 

> > Salam,

> 

> > ChanCT

> 

> >

>




      

    
    
        
         
        
        








        


        
        

Reply via email to