Sesuai dengan perkembangan zaman, bahasa Sunda modern memang hanya 
terbagi dalam tiga tingkatan: bahasa kasar (“cohag”), bahasa akrab 
(“loma”) dan bahasa hormat (“hormat”). Dahulu, seperti yang saya 
pelajari, terbagi dalam lima tingkatan: kasar sekali (“kasar 
pisan”), kasar (“kasar”), sedang (“sedeng”), halus (“lemes”) 
dan halus sekali (“lemes pisan”). 
Bahasa kasar biasanya digunakan pada waktu sedang marah, bahasa 
akrab kepada teman akrab atau kepada orang lain yang umurnya sebaya, 
sedangkan bahasa hormat kepada orang dihormati atau orang yang baru 
dikenal.

Bahasa Sunda Tionghoa (bandingkan dengan bahasa Melayu-Tionghoa atau 
bahasa Jawa-Tionghoa dalam film Ca Bau Kan) biasanya berkisar antara 
bahasa akrab dan kasar. Mungkin karena tidak adanya tingkatan dalam 
bahasa Tionghoa, sehingga tingkatan bahasa Sunda pun diabaikan. 

Sepengamatan saya, Tnglang tidak pernah berbahasa hormat kepada 
sesama Tnglang, janggal rasanya. Seorang anak akan memakai ragam 
bahasa yang sama waktu berbicara dengan orangtua ataupun teman-
temannya. Tnglang yang bisa berbahasa hormat biasanya akan mencoba 
berbahasa hormat kepada warga etnik Sunda, apalagi bila lawan 
bicaranya itu cukup tinggi tingkat sosial-ekonominya, meski dengan 
susah-payah. Mereka yang tidak bisa lebih memilih berbahasa 
Indonesia, yang dianggap netral, daripada dianggap kurang hormat, 
seperti kasus tukang bangunan tadi. Seperti bahasa Jawa-Tionghoa, 
ragam bahasa Sunda-Tionghoa juga sangat khas dalam kosa kata dan 
strukturnya; saya juga menggunakan ragam bahasa ini waktu berbicara 
dengan sesama Tnglang, bukan ragam bahasa yang biasa dipakai di 
kalangan etnik Sunda. Saya amati gejala seperti ini juga terjadi 
dalam bahasa Jawa-Tionghoa.

Pengalaman saya, karena stigma bahwa Tnglang tidak mampu berbahasa 
Sunda hormat, terutama di Bogor, beberapa warga etnik Sunda tidak 
mau menjawab dalam bahasa Sunda. Disapa dalam bahasa Sunda, mereka 
menjawab dalam bahasa Indonesia. Mungkin mereka takut “dikasari”, 
atau ada sebab lainnya. Padahal stigma itu kan tidak sepenuhnya 
benar, masih banyak Tnglang yang mampu berbahasa hormat. Namun 
secara jujur harus diakui, banyak Tnglang yang hanya mampu berbahasa 
kasar dan akrab, terutama Tnglang yang jarang bergaul akrab dengan 
warga etnik Sunda. Dalam situasi dimana banyak anak muda Tnglang 
berkumpul, di warnet yang menyediakan video games, misalnya, yang 
terdengar oleh kuping saya adalah sungut-sungut atau sumpah-serapah 
dalam bahasa Sunda sangat kasar (“cohag”).

Sebenarnya, menurut hemat saya, bahasa Sunda kasar itu akan hilang 
dengan sendirinya, seiring dengan meningkatnya pendidikan. Orang 
yang berpendidikan tinggi tentu akan merasa malu berbicara dalam 
bahasa yang tidak sesuai dengan tingkat pendidikannya itu. Teman-
teman saya Tnglang Bandung asli juga tidak menggunakan bahasa kasar 
di kampus, karena malu dengan lingkungan, hanya bahasa akrab. Dan 
bahasa akrab dipakai semua kalangan, tanpa memandang etnik.

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "gsuryana" <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
> Bahasa daerah itu sebenarnya unik, ada bahasa sehari hari dimana 
terdengar 
> kasar dan ada bahasa daerah resmi dimana terdengar merdu dan halus.
> Untuk Bahasa Sunda bisa dibilang terbagi dalam beberapa dialeg, 
dengan kosa 
> kata lebih banyak kasar, dan sayangnya
> Bahasa Sunda yang kasar ini lebih banyak di pakai, terutama oleh 
para 
> Tenglang yang datang belakangan ( generasi tahun 40-an ) sehingga 
bila 
> ngobrol dengan mereka akan terdengar seperti sedang marah, dan 
dengan 
> kondisi seperti ini, putra/i nya akan menjadi bingung di sekolah, 
karena 
> bahasa yang dipelajari menjadi berbeda jauh.
> 
> Uniknya untuk beberapa daerah dan berlokasi di pedalam an 
pemakaian 
> bahasanya lebih banyak yang halus, dan semakin ke kota besar 
semakin kasar.
> 
> Pernah sekali waktu aku membawa tukang bangunan dari Bogor kerumah 
mertua, 
> dan teman mertua datang sambil bicara bahasa Sunda kasar banget, 
sampai 
> sampai hampir kena pukul, setelah dijelaskan bahwa itu tidak kasr 
dan biasa 
> dia hanya bengong heran.
> 
> Melanggengkan Bahasa Daerah bagi ku bukan sesuatu yang utama, 
melainkan 
> mencerdaskan masyarakat adalah yang paling utama, dan untuk 
mencapai itu 
> Bahasa Indonesia jauh lebih optimal, biarpun dalam kenyataannya 
Bahasa 
> Indonesia pun tidak semudah seperti menulis dan mengarang, karena 
Bahasa 
> Indonesia sendiri didalam bentuk tulisan bisa menjadi bias dan 
sangat mudah 
> terjadi mispersepsi.
> 
> sur.
> Salam,
> ChanCT
>


Kirim email ke