Bung Peter,

Menurut saya, seharusnya memang kita menguasai ragam bahasa yang 
berbeda-beda, sesuai situasi dan kondisi, dan dengan siapa 
berbicara. Tiap bahasa memang mempunyai banyak ragam. Bahasa 
Indonesia, misalnya, mengenal ragam resmi-tak resmi, lisan-tulisan, 
dsb. Seyogyanyalah kita menguasai lebih dari satu ragam, sebab ada 
saatnya kita menggunakan ragam tak formal, ada pula saatnya kita 
memakai ragam formal, misalnya. Waktu berbicara di depan publik, 
tentu saja kita wajib menggunakan ragam formal. Untuk itulah 
diperlukan penguasaan bahasa yang lebih baik.

Bahasa daerah pun tak terkecuali, kendati penguasaan bahasa daerah 
setempat pada orang Tionghoa memang kadang tidak sebaik dengan yang 
non-Tionghoa. Di masa lalu hal itu mungkin disebabkan orang Tionghoa 
yang berpendidikan Tionghoa atau Belanda tidak diberi mata pelajaran 
bahasa daerah di sekolah, sehingga penguasaan bahasa daerah 
setempatnya hanya berdasarkan bahasa lisan yang dipakai di 
lingkungannya sehari-hari. Kalau ia berada di lingkungan yang banyak 
menggunakan bahasa halus, seperti misalnya di lingkungan keraton 
Yogya-Solo, niscaya bahasa daerahnya pun lumayan halus, Tapi, 
sebaliknya, kalau orang Tionghoa itu hanya belajar bahasa daerah 
setempat yang kasar secara lisan dari pasar, misalnya, sudah pasti 
ragam bahasa pasar yang kasarlah yang dikuasainya. Pada waktu 
pendidikan seseorang meningkat ke perguruan tinggi, misalnya, sudah 
barang tentu tak mungkin lagi ia menggunakan ragam bahasa pasar yang 
kasar itu di lingkungan kampus. Pada saat itu seyogyanyalah ia 
meningkatkan kemampuan berbahasa daerahnya, sesuai dengan status 
pendidikannya yang meningkat itu. Tapi biasanya hal itu secara 
otomatis terjadi dengan sendirinya, sebab manusia punya kemampuan 
beradaptasi yang hebat. Tentu saja, dalam hal ini faktor pendidikan 
memegang peranan sangat penting.

Tapi saya lihat, bahasa daerah yang khas merupakan perekat 
antarsesama warga yang berasal dari kelompok bahasa yang sama. 
Bahasa Jawa-Tionghoa, misalnya―untuk mengistilahkan ragam bahasa 
Jawa yang dipakai orang Tionghoa―menjadi perekat orang Tionghoa yang 
berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Saya amati, ketika 
bertemu dan tahu asal daerah masing-masing, misalnya orang Semarang 
bertemu dengan orang Surabaya, orang Tionghoa yang berasal dari 
daerah-daerah tersebut akan switch ke bahasa Jawa-Tionghoa untuk 
menunjukkan keakraban. Orang-orang tersebut akan switch lagi ke 
bahasa Melayu/Indonesia pada waktu berbicara dengan orang yang bukan 
berasal dari Jawa Tengah-Jawa Timur. Di sini saya melihat bahasa 
daerah sebagai bahasa identitas daerah asal, bukan hanya bagi orang 
Jawa tapi juga orang Tionghoanya. 

Berdasarkan penglaman tersebut, maka kita tak usah heran apabila 
orang Tionghoa Medan memilih berbahasa Hokkian dengan orang Medan 
dan sekitarnya, sebab itulah bahasa identitas asal mereka. Demikian 
pula orang Tionghoa Aceh berbahasa Hakka, orang Bagan Hokkian, orang 
Bangka Hakka, orang Pontianak Tiociu, orang Singkawang Hakka, dst, 
dst.

Di luar semua itu, marilah kita sebagai orang Tionghoa ikut aktif 
berperan serta melestarikan bahasa daerah tempat kita berada dengan 
sedapat mungkin mempertahankan bahasa daerah dalam keluarga, sebab 
bagaimanapun kita tokh orang Indonesia, bukan “orang asing” 
atau “tamu” yang “hanya menumpang hidup,” seperti yang selama 
ini kerap dituduhkan kepada kita. Kita tak rela dituduh seperti itu. 
Namun, tentu saja bahasa daerah yang baiklah yang kita pelajari, 
bukan bahasa pasar yang kasar.

Kiongchiu/Gongshou,
DK

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, peter liem <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:

Bung David yang budiman:
Saya sangat memperhatikan soal bahasa yang digunakan oleh orang 
Tionghua dan tertarik akan uraian anda tentang pemakaian bahasa 
Sunda didaerah Sunda. Saya yang berasal dari daerah Jawa merasa 
sadar bahwa umumnya orang Tionghua disana juga tidak mampu bicara 
bahasa Jawa yang benar (menurut sopan santun dan menurut aturan 
bahasa) dan tak mampu bicara bahasa yang halus. Bahasa Jawa yang 
digunakan antara orang Tionghua tidak hanya terbatas dalam vokabuler 
dan menggunakan&nbsp; kata kata Hokkian, juga bahasa kasar, tidak 
mengindahi sopan santun karena kebanyakan digunakan untuk 
berkomunikasi dengan pembantu. Bila mereka mau bicara agak "halus" 
mereka menggunakan bahasa "Mlayu" atau bahasa Indonesia dengan logat 
lokal. Akibatnya umunya orang Tionghua tidak dapat mengikuti 
khotbah, doa, kebaktian atau misa dalam bahasa Jawa. Pokoknya Bahasa 
Jawa yang dipakai orang Tionghua disana berbeda daripada bahasa yang 
dipakai orang Jawa.

Peter Liem


Reply via email to