TTM BT semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan (sahur)?

Itu judul sebenernya merupakan teka-teki anak-anak saya waktu 
mereka masih pada SD. 

Suatu kali anak-anak pulang sekolah, kami makan siang bersama,
dan anak saya yang perempuan menanyakan teka-teki itu. Koko-
nya sudah mau jawab tapi dicegah adiknya. 

Saya tentu tidak bisa menjawab pertanyaan "mengapa anak babi
jalannya nunduk" itu. Sebab memang begitulah pertanyaan teka-
teki. Cuma yang mengajukan pertanyaan yang tahu jawabnya.Ke-
cuali teka-teki yang sama anda ajukan lagi berulang-ulang.

Jawabnya: si anak babi malu karena ibunya seekor babi!

Jaman dulu, kalau ada anak yang kurang ajar, berbuat ulah yang
memalukan dengan perkataan dan perbuatannya, yang malu ada-
lah orangtuanya. Sebab orangtua merasa sudah gagal mendidik
anak-anaknya. 

Jaman sudah berubah, sekarang anak-anak merasa malu kalau
orangtuanya berbuat ulah yang memalukan, misal korupsi, atau
berkata dan berbuat yang memalukan lain-lainnya. 

Dari kedua hal ini, orangtua yang malu akan ulah anak-nya yang
memalukan, atau anak yang malu akan ulah orangtuanya yang me-
malukan itu, mungkin kita bisa tarik satu pelajaran: ke atas, kita
mesti menyelamatkan muka orangtua kita. Jangan berbuat ulah
yang memalukan mereka. Ke bawah, jaga kelakuan kita, supaya 
anak-2 tidak merasa malu punya orangtua seperti kita.

Jagalah perkataan kita, walau di milis kita tidak kelihatan muka.
Sebab perkataan kita adalah karakter kita, walau kita bisa sem-
bunyi dengan memilih nama samaran, tapi kita tahu bahwa itulah 
kita. Kita tidak mungkin bisa bersembunyi dari diri sendiri toh?
Lha, diri kita pan ya ada di dalam diri, ikut kemana-mana saja.

Kita punya orangtua, kita punya anak-anak, juga lingkungan
pergaulan yang terhubung relasi dengan kita. Kalau kita sudah 
terbiasa berkata kasar, mencaci maki orang tanpa sebab yang je-
las, sebab kita merasa bahwa kita berhak mengeluarkannya. Men-
jadikan kekasaran itu sebagai kebiasaan sehari-hari, itu sah-sah
saja, memang itu hak kita. Kita manusia bebas, jeh!

Tapi, ingatlah, yang menilai kita bukan saja kita sendiri, tapi 
ada anak-anak, orangtua dan lingkungan kita. Mungkin kita
merasa hebat, merasa selalu menang, tapi apa artinya ya kalau 
anak-anak kita, orangtua kita, lingkungan kita merasa malu
sebab seumur hidup mesti terhubung relasinya dengan kita?

Bisakah kita hidup tanpa ada hubungan relasi dengan mereka?

Tentang perkataan makian, kita mesti mengutip ujar-ujar sang
filsuf Confusius (Khong Hu Chu): IT TAKES ONE SECOND TO BE 
BAD (kita tinggal maki orang dengan 'anjing' misalnya, itu di-
anggap cuma 'one second'-sedetik ajah) , YET ONE WHOLE YEAR
TO BE GOOD (kita mesti sabar dan baik terus kepada orang lain).

Pilihan tentu di tangan kita: to be the one second or one year?

Kalau ada yang mengatai kita anjing, ayam, kucing, kerbau, ba-
bi, setan, dan sebagainya itu, usah kita layani dan kecil hati. Se-
bab pada nyatanya kita toh tetap saja berupa orang. Kalau saja
sampai ada yang mengatai kita 'orang', nah itu baru harus kita
sesali dan murkai kalau memang perlu. Sebab kita sudah tidak 
lagi dianggap sebagai orang, jeh! Bener ndak?

Jadi, kalau ada yang bilang " lo anjing deh" - anggap saja kita
sedang terpapar peribasa: "Anjing menggongong, kafilah tetap 
berlalu". Masak kita mesti berhenti meladeni anjing iseng ya? :D)

Anjing-anjing memang suka iseng, coba anda perhatikan, kalau 
ada orang naik motor lewat, anjing suka menguber-ubernya. Ta-
pi kalau motor itu berhenti, si anjing bodoh itu lalu diam tak ta-
hu mau ngapain. Padahal, menguber-uber motor itu bahaya se-
kali, pernah ada seekor anjing saya yang mati karena terlindas 
motor yang diuber-ubernya. Apalagi di Jakarta yang padat ya!

Begitu ajah sih ya, kira-kira.
Kalau salah tolong dibetulkan, kalau kurang sila ditambahkan.

Salam kompak selalu,
Ophoeng
BSD City,
Tangerang

Kirim email ke