Hallo Ophoeng, pernah dengar lanjutan pertanyaannya belum?

Kalau anak babi jalannya nunduk karena malu ibunya babi.  Nah, kenapa kalau 
anak kelinci jalannya loncat-loncat?

Jawabannya: Karena senang ibunya bukan babi

Hehehe...

Jadi kesimpulannya, kalau kelakuan kita buruk, bukan cuma anak atau orangtua 
kita saja yang malu, tapi orang lain pun senang kita bukan anak atau orangtua 
mereka.  Hehe...


--- On Tue, 9/16/08, Ophoeng <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Ophoeng <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [budaya_tionghua] Mengapa Anak Babi Jalannya Nunduk?
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Date: Tuesday, September 16, 2008, 7:32 PM

TTM BT semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan (sahur)?

Itu judul sebenernya merupakan teka-teki anak-anak saya waktu 
mereka masih pada SD. 

Suatu kali anak-anak pulang sekolah, kami makan siang bersama,
dan anak saya yang perempuan menanyakan teka-teki itu. Koko-
nya sudah mau jawab tapi dicegah adiknya. 

Saya tentu tidak bisa menjawab pertanyaan "mengapa anak babi
jalannya nunduk" itu. Sebab memang begitulah pertanyaan teka-
teki. Cuma yang mengajukan pertanyaan yang tahu jawabnya.Ke-
cuali teka-teki yang sama anda ajukan lagi berulang-ulang.

Jawabnya: si anak babi malu karena ibunya seekor babi!

Jaman dulu, kalau ada anak yang kurang ajar, berbuat ulah yang
memalukan dengan perkataan dan perbuatannya, yang malu ada-
lah orangtuanya. Sebab orangtua merasa sudah gagal mendidik
anak-anaknya. 

Jaman sudah berubah, sekarang anak-anak merasa malu kalau
orangtuanya berbuat ulah yang memalukan, misal korupsi, atau
berkata dan berbuat yang memalukan lain-lainnya. 

Dari kedua hal ini, orangtua yang malu akan ulah anak-nya yang
memalukan, atau anak yang malu akan ulah orangtuanya yang me-
malukan itu, mungkin kita bisa tarik satu pelajaran: ke atas, kita
mesti menyelamatkan muka orangtua kita. Jangan berbuat ulah
yang memalukan mereka. Ke bawah, jaga kelakuan kita, supaya 
anak-2 tidak merasa malu punya orangtua seperti kita.

Jagalah perkataan kita, walau di milis kita tidak kelihatan muka.
Sebab perkataan kita adalah karakter kita, walau kita bisa sem-
bunyi dengan memilih nama samaran, tapi kita tahu bahwa itulah 
kita. Kita tidak mungkin bisa bersembunyi dari diri sendiri toh?
Lha, diri kita pan ya ada di dalam diri, ikut kemana-mana saja.

Kita punya orangtua, kita punya anak-anak, juga lingkungan
pergaulan yang terhubung relasi dengan kita. Kalau kita sudah 
terbiasa berkata kasar, mencaci maki orang tanpa sebab yang je-
las, sebab kita merasa bahwa kita berhak mengeluarkannya. Men-
jadikan kekasaran itu sebagai kebiasaan sehari-hari, itu sah-sah
saja, memang itu hak kita. Kita manusia bebas, jeh!

Tapi, ingatlah, yang menilai kita bukan saja kita sendiri, tapi 
ada anak-anak, orangtua dan lingkungan kita. Mungkin kita
merasa hebat, merasa selalu menang, tapi apa artinya ya kalau 
anak-anak kita, orangtua kita, lingkungan kita merasa malu
sebab seumur hidup mesti terhubung relasinya dengan kita?

-- dipotong --


      

Kirim email ke