Bung Chan yb,
 
1. Soal perkawinan campur (berbeda agama) akan menghadapi kesulitan di 
Indonesia, akan tetapi keputusan Negara tidak bisa mencatatkan perkawinan yang 
berbeda agama bukan tanpa alasan, akan tetapi lebih disebabkan ajaran agama 
dari masing-masing agama... Jadi, dalam hal ini saya tidak sependapat apabila 
negara disalahkan dengan tidak bisa dicatatkannya perkawinan yang berbeda 
agama...
 
2. Pada dasarnya pemerintah tidak melarang warga negaranya untuk memeluk agama 
dan kepercayaan warganya... Hanya saja, tidak semua agama dan kepercayaan 
diakui oleh negara... Kalau Khong Hu Cu, diakui keabsahannya oleh negara 
paaakkk...
 
wassalam,
John Siswanto
 

--- Pada Sel, 23/9/08, ChanCT <[EMAIL PROTECTED]> menulis:

Dari: ChanCT <[EMAIL PROTECTED]>
Topik: Re: [budaya_tionghua] Re: Manusia Berhak Menjadi Ateis Sekalipun=> John 
Siswanto
Kepada: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Tanggal: Selasa, 23 September, 2008, 12:47 AM







Bung Siswanto yb,
 
Terimakasih begitu cepat memberikan jawaban.
 
Menjadi masalah kalau kolom Agama di KTP tidak boleh dikosongkan, artinya 
setiap warga HARUS ber-Agama dan sebatas Agama yang sudah disahkan Negara, 
diluar itu tidak bisa diakui dan bagi warga tidak diberi hak untuk tidak 
ber-Agama, Atheis atau kafir. Inilah paksaan yang tidak seharusnya terjadi. 
Karena masalah kepercayaan Agama adalah masalah pribadi seseorang dengan Tuhan, 
yang tidak seharusnya direcoki oleh Negara. Negara seharusnya menyerahkan 
masalah yang bersifat sangat pribadi itu pada warganya sendiri, tidak usah 
dipaksakan.
 
Kalau kepercayaan Agama dibatasi hanya yang disahkan, bagaimana ketika Kunghucu 
ketika lebih 32 Soeharto berkuasa atidak diakui sebagai Agama sah? Bukankah itu 
sangat menyakiti banyak orang yang berkepercayaan Konghucu? Lalu, memaksa 
mereka ber-"munafik" untuk beralih ke Agama lain, ... itukan jadi mendidik 
warganya bermunafik! Belum lagi agama lokal yang seharus patut dihargai dan 
dilindungi , seperti Kejawen. Tidak jelas berapa jumlah penganutnya di Jawa, 
tapi itu kan merupakan kepercayaan orang yang harus dihargai dan dihormati 
juga, Sangat tidak sehat dan tidak manusiawi kalau pemerintah menuntut mereka 
yang Agama dianggap tidak sah untuk ber-MUNAFIK atau pindah Agama. Satu sikap 
yang bertentangan dengan apa yang selalu diucapkan ber-ketuhanan yang maha-esa.
 
Sedang pengesahan perkawinan muda-mudi menempatkan hukum Agama lebih tinggi 
dari pengesahan catatan sipil negara, menurut saya juga satu sikap berlebihan, 
keterlaluan. Bagaimana bisa menempatkan hukum Agama lebih tinggi dari HUKUM 
Negara. Seharusnya hukum negara lebih tinggi dan didahulukan ketimbang hukum 
Agama. Negara juga tidak usah ikut campur dalam menentukan siapa jodoh anak 
muda yang sepenuhnya bersifat pribadi itu. Biarlah mereka tentukan sendiri 
jodoh pilihannya yang dianggap cocok dan saling cinta, sekalipun beda ras, beda 
etnis bahkan beda Agama, ... Tidak apa. Berilah hukum perkawinan yang patut 
diataati setelah hidup sebagai suami-istri umumnya, itu saja. Saya dengar 
cerita dari sahabat-sahabat, inilah sebab mengapa tidak sedikit warga 
Indodnesia terpaksa melangsungkan perkawinan di luar negeri, karena tidak 
mungkin dicatatkan sebagai suami-istri yang sah di Indodnesia. Sesuatu yang 
aneh kedengarannya, tapi itulah kenyataan yang masih
 terjadi dinegeri ini.
 
Salam,
ChanCT
 

Kirim email ke