TTM BT semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan (sahur)?

Sorry, memang saya pendoyan makan enak, jadi kalau bicara budaya
tempatan (lokal), tentu ujung-ujungnya ya ttg makanan lagi yang sa-
ya bicarakan. Kalau ada yang tidak berkenan, tolong di-skip ajah ya.

Sebelum saya ke Medan, saya besar di Cirebon dan kuliah di Yogya, se-
ring main ke rumah saudara di Solo, teman-teman banyak yang dari
Semarang, Surabaya dan di asrama saya bergaul dengan hampir sega-
la suku di Indonesia dan Tionghua dengan dialek berbeda-beda.

Jadi, kebiasaan kami di Cirebon, juga orang-orang di kota-kota di Ja-
wa adalah dalam tata cara makan bakmi, baik bakmi ayam maupun bak-
mi goreng. Umumnya, kami makan bakmi sebagai 'lauk', jadi bakmi di-
makan bersama nasi. Tentu saja ada perkecualian, dalam arti ada bebe-
rapa teman kita dari kota-kota di Jawa yang cuma 'menggado' bakmi
tanpa nasi waktu makannya. Meng'gado' ada istilah untuk makan lauk
tanpa nasi, misalnya makan sate ayam tanpa lontong, satenya doang.

Waktu saya masih SMP, ya-myen mulai populer di Cirebon, begitu juga
di Bandung. Sebagian teman dari Jawa menyebutnya mie pangsit, walau
tanp tambahan pangsit sekalipun. Ada beberapa variasi ya-myen, ada
yang 'asin' ada yang 'manis' (diberi kecap manis), ini umum di Bandung
dan di Cirebon. Juga ada mie ti-tee, diberi kaki babi masak kecap se-
bagai 'bak'nya, bukan ayam cincang masak kecap. Tapi, itulah, waktu
itu saya dan teman-teman di Cirebon selalu pesan nasi putih lagi un-
tuk makan bersama bakmi-nya. Kalau ada kedai tak menyediakan na-
si putih (biasanya orang dari Sumatera yang berdagang), kami sengaja
bawa nasi dari rumah. Si encek atau encim-nya pasti ketawa dalam hati.

Jadi, waktu saya tinggal di Medan, saudara angkat saya (akhirnya saya
diajak menginap balik ke rumah mereka) merasa heran. Anak-anaknya
yang 5 lelaki semua, memanggil saya dengan 'ciu-ciu' (a-kiu) - paman,
juga mentertawakan saya ketika makan bakmi ayam dikasih nasi. Saya
bilang kenapa? Lha memang begitulah cara kami makan di Jawa. 

Tapi, lama kelamaan, saya akhirnya mengikuti gaya mereka makan bak-
mi: tanpa nasi. Bukan apa-apa, sebab biasanya memang kedai bakmi
pan ndak menyediakan nasi putih. Di Medan pula saya mulai belajar ma-
kan bakmi dengan tambahan sayur berupa toge (tokol), pantas orang-2
Medan subur-subur ya, lha katanya toge membuat anda subur, jeh! :D)
Jangan lupa disebut acar cabe rawit hijau dan merah sebagai kondimen
makan bakmi ayam di Medan, aahh, sedapnya itu, bung!

Dan, saya juga belajar makan bakmi ayam sebagai sarapan, agak siang
sudah tidak ada lagi yang jual bakmi ayam. Paling ada beberapa yang
jual bakmi ayam (di Jalan Selat Panjang?) malam hari sebagai 'supper'.
Sementara di Cirebon, tidak ada yang jual bakmi ayam sebagai menu
sarapan. Bukan apa-apa, mereka lebih suka sarapan dengan menu lo-
kal semisal nasi lengko, nasi Jamblang atau docang.

Kwetiau juga saya belajar makannya di Medan. Jarang atau bahkan tidak
ada menu kwetiau di kedai makanan di Jawa (kecuali mungkin jakarta)
pada waktu itu. Sekarang sih, tentu sudah ndak asing lagi orang Jawa
makan kwetiauw, yang suka disebutnya sebagai 'mi-tio' atau mie-tiaw
oleh abang-abang penjaja mie tek-tek keliling door-to-door itu. Saya
Koq menduga, kayaknya kwetiau di Jawa itu pengaruh kuat dari Medan.

Buat saya pribadi, yang paling berkesan ttg Medan adalah makanannya.
Kodok-nya gede-gede (sak-lon?), kerang-nya jangan ditanya, kakap
merah segede tampah, nasi hai-nam-nya pake acar jahe,  laksa ikan-
nya sedap sekali oii, dan entah apa lagi, banyak yang sudah lupa.

Begitulah saja ya, kira-kira cuap-cuap dari saya.
Kalau ada salah, tolong diperbaiki, kalau kurang ya sila ditambahkan.

Salam makan enak dan sehat bermanfaat,
Ophoeng
BSD City, Tangerang

Kirim email ke