Bung Danarhadi dan TTM semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan (sahur)?

Hehehe... pancen ndak salah kalau di buku cerita silat selalu dikatakan,
di atas bukit masih ada gunung, dalam hal ini, saya yang menjadi lereng
bukitnya, belum bukitnya, dan Bung Danarhadi adalah gunungnya. Sori,
kalau selama ini saya sudah petentengan cuap-cuap di depan Thay-san.

FLASH BACK

Jaman 50-an dan awal 60-an, saya mah masih piyik atuh. Baru juga di-
lahirkan. Tentu saja tidak masuk dalam dimensi waktu dan ruang yang
sama yang Bung Danarhadi alami.

Disebutkan suka makan bakmi di daerah antara lain Cirebon, kalau bo-
leh saya numpang tanya, apakah Bung Danarhadi ada ingat di Cirebon
dulu katanya ada RM Buseng yang katanya sih lumayan top bakminya.
Saya cuma dengar saja ttg resto ini, sebab akhirnya resto ini tutup dan
tempatnya dibeli oleh papah saya untuk dijadikan toko kelontong. Lo-
kasinya di Jalan Pasar Pagi (Siliwangi) d/h Kejaksan, persis di seberang
Pasar Pagi (Jalan Pamitran).

BAKMI BERTOGE

Terima kasih info-nya ttg bakmi goreng yang dikasih toge. Saya baru 
tahu ttg hal ini. Yang saya ingat bahwa bakmi di Jawa barat, termasuk 
mie goreng dan mie ayam, tidak memakai toge. Baru setelah ada penga-
ruh dari mie Medan (dan Bangka?), kami mengenal bakmi dengan toge.
Tadinya mah paling juga pakai sayur caisim yang standar itu, jeh!

SAUS KENTAL SOKLAT

Kalau di luar negeri bakminya selalu pakai saus kentel, mungkin juga
itu pengaruh si Wok With Yan yang mengkampanyekan 'wonder flour'.
Coba saja ingat-ingat, si Yan dalam Wok With Yan itu, apa-apa saja
selalu diberi 'wonder flour', yang kayaknya sih tepung kanji atawa aci
diencerkan dengan air sedikit. Saya ndak tahu persis, asalnya gaya
masak bersaus kentel ini dari aliran mana di Tiongkok-nya ya.

UKURAN & BENTUK BAKMI

Bakmi tipis atau tebal, sebenarnya tergantung alat atau mesin penca-
cahnya saja. Apakah itu pengaruh budaya suatu daerah tertentu? Bisa
saja terjadi begitu. Siapa duluan di daerah situ yang membuat bakmi
yang enak dengan ukuran atau bentuk yang bulat, tebal atau tipis, ja-
di akan ditiru para pengekornya. Lama-kelamaan lantas menjadi sema-
cam ciri khas bahwa daerah situ beralrian bakmi ukuran tebal atau ti-
pis, bulat atau pipih. Begitu juga dengan warna-nya. 

Sebagai contoh, bakmi GM termasuk populer dengan 'aliran' bakmi
yang agak lembut, agak gepeng. maka banyak lantas yang coba meni-
ru gaya bakmi seperti itu, termasuk warnanya. Pangsit goreng ala GM
ajah, sekarang banyak ditiru, baik bentuk, tekstur dan warnanya. Ta-
pi ya itu tadi, bisa jadi lantas pangsit goreng model begini menjadi ci-
ri khas pangsit goreng Jakarta, misalnya. Sebab banyak kemudian yang
coba meniru pangsit ala GM, hampir semua resto bakmi ayam membuat
pangsit goreng ala GM begitu, kalau tak salah. Kalau tidak hampir se-
mua, setidaknya ada banyak ya. banyaknya ini, tentu saja yang pernah
saya coba makannya.

Tapi, itu tentu saja menurut pendapat saya yang awam. Bisa saja salah.

LOMIE DAN "LOMIE"

Lomie Pinangsia itu yang pakai kangkung dan taburan daging ayam re-
bus dan babi panggang (persisnya babi bakar), juga taburan brambang
goreng yang cukup berlimpah, disirami saus kental coklat? Kayaknya ma-
nisnya itu cuma pakai kecap manis saja. Penjualnya kelihatan bukan tu-
runan Totok, mirip Tionghua Benteng, jadi mungkin saja itu hasil adap-
tasi dari masakan Tiongkok, tapi sudah tidak jelas dari aliran mana.

Sebutan 'lomie' pada Lomie Pinangsia ini, mestinya agak melenceng da-
ri pakem 'lomie' yang lain. Lomie Abadi misalnya, juga Lomie Mikado
di Kebun Jeruk (belakang Hayam Wuruk Plaza), juga mungkin lomie di
resto umum (bukan spesial bakmi), kayaknya isinya adalah mie masak
dengan aneka sayur dan daging yang berlimpah, tidak mesti berkuah
kentel soklat pakai kanji. 

Lomie Karet juga menganut faham lomie tidak berkuah kentel, walau
warna kuahnya  juga soklat kerana kecap manis.

BAKMI BERKUAH KENTEL 

Kalau yang pakai kuah kentel soklat kanji, dari Medan ada emie, yang
diwakili oleh Acuan di Pluit (berjejeran dengan Mie Keriting Siantar itu),
dengan aroma udang (hebi) yang kentel. Mienya dimasak secara 'kocok',
memakai keranjang dari alumunium berlubang-lubang. Kuahnya bener
kentel soklat dari aci (kanji). Diberi sayur (kangkung?) dan toge, diberi
taburan brambang goreng (pengaruh Jawa?) dan telur rebus. Daging-
nya pakai udang walau sekedar basa-basi pakae udang kecil-kecil aja.

Mirip e-mie adalah mie koclok ala Cirebon, pakai siraman kuah kentel
dari aci juga, dengan tambahan santen dan berwarna putih susu. Isinya
tentu saja daging ayam suwir, bawang daun dan brambang goreng dan
sayurnya kol (kubis) dan tokol (toge). Ada kesamaan dalam hal telurnya.
Baik e-mie maupun mie koclok (=kocok) sama-sama setengah telurnya.
saya kadang heran, mungkin ada ya ayam yang bertelur setengah saja?
Hehehe..... just kidding, jeh!

Mie kocok Bandung agak beda, kuahnya encer bening. Pakainya tetelan
sapi dengan urat (koyor?), mirip sotomie di Jakarta (Karang Anyar).

MIE ACEH

Yang sungguh beda mungkin Mie Aceh. memakai mie yang bulat besar,
warnanya kuning. Yang khas mereka adalah rempah bumbunya yang ka-
tanya aneka macam berjumlah puluhan, termasuk daun 'itu'. Variasinya
di isi dagingnya, yang standar adalah daging sapi dan udang ukuran cu-
kup besar (tergantung harga dan restonya), bergaya mie Jawa yang nye-
mek (yang standar) atau bisa kuah dan goreng. Saya pernah lihat di ko-
ran dan di i-net, sekarang ada yang pakai kepiting utuh, dipajang duduk
di atas tumpukan bakmi berrempah dan berkuah nyemek itu. 

Sungguh menggiurkan, terutama bagi penggemar kepiting. Ciri khas mie
Aceh itu di rasa pedasnya yang di atas rata-rata. Kalau ndak pedas, ten-
tu itu mah bukan mie Aceh ya. Meniru slogan printer HP: Kalau bukan HP,
itu sih sekedar printer biasa, jeh!

MIE KUAH

Di Hongkong, saya pernah sarapan makan bakmi. Mereka selalu meyi-
rami bakmi dengan kuah yang bisa berwarna soklat (kalau ala angsio)
ataupun bening, tapi selalu pakai kuah. Dan, kalau yang warna soklat,
mestilah aroma saus tiremnya mencolok amis sekali. Apakah itu aliran
bakmi ala Khong-hu (Canton?), saya kira juga tidak. Daging yang dipa-
kai adalah daging babi, dikerat agak besar-lebar-pipih, yang kayaknya
di airport Guang-zhou juga bisa anda temui bakmi ala begitu. Bahkan
bakmi ala Vietnam, khususnya di Pho Hoa Jakarta, bakminya juga ber-
gaya daging keratan lebar tipis begitu.

BAKMI SHUI-ZEN, MIE CAKALANG

Saya ndak ngefans berat ama bakmi, jadi saya baru tahu ada Bakmi Shui-
zen di Pasar Baru. Kapan-kapan kalau pas lewat Pasar Baru dan ingat,
mungkin saya juga mau coba. Juga bakmi Tiongsim di Mangga Besar.

Mie Cakalang, sekarang coba ditiru oleh satu pabrik mie instant, dengan
'rasa' cakalang tapi tentu tidak pakai ikan cakalangnya. Saya pernah coba
tapi ya karena cuma rasanya saja, tidak bisa menentukan apakah itu benar
tiruan yang dekat dengan mie cakalang asli Manado. Cuma aroma amisnya
saja yang paling menonjol. Suatu saat mesti coba mie cakalang yang asli.

Saya mesti catat resto Chamoe-chamoe dengan Ibu Silvy Ratulangie-nya.
Mungkin perlu menyebut nama Bung Danarhadi tiga kali, supaya bisa da-
pat special discount atau bahkan complimentary meals? Hehehe.. kidding!

MIE KERITING & MIE SANTRI

Mie keriting itu sebenernya cuma digulung dan ditekan ketika sudah dica-
cah memakai mesin, jadi mienya memang agak ikal, ndak keriting persis.
Mungkin benar itu semula khas Pematang Siantar? Sebab yang pertama
memperkenalkan mie keriting itu yang di Pluit dengan merek Mie Keriting
P.Siantar. Mungkin juga sekedar taktik dagang bahwa itu mie yang 'beda'.
itu yang saya tahu, bisa saja salah tentu.

Bakmi Permata yang berlokasi di Samanhudi, Kebun Jeruk, Permata Hijau,
kayaknya merupakan 'me too' dari Mie Keriting Siantar. Dengan bakmi ber-
ikal mirip habis dikeriting di salon. Yang unik di Bakmi Permata, mereka
menawarkan menu serba 'santri'. Padahal mereka menjual babi chasauw.
Ketika ditanya apa maksudnya masakan yang diberi 'santri' (ada bakmi go-
reng santri, capcai santri, nasi goreng santri) mereka jawab bahwa itu ma-
sakan tanpa daging, semacam ciacai begitu. Tapi, masaknya mungkin ma-
sih menggunakan minyak babi(?), setidaknya dengan wajan yang sama.

SATE BABI & RESTO AKAY

Sate babi di resto Manado, saya belum pernah coba. Sebab saya kira yang
khas Manado itu bukan di sate babinya. Kalau benar enak, suatu saat saya
mesti coba juga nih.

Sate babi ala Benteng(?), Tangerang, mengkombinasikan sate babai manis
dan sate daging, kulit, usus, ati babi, yang dadak bakar. rasanya sudah per-
nah saya ceritakan waktu ada yang tanya bumbu lengkuas waktu itu. Biasa-
nya mereka memadu-padankan dengan baikut sayur (sawi) asin berkuah.
Dulu di Perniagaan-Kota (dekat pie-oh) di depan gereja ada yang jual,  en-
tah sekarang masih ada tidak. Juga di Pecenongan ada yang masih berta-
han. Di Tangerang dan sekitarnya, diwakili oleh Sate Babi Mumu dan Sate
babi Pasar Lama. Dua saingan yang saling bersaing cukup ketat.

Resto Akay persisnya di ruko di kompleks Pasmo BSD - Pasar Moderen BSD.
Dia menjual aneka babi dalam masakan berbeda-beda, bahkan ornamen di
dalam resto-nya, semuanya berbentuk babi aneka gaya yang kocak. Jualan-
nya tidak melulu bakmi, sebab ada nasi juga. Ada sekba yang masak kecap, 
bukan sekba 'bektim' yang berkuah itu. Mereka bahkan tidak menjual bakmi
goreng, yang ada mie campur, nasi campur dan bubur. Juga baikut sawi asin.

Sila lihat foto-fotonya di: http://ophoeng.multiply.com/photos/album/206/

SATE LAIN-LAIN

Di Pasmo BSD kalau malam ada banyak penjaja makanan bertenda. Ada bebe-
rapa yang cukup baru jenis makannya: sate tulang (menggunakan tulang pung-
gung ayam yang masih berdaging) yang cukup aneh kerana disandingkan de-
ngan soto Banjar(masin) yang setahu saya tidak pernah berdagang dengan sa-
te ayam, apalagi sate tulang. Juga mulai dipopulerkan adalah nasi bakar, na-
si diberi lauk dan sayur, dibungkus mirip lontong, lalu dibakar. Semacam 
pepes nasi yang sudah ada di daerah banten, kalau tak salah.

Sate kuah juga mungkin cukup langka. Ini sate sapi manis, bisa dadak bakar,
bisa pre cooked. Biasany waktu makan, sate itu dipelorotin dulu dari tusuk-
annya, lantas dicelupkan ke dalam kuah soto tangkar yang menjadi hidangan
utama warung soto tangkar ini. Tapi bisa saja sate kuah ini dimakan sebagai
sate biasa, dibumbui kecap saja atau dengan bumbu kacang. Beda dengan sa-
te sapi manis yang ada di Pontianak, misalnya. Sate sapi Ponti ini dihidangkan 
(selalu) dengan bumbu kacang dan dimakan dengan lontong, mirip sate ayam 
Madura yang sudah lama dikenal.

Sate kambing Bang Wahab di Palem Semi - Karawaci cukup unik, dagingnya di-
buat pipih dan dibakar dengan dua tusukan melebar. Sesudah matang, sate
dilepas dari tusukannya dan digeprek dulu lalu dipotong-potong. Dagingnya
daging kambing, dijual seporsi (sekitar 5-6 tusuk sate kambing normal) dan
ada sup balungan bening. Yang unik lagi adalah mereka cuma buka sore ha-
ri dari pukul 16:00 sampai 18:00 sebab selalu habis dan tidak pernah ada u-
saha untuk menambah kambingnya supaya bisa lebih banyak terima tamu.

BABI DALAM BUMBUNG BAMBU & CHOU-DOUFU

Waktu saya diajak makan seorang teman di Guang-zhou, di satu reto Hunan,
ada juga menu babi dalam bambu, dengan lada sze-chuan yang secara lokal
disebut sebagai 'ma-la' (ma = kebas, la = pedas). Mungkin ada hubungan an-
tara babi dalam bambu di Minahasa dengan masakan ala Hunan tsb.? Saya ti-
dak ingat apakah waktu itu masakannya dihidangkan masih dalam bambu di-
belah atau sudah ditarok di piring, sebab dapurnya menganut sistem tertutup
tidak bisa dilihat dari ruang makan. Juga waktu itu saya justru fokus kepada
hidangan yang cukup melegenda: my first encounter with Chou-doufu, the
stinky tofu.

Chou-doufu ini agak unik, ada satu pakar kuliner yang gandrung pada si ta-
hu mambu (bacin) atawa tahu bau, secara harafiah memang 'chou' = bau (tak
sedap). jadi di milis sebelah, ada yang posting dengan mengatakan bahwa
itu cho tofu (begitu beliau menyebutnya) itu tahu bau. Padahal tu orang me-
mosting juga dari copy paste suatu news blog dari Singapura atau HK. Eh,
nampaknya sang pakar cukup tersentak (kaget) dan tersinggung(?) bahwa
chou doufu disebut tahu bau, tahu mambu. Beliau tidak mengerti huruf kan-
ji, katanya, jadi beliau tidak tahu apa arti cho tofu, tapi dia tidak yakin 
kalau
itu artinya tahu bau (busuk). padahal mah, kalau saja beliau mau nyari di
google, bung wiki akan menjelaskan ttg si tahu bau itu dalam basa Inggris.

Satu lagi, menurut sang pakar, tahu busuk ini dihidangkan dengan dideh
(darah beku) bebek. jadi mestinya tidak pantas menawarkan cho tofu dalam
suasana puasa. Muslim pan tidak makan darah. Setahu saya sih, umumnya
chou doufu ya dimasak tanpa dideh.

GUNUNG THAYSAN DI DEPAN MUKA TIDAK KELIHATAN.

Dalam hal perbakmian, rasanya saya benar-benar cuma lereng paling bawah
dari sebuah gunung, dibandingkan dengan Bung Danarhadi. Terima kasih se-
kali atas info yang sungguh membuka wawasan saya ini. Kalau tidak berga-
bung dalam milis BT, mungkin selamanya saya tidak tahu ttg sate babi Mina-
hasa yang mirip sate babi manis Tionghua, juga babi dalam bambu itu.



Begitulah saja kira-kira ya.
kalau ada salah tolong dikoreksi, kalau kuran sila ditambahkan.

Terima kasih.

Salam bakmi buatan sendiri tanpa kie,
Ophoeng
BSD City, tangerang




--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "danarhadi2000" <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:

 **** Mari kita perdalam persilatan per-bakmi-an kita.
 
Waktu saya kecil, 50an sampai awal 60an, saya terbiasa makan bakmi 
yang dijual di resto resto Tionghoa di Jawa, terutama di pantura. 
Pekalongan, Cirebon, Semarang. Ehh juga sampai kepedalaman: Jogya, 
Madiun, Ngawi..
 
Bakmienya tebal tapi lembut, pakai kecap manis, pakai tauge. Mohon 
info suhu suhu David Kwa dan Kin Hian, apakah ini warisan dapur 
Hokkian?
 
Di luar negeri berPULUH tahun, saya kehilangan jejak, karena di 
konfrontasi dengan masakan Tionghoa di LN. Di Jerman, Austria dan 
Swiss super tak enak! Mereka ini mengadaptasi bakmi untuk lidah bule 
yang semrawut dan menurut saya kurang berbudaya kuliner Asia. Semua 
dibanjiri sauce kental tajin kecoklatan. hanya dagingnya ganti ganti: 
ayam, babi atau sapi.
 
Ketika business trip ke pesisir Eropa, Amsterdam, London, dan Paris, 
baru saya ketemukan lagi bakmie yang civilized. Terutama di Soho. 
Tapi bakminya jauh lebih tipis, daripada yang saya biasa nikmati di 
Jateng/Jatim. Tidak pakai sauce tajin ala resto di Jerman-Austria. 
dagingnya biasanya babi panggang, putih atau merah, atau saucis 
Tionghoa yang coklat kemerahan gendut itu. Kadang kadang saya harus 
menyingkir ke resto Vietnam, yang cooknya orang Tionghoa, untuk 
mendapatkan fried noodle atau noodle wantan soup.
 
Di NY, yang namanya China Town, saya temukan bakmi goreng, dimana 
noodle-nya tipis sekali, sangat kuning dan liat. Inikah masakan 
Guangdong? Ternyata, kalau main ke Jkt, saya datang ke resto seperti 
Crystal Jade, Canton Bay dan sejenis, yang background-nya orang 
Singapur, ketemu lagi itu bakmi supertipis liat kuning. pakai duck 
atau sapi. Saya lalu menghindar ke kweetiauw.
 
Saya pernah diundang makan sahabat saya, orang Jawa yang istrinya 
Tionghoa Jateng, diajak makan Loomie Pinangsia. Terrnyata juga 
disiram sauce superkental yang muanisss sekali. Pakai madu ya?
 
Bakmi yang saya senangi, adalah di Pasar baru: Shuizen. Mirip masa 
kecil.
 
Yang namanya mie Gajahmada dll, saya perhatikan, datang ke Jakarta 
awal 1960an, dimana penjual pertamanya digerobak, lewat rumah saya di 
Mentang. Penjualnya tak dapat bahasa Indonesia samasekali. wah repot 
juga komunikasinya. Tekhniknya tidak digoreng, tetapi diaduk dengan 
minyak dan bumbu. Saya juga bingung, yang namanya mie keriting, sebab 
hampir semua mie yang tipis itu keriting.
 
Nah, bagi mereka yang belum pernah coba, saya anjurkan masakan 
Minahasa asli, yakni Mie Cakalang. Ini mie rebus, mie-nya tebal 
sekali, dengan sayatan daging ikan Cakalang. Mau coba? Silakan datang 
ke Chamoe Chamoe, jalan panglima Polim XIX. Katakan yang punya, ibu 
Silvy Ratulangie, saya yang rekomendasikan.
 
Nah, yang namanya Akay itu di BSD persisnya dimana? bakmie goreng?
 
Oh ya, bytheway per-babi-an, sudah coba sate babi Minahasa? Ada yang 
manis, persis sate babi Tionghoa, ada yang pedas, khas makanan orang 
gunung alias OrGu (di Jawa kita katakan wong nDeso), enak sekali! 
Silakan datang ke Food Court di mal Ambassador di Casablanca. Karena 
pembauran Tionghoa Minahasa yang optimal banyak makanan Tionghoa yang 
dimodifikasi jadi makanan rakyat. Tentu saja, puncaknya adalah 
masakan babi yang dibuat dalam bambu (bahasa Minahasa: di Buluh): 
Tino rangsak.
 
Salam masakan lezat
 
Danardono




Kirim email ke