Saya kira, uraian2 Kinghian di bawah cukup jelas mengungkap aksi Orba yang 
memasung budaya dan bahasa tionghoa. mungkin yang lain bisa 
melengkapi daftarnya dng jenis2 aksi pemasungan budaya Tionghoa yang lain, 
setelah tersusun rapi bisa dijadikan arsip tetap di Web Budaya Tionghoa. 
 
Selanjutnya, kalau ada orang yang menyangsikan kekejian politik Orde baru thd 
masyarakt Tionghoa, tinggal kita mereposting artikel ini untuk menjawab, atau 
suruh dia membaca sendiri artikelnya di Web, agar tak memakan energi kita2 
lagi untuk menuliskan seabreg jawaban yang sama.
 
Salam,
ZFy



----- Original Message ----
From: King Hian <[EMAIL PROTECTED]>
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, September 30, 2008 9:41:44 PM
Subject: Re: Ketidakmampuan Mandarin Bukan Ukuran ()Re: [budaya_tionghua] Fwd: 
Apa kata Harry Tjan RE: [t-net] Selayang Pandang : Diskusi Tionghoa Dalam 
Cengkeraman SBKRI


ABS:
Pertama, tidak bisa berbahasa tionghoa tidak berarti hilang kebanggaannya dan 
jatidirinya sebagai warga suku tionghoa.
 
KH:
Betul ABS Heng! Saya sangat setuju.
Pertanyaan saya kpd Uly tentang kemampuan bhs Mandarin adalah untuk 
mengomentari point pernyataannya, bahwa ia belum pernah meniggalkan jati diri, 
dipaksa maupun tidak. Bukan mengomentari point sebelumnya. Bukan untuk 
mengatakan TIDAK BISA BHS TIONGHOA BERARTI HILANG KEBANGGAAN SBG TIONGHOA

> > - cina yang masih bangga jadi cina
> > - tionghoa yang belum pernah meninggalkan jati diri,
> > dipaksa maupun tidak
- - - -
> masa gak ngerasa sih?
> apa neng Uly bisa ngomong bhs Cina?
> neng Uly kagak bisa ngomong bhs Cina karena apa?
> Di zaman orba bhs Cina kan 'barang terlarang'!

KH:
Pertanyaan saya kpd sdr Uly adalah 'pernyataan untuk mengingatkan' sdr Uly 
bahwa dia seperti saya dan teman2 lain (kecuali yang tinggal di Sumatra, 
terutama pesisir Timur, Bangka-Belitung, Kalbar) yang "terpaksa" tidak 
diajarkan bhs Tionghoa oleh orang tuanya (padahal orang tuanya bisa berbahasa 
Tionghoa) karena pemerintah orba mengharamkan bhs Cina. Dan hubungannya dengan 
topik awal diskusi ini adalah: orang2 LPKB adalah pendukung utama pelarangan 
bhs Cina ini.
 
Banyak orang Tionghoa di Jawa kelahiran 1930-1950-an yang masih bisa berbahasa 
Tionghoa karena:
1. mereka totok (generasi pertama-kedua) , kedua orang tuanya masih berbahasa 
Tionghoa (umumnya bhs dialek)
2. mereka sekolah di sekolah Tionghoa, banyak orang2 Tionghoa peranakan yang 
orang tuanya sudah berbahasa Melayu, tetapi karena bersekolah di sekolah 
Tionghoa, mereka bisa berbahasa Mandarin.
 
Umumnya mereka ini mempunyai anak2 yang lahir di zaman orba, dan umumnya mereka 
tidak mengajarkan bhs Tionghoa (Mandarin atau dialek) kepada anak2nya.
Dari teman2 Tionghoa yang seangkatan dengan saya, 99% tidak bisa berbahasa 
Tionghoa, padahal orangtuanya fasih berbahasa Tionghoa. Termasuk beberapa teman 
saya yang orang tuanya pernah jadi guru di sekolah Tionghoa (tetapi anaknya 
sama sekali tidak bisa).
 
Begitu juga dengan teman2 orang tua saya (yang masih berbahasa Tionghoa). Saya 
beberapa kali ikut reuni sekolah orang tua saya, sewaktu berkumpul mereka 
berbicara dlm bhs Mandarin. Sedangkan anak2nya yang juga ikut tidak bisa 
berbahasa Mandarin.
 
Kembali ke 'pernyataan' saya di atas. Dari diskusi sebelumnya, sdr Uly pernah 
bercerita bahwa ayahnya 'masih' membaca koran berbahasa Tionghoa. Sehingga saya 
menyimpulkan bahwa orang tuanya masih mampu berbahasa Tionghoa. Kalau sekarang 
Uly tidak bisa berbahasa Tionghoa itu karena (sama seperti saya dan yang 
lainnya) 'TERPAKSA' tidak diajarkan bhs Tionghoa karena tekanan pemerintah orba.
------------ --------- -----
 
ABS:
Dari 3-an juta tionghoa di Indonesia, yang bisa bahasa tionghoa paling-paling 
300-an ribu. Atau 10% saja. Walaupun banyak di antara mereka yang 90% itu yang 
masih Konghucu sekali pun!
10% itu pun barangkali sudah kebanyakan asumsinya. Dari seribuan teman tionghoa 
saya di dunia percersilan, yang paham bahasa tionghoa cuma kurang dari 10 
orang, atau 1%.
Dan dari 300-an ribu penutur bahasa tionghoa di Indonesia itu, kebanyakan 
tahunya dialek. Yang bisa Mandarin paling-paling 100-an ribu. Itu pun Mandarin 
pasaran, yang cuma sampai ni hao ma, wo ai ni, dan lyric lagu Mandarin. Yang 
mampu muncul di acara Metro Xinwen, misalnya, paling-paling 10-an ribu orang 
saja. Atau malahan nggak sampai 1.000 orang jangan-jangan! ?
Lantas apa tionghoa yang 2 juta 9 ratus ribu, termasuk yang Konghucu, mau 
dianggap tionghoa palsu, tionghoa yang tidak bangga dan tidak berjatidiri? ?


KH:
Saya belum bisa menerima angka2 yang diutarakan ABS Heng, mungkin bisa kita 
bahas di thread lain. Tetapi saya tidak pernah menganggap orang yang tidak bisa 
berbahasa Tionghoa adalah Tionghoa Palsu.
------------ --------- -----
ABS:
Kedua, banyaknya orang di Indonesia yang tidak bisa berbahasa tionghoa, bukan 
karena adanya Orba.
Dari jaman Orla juga sudah 90-an % orang tionghoa tidak bisa berbahasa 
tionghoa. 
Bahkan penurunan jumlah populasi orang tionghoa mampu berbahasa tionghoa yang 
terdrastis terjadi sudah jauh sebelumnya, yaitu di jaman kolonial, ketika orang 
tionghoa diklasifikasikan sebagai timur asing yang dimudahkan untuk gelijk 
gesteeld jadi orang Belanda.

KH:
Pada zaman Belanda sekolah yang 'bermutu' adalah ELS yang diperuntukkan untuk 
orang Eropa saja, bahasa yang dipergunakan adalah bhs Belanda. Hanya segelintir 
orang Pribumi (anak Pejabat) dan Tionghoa (anak orang kaya) yang bisa 
diperbolehkan bersekolah di sini. 
 
Sebelum THHK mendirikan sekolah utk orang Tionghoa, sekolah yang tersedia bagi 
orang Tionghoa adalah sekolah2 'lokal' yang mengajarkan kitab2 klasik, ini pun 
hanya mereka yang kaya yang mampu 'memanggil guru' untuk mengajar anak2nya. 
Setelah THHK membuka sekolah dengan konsep 'sekolah modern', cukup banyak orang 
peranakan yang menyekolahkan anaknya di sini, dan mereka menjadi lebih mampu 
berbhs Tionghoa.
Untuk mengimbangi 'pengaruh buruk' sekolah2 THHK, Belanda akhirnya membuka HCS 
yang diperuntukkan untuk orang2 Tionghoa yang menggunakan bhs pengantar bhs 
Belanda. Karena masalah 'gengsi' dan harapan akan lebih mudah mendapatkan 
pekerjaan setelah lulus, cukup banyak Tionghoa Peranakan yang menyekolahkan 
anaknya di HCS.Sehingga, kalau pada akhir abad 19 orang Tionghoa peranakan 
umumnya hanya bisa berbahasa Melayu, pada masa sebelum kemerdekaan ada di 
antara mereka yang berbahasa Belanda (karena bersekolah di HCS) dan berbahasa 
Tionghoa (karena bersekolah di sekolah THHK)
 
Zaman orla adalah 'masa emas' sekolah2 Tionghoa. Di mana sebagian besar 
Tionghoa (totok ataupun peranakan) menyekolahkan anaknya di sekolah Tionghoa. 
Karena menggunakan pengantar bhs Mandarin, murid2 sekolah ini tentunya bisa 
berbhs Mandarin. Jadi, di masa orla orang Tionghoa yang bisa berbhs Mandarin 
justru mengalami kenaikan dibandingkan pada zaman Belanda.
 
Pengaruh bahasa pengantar di sekolah ini cukup besar. Kita bisa lihat sekarang, 
di mana banya sekolah nasional plus yang menggunakan bhs pengantar bhs Inggris. 
Murid2 sekolah ini berbahasa Inggris lebih bagus daripada orang tuanya.
 ------------ --------- -----

ABS:
Malahan di jaman Orba, untuk kepentingan mereka, rejim Orba mendidik banyak 
sekali agen-agennya, pribumi dan tionghoa, tentara dan sipil, belajar Mandarin 
di Singapore, Malaysia dan Taiwan (negara-negara cina yang sahabat RI waktu 
itu), a.l. teman saya Jend. Agum Gumelar yang fasih Mandarin karena 
bertahun-tahun di Taipeh. Jadi populasi penutur Mandarin di jaman 
Orba, jangan-jangan justru naik jumlahnya!
 
KH:
Orba mengirim agen2nya belajar bhs Mandarin tentu untuk kepentingan pemerintah 
orba.
Kenyataan di lapangan, sangat sulit untuk belajar bhs Mandarin. Seingat saya, 
jurusan Sastra Cina hanya ada di UI. Kemudian ada ABA di Jakarta dan di 
Semarang yang 'menyusul' membuka jurusan Sastra Cina. Buku2 berbahasa Mandarin 
(termasuk buku pelajaran bhs Mandarin) sangat sulit diperoleh. Tidak dijual di 
toko2 buku.
Waktu itu hanya ada beberapa orang yang nekad menerbitkan buku pelajaran bhs 
Mandarin, diantaranya: Liem Kie Ong (Bandung), Wiliting (Pekalongan) , Martono 
(Semarang).
Tempat yang 'masih' menjual buku2 berbhs Tionghoa adalah kakilima di Jl 
Pancoran Glodok. Sebagian besar berupa buku fotokopi-an.
Saya masih menyimpan buku2 fotokopi-an yang dulu barang langka (dan terlarang) 
yang dipakai waktu belajar bhs Mandarin.

Kehebatan orba yang lain adalah:
1. semua film berbhs Tionghoa (asal Taiwan dan Hongkong) yang beredar dlm 
format video (Betamax dan VHS) harus didubbing bhs Inggris. Dalam satu film 
"Thian Liong Pat Poh" bahkan nama2 tokoh pun diganti, contohnya: Liang Jiaren 
memerankan Kiauw Hong yang dalam film bernama Kevin..

2. senam taichi dan waitankung saja harus berganti nama menjadi Senam Tera 
Indonesia (STI) Senam Sehat Indonesia (SSI).

3. waktu tahun 80-90-an, kaset lagu berbhs Tionghoa (Mandarin, Konghu, Hokkian) 
harus dicampur dengan lagu bhs Indonesia. Jadi kalau dalam 1 kaset C-60 ada 20 
lagu, yang 10 lagu adalah lagu Tionghoa, yang 10 lagu adalah lagu berbahasa 
Indonesia, disusun selang-seling.

4. Orang yang baru kembali dari luar negeri dan membawa barang cetakan dalam 
bhs Tionghoa, akan diperiksa seperti membawa narkoba
Sdr. Ardian punya banyak pengalaman dalam masalah ini.

5. kalau pada masa sebelumnya, orang Tionghoa 'masih' punya nama Tionghoa, 
termasuk mereka yang berbhs Melayu dan Belanda.
Sekarang, banyak orang Tionghoa yang marga nya sendiri pun sudah tidak tahu.

salam,
KH
 

--- On Sun, 9/28/08, Akhmad Bukhari Saleh <[EMAIL PROTECTED] net.id> wrote:

From: Akhmad Bukhari Saleh <[EMAIL PROTECTED] net.id>
Subject: Ketidakmampuan Mandarin Bukan Ukuran ()Re: [budaya_tionghua] Fwd: Apa 
kata Harry Tjan RE: [t-net] Selayang Pandang : Diskusi Tionghoa Dalam 
Cengkeraman SBKRI
To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com
Date: Sunday, September 28, 2008, 3:06 PM


----- Original Message ----- 
From: King Hian
To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com
Sent: Sunday, September 28, 2008 2:05 AM
Subject: RE: [budaya_tionghua] Fwd: Apa kata Harry Tjan RE: [t-net] Selayang 
Pandang : Diskusi Tionghoa Dalam Cengkeraman SBKRI

> Uly:
> > - cina yang masih bangga jadi cina
> > - tionghoa yang belum pernah meninggalkan jati diri,
> > dipaksa maupun tidak
- - - -
> masa gak ngerasa sih?
> apa neng Uly bisa ngomong bhs Cina?
> neng Uly kagak bisa ngomong bhs Cina karena apa?
> Di zaman orba bhs Cina kan 'barang terlarang'!

------------ --------- --------- --------- -

Ada 2 kesimpulan yang tidak tepat di statement di atas ini. Bahkan cenderung 
ngawur!

Pertama, tidak bisa berbahasa tionghoa tidak berarti hilang kebanggaannya dan 
jatidirinya sebagai warga suku tionghoa.
Dari 3-an juta tionghoa di Indonesia, yang bisa bahasa tionghoa paling-paling 
300-an ribu. Atau 10% saja. Walaupun banyak di antara mereka yang 90% itu yang 
masih Konghucu sekali pun!
10% itu pun barangkali sudah kebanyakan asumsinya. Dari seribuan teman tionghoa 
saya di dunia percersilan, yang paham bahasa tionghoa cuma kurang dari 10 
orang, atau 1%.
Dan dari 300-an ribu penutur bahasa tionghoa di Indonesia itu, kebanyakan 
tahunya dialek. Yang bisa Mandarin paling-paling 100-an ribu. Itu pun Mandarin 
pasaran, yang cuma sampai ni hao ma, wo ai ni, dan lyric lagu Mandarin. Yang 
mampu muncul di acara Metro Xinwen, misalnya, paling-paling 10-an ribu orang 
saja. Atau malahan nggak sampai 1.000 orang jangan-jangan! ?
Lantas apa tionghoa yang 2 juta 9 ratus ribu, termasuk yang Konghucu, mau 
dianggap tionghoa palsu, tionghoa yang tidak bangga dan tidak berjatidiri? ?

Kedua, banyaknya orang di Indonesia yang tidak bisa berbahasa tionghoa, bukan 
karena adanya Orba.
Dari jaman Orla juga sudah 90-an % orang tionghoa tidak bisa berbahasa 
tionghoa. 
Bahkan penurunan jumlah populasi orang tionghoa mampu berbahasa tionghoa yang 
terdrastis terjadi sudah jauh sebelumnya, yaitu di jaman kolonial, ketika orang 
tionghoa diklasifikasikan sebagai timur asing yang dimudahkan untuk gelijk 
gesteeld jadi orang Belanda.
Malahan di jaman Orba, untuk kepentingan mereka, rejim Orba mendidik banyak 
sekali agen-agennya, pribumi dan tionghoa, tentara dan sipil, belajar Mandarin 
di Singapore, Malaysia dan Taiwan (negara-negara cina yang sahabat RI waktu 
itu), a.l. teman saya Jend. Agum Gumelar yang fasih Mandarin karena 
bertahun-tahun di Taipeh. Jadi populasi penutur Mandarin di jaman 
Orba, jangan-jangan justru naik jumlahnya!
 
Wasalam. 
 


      

Kirim email ke