Nulis nya memakai bahasa Mandarin, soale ntu majalah majalah Mandarin.
Memakai bahasa Indonesia mah mana ibuku, palingan garis besarnya dikasih tahu 
ke aku dan selanjutnya aku yang nulis ke 'millis' huehuehue..

http://indolobby.blogspot.com
  ----- Original Message ----- 
  From: Fy Zhou 
  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
  Sent: Monday, September 29, 2008 8:59 AM
  Subject: Re: Ketidakmampuan Mandarin Bukan Ukuran ()Re: [budaya_tionghua] 
Fwd: Apa kata Harry Tjan RE: [t-net] Selayang Pandang : Diskusi Tionghoa Dalam 
Cengkeraman SBKRI


  Oh nulisnya dalam bhs indonesia  (kan pakai istilah cina)?  saya kira dlm 
mandarin. 




  ----- Original Message ----
  From: gsuryana <[EMAIL PROTECTED]>
  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
  Sent: Sunday, September 28, 2008 11:32:12 PM
  Subject: Re: Ketidakmampuan Mandarin Bukan Ukuran ()Re: [budaya_tionghua] 
Fwd: Apa kata Harry Tjan RE: [t-net] Selayang Pandang : Diskusi Tionghoa Dalam 
Cengkeraman SBKRI



  Weleh sekarang sejak jadi umat GBI aktifnya di agama, ntu juga masih untung 
aku masih bisa menahan gempuran GBI yang meng sesat kan filsafat KHC.
  Kadang sebel dan sengak banget sama ulah karesten yang mengakibatkan budaya 
Tionghoa dianggap sesat, jadi ingat pepatah kacang lupa kulit, ingin jadi bani 
Israel mata sipit, padahal di sonoh tetap saja dianggap cina dan bukan bangsa 
pilihan.

  Eniwe biar bagaimana pun beliau adalah ibuku, jadi aku hanya bisa berusaha 
menjelaskan semampuku ( seperti yang aku tulis, ibuku kurang menyukai sejarah, 
jadi aku mencoba masuk di sejarah, dan amitaba..... ....bisa diterima, biarpun 
digabung gabung dengan kitab suci Alkitab ).

  Beberapa waktu yang lalu memang ada niat untuk tetap mengajar, aku bilang 
generasi sekarang sudah lebih gampang mendapatkan ilmu bahasa Mandarin, biarkan 
saja generasi muda yang meneruskan tugas.

  Pernah menulis di majalah cina ( terbitan bandung ), aku tulis cina karena 
majalah tersebut lebih memilih istilah cina dibandingkan Tionghoa, biarpun 
pengurusnya Tionghoa singkek, mereka hanya mengikuti trend anak Tionghoa jaman 
sekarang yang sudah tidak memperdulikan lagi istilah cina dan Tionghoa.


  sur.
  http://indolobby. blogspot. com
    ----- Original Message ----- 
    From: Fy Zhou 

    Wah, kalau begitu naga2nya Ibu anda masih cukup aktif ya, saya banyak kenal 
generasi tua yang aktif mengajar dan menulis, jangan2 kenal ibu anda. meski 
saya hanya jebolan 4 Sd. 



    ZFy


     

    ----- Original Message ----
    From: gsuryana <[EMAIL PROTECTED] net.id>
    To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com
    Sent: Sunday, September 28, 2008 10:15:36 PM
    Subject: Re: Ketidakmampuan Mandarin Bukan Ukuran ()Re: [budaya_tionghua] 
Fwd: Apa kata Harry Tjan RE: [t-net] Selayang Pandang : Diskusi Tionghoa Dalam 
Cengkeraman SBKRI



    Huss orang tua aku ( ibu ) dan keluarganya sekolah di sekolah Tionghoa lho.
    Salah satu almarhum pamanku suka sedih dan sakit hati bila ingat masa 
sekolah tersebut, karena sering disebut fankwie nyasar.

    Memang sih untuk yang cina peranakan umumnya sekolah di sekolah Kristen ( 
Katholik ) dan kebingungan bila memasukan ke sekolah Tionghoa, karena beda 
Budaya nya.
    Dalam hal ini cina peranakan sudah terbiasa dengan pola hidup belanda.

    Ibuku biarpun ireng malah di sekolah sampai setingkat SMA ( lulus SMA ) 
selalu juara ( padahal pelajaran yang paling tidak di sukai pelajaran sejarah, 
harus nya dikirim ke Taiwan karena dapat bea siswa ).

    Sampai sekarang ibu ku sering mengalami kejadian lucu dan kearah tragis, 
bila naik angkot sering mendengar keluh kesah mengenai cina sialan, dan ibuku 
dianggap bukan cina, dilain pihak biar bagaimanapun juga ibuku adalah cina, 
biarpun cina peranakan.

    Sampai sekarang mantan sekolahnya suka mengadakan reuni ( bayangkan usia 
diatas 60 reuni....... ..seru banget ngkali yah ) 

    Dan disaat kena breidel ibu ku menjadi guru privat sambil ngumpet ngumpet 
ngajarin anak anak dari teman sekolahnya dulu.

    Di jaman Orla yang mampu berbahasa Tionghoa bisa dibilang jauh lebih banyak 
dibandingkan dengan dijaman Belanda dan Orba, karena pada jaman setelah merdeka 
banyak didirikan sekolah sekolah Tionghoa sampai ketingkat kecamatan, ditambah 
lagi sekolah terbagi 2 kelompok, satu kelompok pro Taiwan ( jadi setiap masuk 
kelas di brainwash Tengshoa harus bisa diambil alih ), sedang satunya lagi pro 
RRT, kedua sekolah tersebut adu service dalam hal ini service kwalitas 
pengajaran dan pendidikan ( aku pisah pengajar dan pendidik, karena di jaman 
sekarang pendidik nya sudah kabur dibawa kalong wewe ), akibatnya kwalitas 
sekolah tersebut menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah Kristen ( 
yang siswanya selain sedikit juga kurang mendapat bantuan dari pusat/vatican ).

    Bisa dibilang generasi Tionghoa Indonesia yang lahir sampai ditahun 52-an 
cukup banyak yang masuk sekolah Tionghoa, dan setelah kena breidel ( aneh kan 
bagian pendidikan di breidel, sedang rumah sakit tidak kena otak atik, 
menandakan yang enak diambil yang gak enak dibuang ), dan generasi terakhir 
tersebut akhirnya hanya bisa bicara dan sulit menulis, ada juga yang bisa baca 
terutama yang hobby membaca sejarah, buku silat, dan minimal Lao Fu Tse 
wakakakak.

    Informasi, ibuku sekolah sampai SMP di kota kecil sedang SMA nya di 
Jakarta, karena pada saat itu belum ada SMA nya. ( dan akibatnya brojol lah 
aku, karena ketemu ayahku cina singkek di Jakarta huehuehue )

    sur.
    http://indolobby. blogspot. com
      ----- Original Message ----- 
      From: Liquid Yahoo 

          Orang tua saya dulu sekolah di sekolah TiongHua setelah di bredel 
taon 65, mereka putus sekolah, orang tua saya bilang, TiongHua peranakan sulit 
masuk sekolah TiongHua, kebanyakan sekolah TiongHua itu hanya orang Totoq, 
bahkan terjadi saling hina antara totoq & peranakan.

          Dari penjelasan itu, asumsi saya jumlah orang yang bisa bahasa 
mandarin juga ga menjadi banyak, karena hanya orang yang emang bisa bahasa 
mandarin yang sekolah di sekolahan TiongHua, sementara yang peranakan emang 
dari dasarnya kaga mahir mandarin, dan sulit masuk sekolah TiongHua. Kecuali 
kalo peranakan itu les / kursus bahasa mandarin, biar kaga ketinggalan sama 
totoq.

          Jadi asumsi makin banyak yang bisa bahasa mandarin itu darimana? 
Tolong dijelaskan kepada saya yang blon ngerasain jaman itu kecuali tau dari 
cerita orang tua.



        ----- Original Message ----- 
        From: Fy Zhou 
        To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com 
        Sent: Sunday, 28 September, 2008 16:33
        Subject: Re: Ketidakmampuan Mandarin Bukan Ukuran ()Re: 
[budaya_tionghua] Fwd: Apa kata Harry Tjan RE: [t-net] Selayang Pandang : 
Diskusi Tionghoa Dalam Cengkeraman SBKRI


        Kalau statment Pak ABS yng terakhir ini ngawur adanya! terkesan mau 
mengurangi dosa Orde Baru!



        Apa Pak ABS tak mau melihat faktanya : Pemakian bahasa mandarin itu 
pasang surut, jika di zaman belanda sempat surut karena sebagian sudah menjadi 
babah yang bermelayu pasar dan sebagian menjadi Holand spreaken, di zaman 
belanda pula mulai berdiri sekolah2 Tionghoa yang berhasil menaikkan lagi 
jumlah pemakai bhs Tionghoa. Puncak perkembangan pemakai bahs Tionghoa adalah 
pada zaman Orla, di mana sekolah2 berbahasa Tionghoa bermunculan seperti jamur. 
Jumlah sekolah maupun jumlah murid sekolah berbhs tionghoa jauh melebihi 
sekolah Tionghoa berbhs Indonesia. Harap maklum, saat itu anak2 usia sekolah 
yang WNA masih lebih banyak dari yang WNI.



        Jumlah Koran maupun jumlah oplah koran berbhs mndarin di zaman 
sekarangpun tak bisa menandingi zamn emas Orla. Belum lagi semaraknya 
penerbitan sastra mandarin lokal di masa itu! Di zaman sekarang, majalah2 dan 
buku sastra mandarin lokal dibagikn gratis!







        ----- Original Message ----
        From: Akhmad Bukhari Saleh <[EMAIL PROTECTED] net.id>
        To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com
        Sent: Sunday, September 28, 2008 3:06:44 PM
        Subject: Ketidakmampuan Mandarin Bukan Ukuran ()Re: [budaya_tionghua] 
Fwd: Apa kata Harry Tjan RE: [t-net] Selayang Pandang : Diskusi Tionghoa Dalam 
Cengkeraman SBKRI






        Kedua, banyaknya orang di Indonesia yang tidak bisa berbahasa tionghoa, 
bukan karena adanya Orba.
        Dari jaman Orla juga sudah 90-an % orang tionghoa tidak bisa berbahasa 
tionghoa. 
        Bahkan penurunan jumlah populasi orang tionghoa mampu berbahasa 
tionghoa yang terdrastis terjadi sudah jauh sebelumnya, yaitu di jaman 
kolonial, ketika orang tionghoa diklasifikasikan sebagai timur asing yang 
dimudahkan untuk gelijk gesteeld jadi orang Belanda.
        Malahan di jaman Orba, untuk kepentingan mereka, rejim Orba mendidik 
banyak sekali agen-agennya, pribumi dan tionghoa, tentara dan sipil, belajar 
Mandarin di Singapore, Malaysia dan Taiwan (negara-negara cina yang sahabat RI 
waktu itu), a.l. teman saya Jend. Agum Gumelar yang fasih Mandarin karena 
bertahun-tahun di Taipeh. Jadi populasi penutur Mandarin di jaman Orba, 
jangan-jangan justru naik jumlahnya!

        Wasalam.






   

Kirim email ke