Bung Alfonso, Bung Liang U dan TTM semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan?

Sorry, ikut nimbrung dikit ya.

Saya bukan pembaca berat cerita silat buatan Asmaraman Kho Ping Hoo, tapi
rasanya saya ndak begitu sependapat kalau disebut beliau adalah penerjemah
cerita silat dari Tiongkok. Dari beberapa yang saya baca, kayaknya KPH mem-
buat alur cerita sendiri, walau tentu saja para pesilatnya tetap bernama Tiong-
hua, sebab beliau tetap mengambil setting di Tiongkok. Kalau yang terjemah-
an, mungkin adalah karya Gan KH dan Gan KL dulu itu.

Mungkin spesialis silat di milis kita, Bung ABS bisa lebih jelas memberitahu?

Kalau soal pentejemahan, saya cenderung sependapat dengan Bung Liang U.
Rasanya agak terlalu menggampangkan kalau Bung Alfonso sampai pada ke-
simpulan bahwa "...Satu dua kata lewat, juga ga masalah. Orang masih bisa 
terima asal alur cerita/isi surat masih dimengerti...." dalam film-film. 

Saya ndak tahu yang anda maksud 'menterjemahkan' untuk production house 
dan stasiun TV itu, apakah anda membaca dan mendengar bunyi teks dalam 
Hanzi dan Hanyu, ataukah sudah dalam bentuk terjemahan dalam bahasa la-
in semisal Inggris. Saya pernah dengar bahwa film-film untuk TV, yang berba-
hasa Hanyu, sudah ada teks dalam bahasa Inggris-nya, yang biasanya berda-
sarkan teks Inggris inilah baru diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia. 
Jadi, mungkin saja terjadi double lost in translation untuk 'rasa bahasa'nya.

'Rasa bahasa' yang saya maksud mungkin identik dengan 'jiwa' dan maksud
bahasa penulis asli yang disampaikan oleh Bung Liang U.

Mungkin juga itu sebabnya saya sering merasa 'kering' kalau menonton fi-
lm cerita di TV yang aslinya berbahasa Hanyu diterjemahkan ke dalam ba-
hasa Indonesia? Tidak heran, sebab rupanya ada sikap 'Satu dua kata lewat, 
juga ga masalah'  dari para penterjemahnya ya?  

Benar bahwa orang bisa mengerti dengan cara penerjemahan macam begitu.
Tapi, tolong anda ingat juga, bahwa sebuah film itu merupakan karya sastra, 
ada kreativitas dan penggunaan bahasa yang 'kaya' rasa dan 'jiwa' yang hen-
dak disampaikan oleh penulisnya. Dan, bisa saja terjadi 'kekayaan' bahasa itu 
sudah dihilangkan berkat cara penerjemahan yang boleh skip satu-dua kata?

Tapi, tentu saja, Bung Alfonso sebagai penerjemah yang berwenang, punya 
otoritas atas bidang dan job penerjemahan film-film TV itu. Kami, sebagai
penonton bisa apa ya? Rasa seni itu memang subyektip sekali, dan katanya
karya seni cuma bagus dinikmati, tidak untuk diperdebatkan. Yang terbaik
menurut seseorang sudah dilakukannya untuk suatu karya terjemahan, ya
pembaca atau penonton cuma bisa mandah sajah. Mau baca dan lihat ya si-
lakan, mangga ajah. Ndak mau ya sudah, lewatkan sajah dah yah? :D)

Contoh Bung Alfonso ttg Toony Blair yang menulis 'toomorrow', mungkin be-
da arahnya. Yang beliau lakukan cuma slip of the keyboard, salah ketik saja
atau mispelling. Bukan 'menghilangkan' rasa bahasa dalam penerjemahan.
Benar bahwa walau salah ketik, yang penting dimengerti dan komunikatip.

Tapi untuk suatu karya seni? Hilang 'jiwa'nya? Ahhh... susah kayaknya men-
jelaskannya.

Begitu sajah sih saya kira.
Kalau salah tolong dikoreksi, kalau kurang sila ditambahkan.

Salam makan enak dan sehat,
Ophoeng
BSD City, Tangerang





--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Alfonso" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

------dipotong------
 
Saya sampai saat di www.everydaymandarin.com masih aktif jadi 
penerjemah film Mandarin ke Indonesia di beberapa production house 
dan stasiun TV. Terjemahannya yang gampang-gampang aja Bung. Tidak 
perlu dipersulit dengan bahasa yang aneh-aneh. Kalau terjemahannya 
sederhana alias bahasa sehari-hari, orang juga bisa mengerti.:) Satu 
dua kata lewat, juga ga masalah. Orang masih bisa terima asal alur 
cerita/isi surat masih dimengerti. Tony Blair (eks PM Inggris) aja 
pernah tulis kata "tomorrow" jadi "toomorrow). Dan besoknya, media 
semua mengganti namanya jadi Toony Blair. ^^
 
Semua bahasa bisa diterjemahkan asal tahu cara yang benar. Kalau ga, 
mana mungkin buku silat Kho Ping Ho bisa mencetak best-seller di 
Indonesia. Itu kan semua terjemahan, dan hasilnya dimengerti oleh 
banyak penggemar Indonesia. Saya sendiri ga pernah baca buku Kho 
Ping Ho.
 
Alfonso
 
 
 
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, liang u <liang_u@> wrote:
 
Contohnya kata fanzheng (方�'�)dalam Mandarin sulit 
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Kalau dihilangkan, jiwa dan 
maksud penulis hilang. Ini yang disebut "kehilangan dalam 
penerjemahan." Seorang teman kerja saja, ingin tahu cengli (dialek 
Hokkian) itu apa? Teman-teman kerjanya yang sering menggunakan kata 
bo cengli (tidak cengli) tidak ada yang bisa menerangkan dengan 
jelas, sampai ia akhirnya karena sering mendengar timbul feelingnya, 
dan mengerti.  Ada yang mengatakan bo cengli tidak mengikuti 
aturan. Tapi coba ucapkan, akan terasa beda jiwa bahasanya, demikian 
juga artinya agak menyimpang  Fanzheng lebih sulit lagi.




Reply via email to