Pengadilan HAM hanya mangadili genocide. Sudan melakukan genocide, Milosovich 
melakukan genocide, Polpot juga dan ABRI melakukannya di Timor  - dan karena 
itu Australia dpt masuk dgn persetujuan UN. Keadaan diIndonesia jaman Suharto 
memang ada genocide tetapi waktu itu adalah jaman perang dingin [anti kommunis] 
Negara² kommunis melakukan banyak genocide dan mereka tidak dihukum atau 
dituduh.
Sekarang jaman perang dingin tidak adalagi jadi HAM penting kembali.
Andreas

--- On Fri, 5/15/09, TEd Poernomo <ted...@yahoo.com> wrote:

From: TEd Poernomo <ted...@yahoo.com>
Subject: Re: [budaya_tionghua] Refleksi Tragedi 13-15 Mei 1998 - Kapan Ada 
Keadilan untuk Korban?
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Date: Friday, May 15, 2009, 8:51 PM












Benar sekali, kerusuhan Mei ditujukan kepada ras chinese. Pemerkosaan masal itu 
memang biadab direncanakan dan dilakukan oleh bukan org awam, tetapi org ABRI, 
kayak yang terjadi di Timor.


Justru karena yang melakukan org tentara sendiri, menunjukkan kebobrokan dan 
kebiadaban org2x tersebut.


Saya nggak ngikuti kasus pembunuhan Munir itu sampe dimana, apakah lembaga HAM 
telah mencekal otak nya atau cuman kambing hitam saja seperti biasanya, dan 
apakah kasus ini telah jadi perhatian pengadilan HAM di Eropa?


Kenapa kasus perkosaan dan pembunuhan Mei tidak juga masuk agenda HAM di 
Belanda, anybody knows?

--- On Fri, 5/15/09, zho...@yahoo. com <zho...@yahoo. com> wrote:


From: zho...@yahoo. com <zho...@yahoo. com>
Subject: Re: [budaya_tionghua] Refleksi Tragedi 13-15 Mei 1998 - Kapan Ada 
Keadilan untuk Korban?
To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com
Date: Friday, May 15, 2009, 7:29 PM




Bagaimana menjelaskaskan kalau wilayah kerusuhan mayoritas di kawasan pecinan? 
Ingat! Bukan hanya di centra2 ekonomi, tapi juga kawasan perumahan milik 
tionghoa, terutama yg agak minor, krn kawasan elite sanggup bayar keamanan. 
Untuk pemetaan wilayah kerusuhan,tim Ui bahkan telah membuat analogi wilayah 
kerusuhan dng data agama penduduknya!
Pak Abs melihat tidak wajah2 cina yg berjibun di airport untuk siap ngungsi 
keluar negeri? Apa mereka semua paranoid?
Mengapa tionghoa2 hrs dikawal pribumi untuk keluar rumah? Apakah mereka 
paranoid?
Aksi kerusuhan berbau rasialis tdk hanya sekali ini terjadi, semasa saya hidup 
di solo saja telah terjadi 4x. Termasuk Mei itu. Salah satunya adalah kerusuhan 
anti arab, di kawasan arab, saat itu orang tionghoanya tenang2 sajakok, ini 
membuktikan, org tionghoa bisa membedakan mereka sasaran atau tidak.

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT


From: "Akhmad Bukhari Saleh" 
Date: Sat, 16 May 2009 02:11:42 +0700
To: <budaya_tionghua@ yahoogroups. com>
Subject: Re: [budaya_tionghua] Refleksi Tragedi 13-15 Mei 1998 - Kapan Ada 
Keadilan untuk Korban?



 
Sebetulnya Wiranto dan Prabowo bukan penanggungjawab pengamanan ibukota. Itu 
adalah Syafrie Syamsudin.
 
Kedua jenderal terdahulu itu pejabat di tingkat pusat. Tetapi memang jabatan 
mereka, Pangab dan Pangkostrad,  bisa punya pengaruh kalau mereka mau ikut 
'main' di level ibukota.
Namun jangan lupa, ada pejabat lain di tingkat pusat waktu itu yang juga punya 
posisi untuk ikut 'bermain' di level ibukota, yaitu Kasospol, yang tidak lain 
adalah SBY!
 
Sekarang mereka bertiga maju dalam pilpres!!
Jadi, sekali lagi, bisa dicerna dan dipahami bahwa kerusuhan Mei 1998 
samasekali bukan soal rasial! Melainkan soal pergulatan kekuasaan di tingkat 
elit!
Yang masih terus berlanjut sampai sekarang...
 
Wasalam.
 
------------ --------- --------- --------- -----
 
 

----- Original Message ----- 
From: zho...@yahoo. com 
To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com 
Sent: Friday, May 15, 2009 11:25 PM
Subject: Re: [budaya_tionghua] Refleksi Tragedi 13-15 Mei 1998 - Kapan Ada 
Keadilan untuk Korban?



Saat itu, Dua jenderal ini adalah pejabat yg paling berwewenang dlm pengamanan 
ibukota. Tapi tak berbuat apa2. Kemungkinannya hanya 2: tidak mampu atau 
sengaja membiarkannya. 
Adakah kemungkinan lain???

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT


From: "Akhmad Bukhari Saleh" 
Date: Fri, 15 May 2009 21:05:06 +0700
To: <budaya_tionghua@ yahoogroups. com>
Subject: Re: [budaya_tionghua] Refleksi Tragedi 13-15 Mei 1998 - Kapan Ada 
Keadilan untuk Korban?




Untuk klarifikasi mendampingi kata "gublokkkkk" itu, bisakah Budi-heng menyebut 
satu nama, satu saja, tidak perlu 10, apalagi 100, nama mereka yang keluarganya 
KENA jadi korban perkosaan??
 
Pasangan capres-cawapres JK-Boediono yang menjadi lawan dua jenderal yang 
disebut Zhou-heng, sanggup bayar tinggi, tinggi sekali, untuk info Budi-heng 
itu!!
 
Kalau Budi-heng tidak berani terbuka, saya siap mengantarkan Budi-heng 
menyampaikan diam-diam info berharga tinggi itu kepada mereka! Ha ha ha...
 
Wasalam.
 
------------ --------- --------- --------- --------
 

----- Original Message ----- 
From: budi anto 
To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com 
Sent: Friday, May 15, 2009 8:12 PM
Subject: Re: [budaya_tionghua] Refleksi Tragedi 13-15 Mei 1998 - Kapan Ada 
Keadilan untuk Korban?





wah itu cine gublokkkkkkkkkkkkkk kkkkkkkkkkkkkkkk kk ,nga tau sejarah ya mereka 
mentang2 keluarganya nga ada yang kena jadi korban perkosaan jadinya mendukung 
mereka,






From: "agoeng_set@ yahoo.com" <agoeng_...@yahoo. com>
To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com
Sent: Friday, May 15, 2009 8:08:54 PM
Subject: Re: [budaya_tionghua] Refleksi Tragedi 13-15 Mei 1998 - Kapan Ada 
Keadilan untuk Korban?



Lebih ironis lg, banyak para " tokoh" tenglang berlomba2 dukung mendukung 
mereka bahkan dengan bangganya ikut promosi n cari dukungan dr tenglang 
laennya. Td di detik ada forum pemuda indo yg dukung JK-win, salah satu 
unsurnya disebut pemuda tionghoa. 


From: zho...@yahoo. com
Date: Fri, 15 May 2009 10:52:24 +0000
To: <budaya_tionghua@ yahoogroups. com>
Subject: Re: [budaya_tionghua] Refleksi Tragedi 13-15 Mei 1998 - Kapan Ada 
Keadilan untuk Korban?



Dua jendral yg seharusnya paling bertanggung jawab sekarang telah menjadi 
cawapres! 
Ironi demokrasi..

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT


From: "sunny" 
Date: Fri, 15 May 2009 11:13:31 +0200
To: <Undisclosed- Recipient: ;><Invalid address>
Subject: [budaya_tionghua] Refleksi Tragedi 13-15 Mei 1998 - Kapan Ada Keadilan 
untuk Korban?




Jawa Pos
 
 Rabu, 13 Mei 2009 ] 
 
 
Refleksi Tragedi 13-15 Mei 1998 
Kapan Ada Keadilan untuk Korban? 

Oleh : Mustofa Liem

Para korban dan keluarganya pasti belum bisa melupakan Tragedi 13-15 Mei 1998 
di Jakarta. Meski sudah 11 tahun berlalu, tragedi itu tetap menjadi misteri 
yang menyisakan elegi bagi para korbannya.

Memang keberadaan negeri ini sudah lama kehilangan makna. Bagi para korban HAM, 
negara sudah lama absen. Ketika tragedi kelabu itu terjadi, tangisan, teriakan, 
dan jeritan frustrasi para korban tidak pernah didengar oleh negara, oleh 
pemerintah waktu itu, pemerintah yang menyusulnya kemudian sampai pemerintah di 
era sekarang. 

Memang sudah dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasarkan UU No 
39/1999 tentang HAM dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menurut 
Komnas HAM, telah terjadi perkosaan secara masal, sistematis, biadab, dan keji 
terhadap para wanita etnis Tionghoa di tengah kerusuhan 13-15 Mei 1998 di 
Jakarta. Pemerintah Habibie juga sudah membentuk Tim Perlindungan Wanita 
terhadap Kekerasan, juga ada Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk pada 23 
Juli 1998. Rekomendasi kedua tim tersebut tidak pernah ditindaklanjuti. Jadi, 
sampai sekarang para pelaku Tragedi Mei itu tak satu pun yang ditangkap atau 
diadili.

Komnas HAM Tak Berdaya 

Komnas HAM yang dulu atau sekarang telah berupaya memanggil para mantan 
jenderal yang dianggap mengetahui atau bertanggung jawab atas beberapa kasus 
pelanggaran HAM masa lalu, tapi pemanggilan itu selalu gagal. Polemik antara 
para mantan jenderal dan Komnas HAM pun tak terelakkan. Semisal Menhan Juwono 
Sudarsono malah balik "menggugat" kewenangan hukum Komnas HAM.

Pernyataan Menhan (yang mewakili pemerintah) menunjukkan bahwa sesungguhnya 
komitmen pemerintah menegakkan HAM masih kecil, sementara iklim politik masih 
didominasi spirit anti-HAM. Padahal, pengungkapan kasus pelanggaran berat HAM 
yang terjadi di tanah air seperti "Tragedi Mei 1998" memerlukan komitmen dari 
pemerintah. Tanpa ada komitmen dan good will langsung dari presiden ,kasus 
tersebut bakal terkubur.

Para pelanggar HAM, apalagi dari kalangan militer, sudah bisa dipastikan akan 
menolak dituduh sebagai penanggung jawab pelanggaran HAM dengan beragam 
argumentasi dan rasionalisasi. Mereka akan mengatakan bahwa kesalahan terletak 
bukan pada diri mereka.

Yang menyedihkan justru ada rasionalisasi bahwa para korban HAM dalam peristiwa 
13-15 Mei 1998 itu tidak pernah ada, karena tidak pernah bisa dibuktikan. 
Apalagi, jika dikaitkan dengan perundang-undangan pemerkosaan di negeri ini. 
Bagaimana membuktikan bahwa korban sungguh diperkosa?

Seperti dikatakan advokat senior Surabaya Trimoelja D. Soerjadi dalam beragam 
kesempatan bahwa setiap kasus yang terindikasi melibatkan militer, seperti 
Tragedi Mei, tidak pernah akan bisa diselesaikan dengan memuaskan. Artinya, 
para pelaku tetap bisa mengirup udara kebebasan. Tak ada keadilan bagi para 
korban. Hal ini juga terjadi pada kasus pelanggaran HAM lain, mulai Peristiwa 
1965 dan Tragedi Mei 1998.

Rekonsiliasi Sejati 

Meski demikian, penulis menganjurkan para korban Tragedi Mei untuk berani 
memaafkan, meskipun memaafkan bukan berarti harus melupakan. Harus selalu 
dicari ruang untuk mengingat peristiwa buruk seperti Tragedi Mei 1998. Dengan 
demikian, usul islah atau rekonsiliasi jangan pernah diabaikan meski ada yang 
bertanya untuk apa rekonsiliasi.

Tentu ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar rekonsiliasi terwujud. 
Pertama, harus diakui adanya pelanggaran berat HAM dalam Tragedi Mei 1998. Itu 
berarti ada pelaku yang harus bertanggung jawab. Kedua, keadilan harus 
ditegakkan. Artinya, pelaku harus mendapatkan sanksi hukum. Dengan demikian, 
luka hati korban dan keluarganya mendapatkan pemulihan. Setelah proses hukum 
ditegakkan, antara korban dan pelaku harus diupayakan perdamaian, supaya 
kebencian dan dendam tidak hidup terus sepanjang tujuh turunan.

Uskup Desmond Tutu, ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan, 
menulis bahwa rekonsiliasi sejati mengekspos kekejaman, kekerasan, kepedihan, 
kebejatan, dan kebenaran, bahkan terkadang dapat memperburuk keadaan. Ini 
adalah perbuatan berisiko. Meski begitu, pada akhirnya akan ada pemulihan nyata 
setelah menyelesaikan situasi yang sebenarnya. Rekonsiliasi yang palsu hanya 
dapat menghasilkan pemulihan palsu (Buku No Future Without Forgivenes, 1999).

Akhirnya untuk negara dan pemerintah, sekali lagi utang-utang pada para korban 
harus dilunasi. Tocqueville (1805-1859) mengingatkan: "Karena masa lalu gagal 
menerangi masa depan, benak manusia mengelana di tengah kabut". Kabut dari 
peristiwa gelap masa lalu itulah yang harus disingkap negara demi keadilan pada 
para korban, termasuk korban Tragedi Mei. 

Selama orang terus mencari alasan guna lari dari tanggung jawab terhadap para 
korban HAM dan kekuasaan negara memberi perlindungan terhadap sikap pengecut 
ini, sehingga para pelaku terus menikmati impunitas di atas derita para korban 
HAM, negeri ini tetap akan susah mencapai masa depan. Sebab, pelanggaran HAM di 
masa silam selama terus dibiarkan justru menjadi kabut yang menghalangi 
perjalanan bangsa ini ke depan. 

Kabut itu harus disingkap dan para korban dijamin mendapatkan keadilan yang 
setimpal. Dengan demikian, kita bisa menyongsong masa depan tanpa ada yang 
dikorbankan lagi. 

*). Mustofa Liem PhD, Dewan Penasihat Jaringan Tionghoa untuk Kesetaraan. 






 








No virus found in this incoming message.
Checked by AVG - www.avg.com 
Version: 8.5.329 / Virus Database: 270.12.30/2115 - Release Date: 05/14/09 
17:54:00







No virus found in this incoming message.
Checked by AVG - www.avg.com 
Version: 8.5.329 / Virus Database: 270.12.30/2115 - Release Date: 05/14/09 
17:54:00














Kirim email ke