RSS

Salah satu genre yang banyak menggunakan Melayu Rendah adalah buku2 cerita 
silat. Mungkin suatu saat nanti Kisah Membunuh Naga akan menjadi buku bacaan 
wajib. Rumah OKT sianseng akan ramai didatangi turis dari mancanegara. Naskah 
aslinya akan dipamerkan di British Museum, disebelah naskah Shakespeare. Wah 
mimpi saya terlalu jauh rupanya :D

Pada saat saya sekolah, yang menjadi buku wajib sastra adalah terbitan Balai 
Pustaka dkk. Yang saya ingat hanya Layar Terkembang. Mungkin karena pangaruh 
Orde Baru, pada saat itu membaca Hina Kelana didalam kelas merupakan sebuah 
dosa besar yang harus dihukum berat. Si pembaca harus berdiri didepan kelas, 
orang tuanya dipanggil menghadap kepsek. 

Tapi itu dahulu kala, masa baheula jaman pra reformasi. Mungkin sekarang para 
orang tua dan sekolah2 sudah membuka diri untuk menjadikan buku2 Melayu Pasar 
sebagai buku wajib ?

Salam

BTW Apakah ada rekan2 yang mengetahui dimana bisa mendapatkan buku2 dari Lie 
Kim Hok sianseng tersebut ?  

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, a...@... wrote:
>
> David-xiong: "Lie Kim Hok bukan keturunan imigran dari Tiongkok seperti 
> dikatakan penulis. Ayahnya Lie Hian Tjouw dan ibunya Oey Tjiok Nio adalah 
> orang Tionghoa Peranakan..."
> 
> Als: "Dalam kasus saya yg punya 2 engkong imigran dgn kedua orangtua Babah, 
> apa orang masih benar jika menyebut sy sbg keturunan imigran atau generasi 
> ke-2 keturunan imigran?" :-)
> Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung 
> Teruuusss...!
> 
> -----Original Message-----
> From: "David Kwa" <david_kwa2...@...>
> Date: Fri, 16 Oct 2009 05:40:02 
> To: <budaya_tionghua@yahoogroups.com>
> Subject: [budaya_tionghua] Re: Artikel menarik: Teringat akan Lie
> 
> Lie Kim Hok bukan keturunan imigran dari Tiongkok seperti dikatakan penulis. 
> Ayahnya Lie Hian Tjouw dan ibunya Oey Tjiok Nio adalah orang Tionghoa 
> Peranakan. Jadi Lie Kim Hok pun seorang Tionghoa Peranakan.
> Tulisan ini jelas memperlihatkan kontribusi orang Tionghoa Peranakan yang 
> sangat besar dalam pemakaian bahasa Melayu dan penyebarannya melalui sastra 
> dan pers Melayu Tionghoa (i.e. sastra dan pers dalam bahasa Melayu yang 
> dihasilkan orang Tionghoa)―meminjam istilah yang dipakai oleh Claudine 
> Salmon. 
> Pada waktu kaum Tionghoa Peranakan membutuhkan suatu buku pegangan tatabahasa 
> (paramasastera) bahasa Melayu, pada 1884 keinginan itu terpenuhi oleh upaya 
> yang dilakukan oleh Lie Kim Hok. Buku Tatabahasa Melayu Lie Kim Hok sampai 
> lama menjadi pegangan para penulis Tionghoa Peranakan dalam melahirkan 
> berbagai karya sastra. Itulah sebabnya Lie Kim Hok pantas digelari Bapak 
> Melayu Tionghoa oleh sebagian kalangan Tionghoa Peranakan. 
> Melalui sastra dan pers Melayu Tionghoa inilah bahasa Melayu lebih tersebar 
> ke seluruh penjuru Nusantara. Terlepas dari label Melayu Pasar (Melayu 
> Rendah) yang diberikan kolonial Belanda, sejak perempat terakhir abad 19, 
> jauh sebelum bahasa Melayu menjadi bahasa umum di kalangan masyarakat karena 
> masih dianggap “asing” oleh sebagian besar kaum non-Tionghoa Peranakan di 
> negeri ini, kaum Peranakan telah membaca dan menulis dalam bahasa ini, hingga 
> matinya sastra dan pers Melayu Tionghoa pada 1960-an. Meski demikian, peran 
> serta itu hampir tidak pernah disebutkan dalam sejarah Indonesia, kecuali 
> oleh beberapa peneliti asing macam Claudine Salmon, Benedict Anderson dll. 
> Yang disebut-sebut selalu Balai Poestaka, Poedjangga Baroe dll, yang pada 
> hakekatnya adalah bentukan pemerintah kolonial Belanda untuk mengawasi bacaan 
> anak negeri, jangan sampai “dimasuki unsur-unsur yang tidak baik” (yang 
> berada di luar sensor pemerintah). Nah, untuk membatasi penyebaran sastra dan 
> pers Melayu Tionghoa yang berada di luar kendali pemerintah, pemerintah 
> kolonial mendiskreditkannya dengan label “pasar”, “rendah”, 
> “liar”, “roman picisan” dlsb. Padahal, owe pernah membaca, bahasa 
> Melayu Tionghoa―atau disebut bahasa Melayu Lingua Franca oleh alm. Pramudya 
> Ananta Tur―didasarkan pada bahasa yang hidup di masyarakat yang 
> berinteraksi di berbagai bandar di seluruh penjuru Nusantara, dan bukan 
> bahasa hasil rekayasa pemerintah kolonial yang dilakukan oleh Van Ophuijsen 
> sebagai Menteri Pendidikan pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Dalam buku 
> Tempo Doeloe Pram berhasil mengumpulkan beberapa tulisan dalam bahasa Melayu 
> Lingua Franca yang dihasilkan para penulis Tionghoa Peranakan maupun Belanda 
> Peranakan (Indo) pada masa itu. Bahkan, kabarnya, Medan Prijaji pun ditulis 
> dalam bahasa itu.
> Kiongchiu,
> DK
> 
> http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/16/0247377/teringat.akan.lie
> 
> TERINGAT AKAN LIE
> 
> Oleh Kasijanto Sastrodinomo
> 
> Tiba-tiba saya teringat akan Lie Kim Hok, keturunan imigran asal Tiongkok 
> yang datang di Indonesia abad ke-19. Lahir di Bogor, 1853, Lie kemudian 
> dikenal sebagai penulis, penyadur, dan penerjemah cerita (ke) dalam bahasa 
> Melayu dari generasi keturunan Tionghoa (baca: Tionghoa Peranakan, DK) 
> sebelum Perang. Dialah penulis bernapas panjang yang mampu berkarya hingga 
> berjilid-jilid. Cerita Tjhit Liap Seng (1886), misalnya, terdiri dari 8 
> jilid: Kawanan Bangsat (1910) 10 jilid dan Penipoe Besar (1923) 23 jilid yang 
> terbit setelah ia meninggal dunia pada 1912.
> Berpendidikan missie, Lie mampu berbahasa Belanda, tetapi tak memahami bahasa 
> Tionghoa. Sekitar 125 tahun lalu, dia menulis buku yang bertajuk amat 
> panjang, Malajoe Batawi: Kitab deri hal perkataän-perkataän Malajoe, hal 
> memetjah oedjar-oedjar Malajoe dan hal pernahkan tanda-tanda batja dan 
> hoeroef-hoeroef besar (1884, ejaan asli). Ternyata, buku itu bukanlah sesuatu 
> yang luar biasa, ”hanya” semacam penuntun praktis pelajaran bahasa 
> Melayu. Menurut CD Grijns, peneliti bahasa Melayu kontemporer, Lie cuma 
> membahas ”varian [bahasa] lain” yang waktu itu banyak digunakan oleh 
> generasi Tionghoa kelahiran Indonesia (baca: Tionghoa Peranakan, DK).
> Namun, pada masanya, Lie telah menyumbangkan sesuatu yang luar biasa: buku 
> pelajaran bahasa Melayu lahir pertama kali justru dari non-Melayu. Lie juga 
> menulis dengan sepenuh Melayu karena sepanjang 116 halaman bukunya itu tidak 
> ditemukan satu pun istilah linguistik berbau asing seperti lazimnya sekarang. 
> Dia membagi sepuluh kelas kata dengan istilah pribumi: nama paäda (biasa 
> disebut nomina); pengganti nama ’pronomina’; penerang ’adjektiva’; 
> pemoela ’artikula’; nama bilangan ’numeralia’; nama kerdja 
> ’verba’; penerangan ’adverbia’; pengoendjoek ’preposisi’; 
> pengoeboeng ’konjungsi’; dan oetjap seroe ’interjeksi’.
> Sadar menulis untuk pembelajar bahasa Melayu awal, Lie berusaha menyajikan 
> secara sederhana. Mestinya kita malu karena sampai sekarang masih ada yang 
> salah membedakan di sebagai kata depan dan di- sebagai imbuhan. Padahal, 
> lebih dari seabad silam, Lie sudah menjelaskan, ”di djadi satoe perkataän 
> [satu kata], djikalaoe ija ada di depan nama tempat: di Bogor, di roemah, di 
> atas. . .; ija djadi sabagian deri perkataän, djika ija di depan boekan nama 
> tempat: dibatja, diambil, ditanja d.l.”
> Bahasa Melayu yang ditulis Lie sering dipandang sebagai Melayu pasar yang 
> berkonotasi merendahkan. Namun, Claudine Salmon (1983), ahli sastra Melayu 
> Tionghoa asal Perancis, melihat Lie mencari jalan tengah antara Melayu tinggi 
> (Melayu Riau yang tak dimengerti di Jawa) dan Melayu pasar.
> Lie Kim Hok jelas tak ikut bersumpah, 28 Oktober 1928, dan mungkin tergolong 
> ”orang jang hanja tjoema bisa batja” menurut Medan Prijaji, koran Raden 
> Mas Tirto Adhi Soerjo. Bagaimanapun, dia telah membuka jembatan budaya.
> KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 
> Universitas Indonesia
>


Kirim email ke