Dear koh ABS dan Eva Kounio! Maaf, saya ikut nimbrung ya?

Karena threadnya tentang gedung konservatorium dan musik, berikut ini
adalah sebuah kisah tentang ¡°Dialog antara seorang ahli musik dan
seorang pemula¡±.

Syahdan, tersebutlah seorang gadis belia yang baru belajar bermain musik
bersantap malam bersama seniornya di sebuah restoran yang juga
menyajikan iringan musik klasik. Indah nian suasana restoran itu, sambil
bersantap malam, telinga pun dimanja dengan alunan musik klasik yang
merdu menghanyutkan.

  Tibalah gilirannya nomor ¡°Radetzky March¡± aransemen Johann
Strauss Sr dimainkan, sontak saja kedua tangan si gadis belia yang baru
belajar musik itu pun dikeplak-keplukkan ¡°Plak, plak, plak¡±
mengikuti hentakan musik layaknya di konservatorium!

Terkejut dengan ulah si gadis, senior ahli musik berkata ¡°Hei, hei!
Kita ini lagi makan di restoran, bukan di konservatorium!¡± Namun di
luar dugaan, si gadis pemula itu bukannya menurut tapi balas menghardik
dengan garang ¡°Begitu rendahkah apresiasi anda terhadap musik!
Bahkan sedikit pun tak ada reaksi anda mendengarkan musik indah ini!,
Percuma anda menyandang predikat ahli musik!!¡±

"Lah, lah, lah! bukan gitu persoalannya! Ini kan di restoran, bukan di
konservatorium non!! Saya rasa penghargaan saya terhadap musik tidak
akan lebih rendah daripada anda, tapi ada tempatnya! Bukan di  restoran
dan sambil makan seperti ini! lagi pula apa relevansinya apresiasi musik
dengan keplak-keplok di restoran??"

  Dijawab lagi oleh si gadis pemula tadi "kalau anda memang memberi
penghargaan yang lebih tinggi dari saya kok tanpa segan sedikit pun anda
menghardik saya yang memberikan respon tadi?"

Waduh, jangankan lewat tepuk tangan, lewat segala cara dan kepiawaiannya
bermain musik sang senior sudah setiap hari memberikan apresiasi
tertinggi bagi musik, musik itu sudah menjadi bagian jiwanya!! Kok hari
ini tiba-tiba beliau dituding tidak apresiatif terhadap musik!! Apakah
apresiasi terhadap musik harus diwujudkan setiap saat dan di setiap
tempat, tak peduli sedang santap malam di restoran, sedang bertamu di
rumah orang, atau entah di mana dan di waktu kapan saja. Pokoknya,
seperti semboyan Coca-cola, ¡°Di mana saja, Kapan saja!¡± Wah,
bisa edan kalo begitu!!



Salam.



Erik

------------------------------------------------------------------------\
-----------

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Eva Yulianti <beran...@...>
wrote:
>
  ABS : Ha ha ha, sok tahu sekali Eva ini dalam mengukur wawasan
kebangsaan saya!
  Saya kenal pribadi alm. Oom Jusuf Ronodipuro, yang sahabat keluarga
saya.
  Dan saya yakin bahwa saya menghargai kepahlawanan beliau jauh lebih
tinggi daripada penghargaan Eva kepada beliau.

Eva : hehehehehehe...kalau anda memang memberi penghargaan yang lebih
tinggi dari pada saya, kok tanpa segan sedikit pun ada menghardik
tulisan mengenai Kepahlawan beliau, hanya karena ada berpegang pada
prinsip millis ini adalah millis budaya tionghoa.
padahal setahu saya dalam budaya tionghoa yang menjadi dasar filosofinya
adalah penghargaan kepada orang yang lebih tua dan para leluhur.
kenapa dalam masyarakat Tionghoa ada keluarga yang memelihara meja abu
yang berisi abu sisa hio sembahyang pada saat orang tua tersebut
meninggal, yang di wariskan secara turun menurun pada generasi
berikutnya, yang disembahyangin secara berkala setiap Ce it cap Go,
karena apa ? itu adalah bentuk penghargaan kepada generasi yang lebih
tua.
  Bagi saya Putra terbaik Bangsa ini seperti seperti Bapak Jusuf
Ronodipuro adalah Leluhur bangsa Indonesia yang layak menerima
penghormatan.
lain masalah jika anda begitu menjunjung ketionghoan, hingga pandangan
anda menjadi sempit dan diskriminatif dalam memberi penghormatan pada
Orang yang layak menerima Penghormatan bukan saja dari Orang Tionghoa
tetapi Seluruh Bangsa Indonesia.

ABS : Saya berani taruhan Eva tidak tahu siapa rekan beliau yang
sama-sama digebuki Jepang di RRI studio Gambir.  Saya tahu, alm. Oom
Bachtar Lubis, karena saya kenal pribadi dan karena saya menghargai
kepahlawanan beliau.

Eva : hehehehehehe.. saya tahu cara memberi penghormatan anda adalah
dengan cara menghardik sebuah tulisan tentang Kepahlawan mereka dengan
alasan karena tidak tepat media untuk menyampaikan tulisan mengenai
kepahlawan mereka.

ABS :  Saya berani taruhan Eva tidak tahu ke mana Oom Jusuf Ronodipuro 
memindahkan aktivitas siaran radionya setelah studio Gambir disegel
Jepang.
  Saya tahu, dan pernah menapak-tilasi studio itu di Salemba, karena
menghargai kepahlawanan mereka dan datang ke tetenger itu karena ingin
menghayati keteladanan mereka.

Eva :  berkali-kali anda menyebut menghargai dan menghayati keteladan
mereka, boro-boro menyampaikan selamat dengan adanya Auditorium Bapak
Jusuf Ronodipuro, malah menghardiknya, jika anda pinter sedikit saja,
bukankah dengan tahu adanya Auditorium Bapak Jusuf Ronodipuro di ketahui
oleh generasi muda tionghoa, bisa saja muda-mudi Tionghoa yang mempunyai
kemahiran dalam bermusik bisa menyelenggarakan pagelaran musik dalam
rangka menyambut hari Imlek misalnya ?

ABS : Tetapi semua ihwal itu ada tempatnya masing-masing.  Menghargai
perjuangan pahlawan bangsa itu dalam menegakkan siaran RRI di masa sulit
jaman itu, kita datangi tetenger studio RRI darurat di Salemba.  Bukan
mendatangi tempat kumpul miliser budaya tionghoa di Mangga Dua Square.

Eva :  inilah yang saya bilang wawasan kebangsaan anda sangat..sangat
kurang.. pengetahuan tentang kepahlawan bangsa ini sah-sah saja di
perkenalkan dimana saja, lha..emang tentang kepahlawan itu hanya boleh
diperkenalkan di musium saja ? jadul banget pola pikir anda.
Dan ketika orang yang merasa berbudaya bilang kalau mau belajar sejarah
ya di millis sejarah.. itu adalah orang salah kaprah, budaya adalah
hasil karya dan karsa manusia yang tidak bisa di lepaskan dari
kesejarahan bagaimana budaya tersebut ada, dan bertahan sampai sekarang
?..

ABS :  Milis di dunia maya internet itu ada ratusan ribu dan
masing-masing punya kekhususannya masing-masing.  Setiap orang menjadi
member suatu milis karena tertarik pada kekhususan milis ybs. Bukan
untuk menerima segala macam posting secara gado-gado.
  Sebaliknya pahlawan bangsa ini ada ribuan. Kalau semua kisah mereka
di-posting-kan ke milis budaya tionghoa ini, wah, orang tionghoa bilang
itu "cialat".  Kalau misalnya kita bahas soal makanan di milis ini, lalu
yang kita bahas makanan tionghoa, itu ada relevansinya.

Eva :  heheehhehe..anda cek bukan saja ada juga topik OOT nya tentang
jus sirsak dan jus wortel, emang anda pikir itu jus Wortel sama sirsak
cuma punya Tionghoa aja ???

ABS :  Kalau dari bahas makanan tionghoa lalu karenanya jadi sampai
nyerempet-nyerempet membahas makanan padang, misalnya, tentu okay saja. 
Tetapi kalau nggak angin nggak ujan mendadak sontak Eva posting tentang
masakan padang di milis ini, tentu saja akan dipertanyakan "apa
relevansinya". Tidak perduli makanan padang itu makanan paling laku di
seluruh negeri

EVa :  Saya tidak akan pernah posting tentang makanan padang atau apa,
sangat beda sekali nilai posting mengenai kepahlawanan dan makanan atau
apapun, karena saya merasa generasi muda tionghoa perlu tahu tentang
Pahlawan bangsa ini, meski menurut anda millis ini hanya membahas budaya
saja.  saya hanya miris ketika saya melihat sebuah millis yang
menyandang Nama "Budaya Tionghoa" menghardik sebuah tulisan mengenai
kepahlawan Putra terbaik Bangsa ini dengan alasan karena milis ini
adalah milis budaya Tionghoa.  dan perlu anda ketahui asal kata budaya
itu bukan dari bahasa China, tapi bahasa Sansekerta.

ABS :  Kalau misalnya kita bahas soal wayang di milis ini, lalu yang
kita bahas wayang potehi, itu ada relevansinya.  Kalau dari bahas wayang
potehi lalu karenanya jadi sampai nyerempet-nyerempet membahas wayang
golek Sunda, misalnya, tentu okay saja. Tetapi kalau nggak angin nggak
ujan mendadak sontak Eva posting tentang wayang golek Sunda di milis
ini, tentu saja akan dipertanyakan "apa relevansinya". Tidak perduli
wayang golek Sunda itu wayang boneka satu-satunya di negeri ini.

Eva : Terima kasih untuk pencerahan anda , yang membuka mata saya
lebar-lebar bahwa millis ini memang milis eksklusif yang hanya menerima
tulisan tentang budaya tioghoa, di tengah usaha-usaha kita sebagai
sebuah bangsa untuk membangun identitas diri kita hanya sebagai satu
bangsa yaitu bangsa Indonesia.

ABS :  Nah, kalau kita bahas soal pahlawan di milis ini, lalu yang kita
bahas alm. Laksamana John Lie, itu ada relevansinya..  Kalau dari bahas
Laksamana John Lie lalu karenanya jadi sampai nyerempet-nyerempet
membahas Laksamana Malahayati, misalnya, tentu okay saja.
> Tetapi kalau nggak angin nggak ujan mendadak sontak Eva posting
tentang Laksamana Malahayati di milis ini, tentu saja akan dipertanyakan
"apa relevansinya". Tidak perduli Laksamana Malahayati itu putra terbaik
negeri ini.

Eva :  Hahahahahahaha.. Karena John Lie itu orang Tionghoa jadi boleh di
tulis disini, kalau yang bukan Tionghoa nggak boleh..busyet dah.. cialat
generasi muda Tionghoa dijejali denagn pemikiran eksklusif seperti ini.
  Gue Tionghoa, loe bukan.. nyingkir lo jauh-jauh dari sini..begitu ???
  Pola mikir anda yang tidak memiliki wawasan kebangsaan ini yang
merupakan racun bagi terwujudnya integrasi Tionghoa ke dalam Bangsa
Indonesia.

ABS : Ah, tapi barangkali saya ngomong percuma nih ya, karena Evi
kouwnio ini pun jangan-jangan tidak tahu siapa itu pahlawan perempuan
Malahayati...

Eva:  Hehehehehehe...kalau nulis yang lengkap Boss.. Laksamana
Malahayati, itu pelajaran kelas lima SD, anak saya aja udah lewat
pelajaran tentang kepahlawan beliau.

Salam,
  Eva.

Kirim email ke