Bung Yuana, Bung Zhou FY dan TTM semuah, Hai, apakabar? Sudah makan?
Hehehe...... unik juga, bukan cakupan bidang kita, tapi ternyata banyak juga yang konsen masalah sertifikat halal ini ya. Bung Yuana benar, halal tidaknya suatu makanan, lebih persis-nya LP-POM MUI bisa menerbitkan sertifikat halal atas suatu produk, tidak melulu melihat aspek babi saja, termasuk juga alkohol. Dalam kasus resto ala Jepang itu, kalau tak salah sih karena mereka masih memakai saus dan bumbu yang mengandung sake atau mirin aka arak beras sebagai satu komponen penyedapnya, dan sake atau mirin aka arak beras itu masih mengandung alkohol. Cara berpikir Bung Zhou FY mestinya benar. Lebih mudah membuat sertifikat 'mengandung babi' atau 'tidak halal' daripada sebaliknya. Untuk audit mendapatkan sertifikat halal, banyak aspek yang mesti diperiksa, tidak hanya babi, tapi juga alkohol, prosesnya, bahan dasarnya, cara memotong hewannya, dan lain-lain. Kalau untuk menerbitkan label 'tidak halal' misalnya, cukup statement saja dari produsen bahwa produknya tidak halal, lalu tinggal diterbitkan. Ndak usah diperiksa lagi toh? Lebih praktis, memang. Dulu di Malaysia konon resto yang tidak halal justru yang harus mencantumkan label besar-besar di pintunya, supaya yang Muslim tahu dan tidak masuk ke dalam resto tsb. Sanksi akan dikenakan kalau ternyata mereka lalai membuat pengumuman ini, dan terbukti makanan yang dijualnya tidak halal. Jadi, mereka menganggap, kalau tidak ada label, berarti halal. Karena mayoritas resto di sana mesti halal. Tapi, kalau di Indonesia diberlakukan sebaliknya begitu, yang tidak halal justru mesti mencantumkan label, mungkin semuanya tidak akan mencantumkan label. Khususnya produk konsumer yang dijajakan di pasar-pasar dan supermarket itu. Maka konsumen yang akan makin bingung. Benar juga bahwa pencantuman label 'halal' untuk lebih memperluas target konsumennya. Walau, tentu saja keputusan membeli dan mengkonsumsinya tetap tergantung kepada individu masing-masing calon pembeli. Aspek halal tidak-nya suatu produk, kalau ndak salah juga ada yang mempertimbangkan segi kesehatan tubuh, seperti rokok, misalnya. Walau ada label halal, kalau ada konsumen yang merasa tidak yakin, tentu tak akan dikonsumsinya. Tapi, tentu saja LP-POM MUI dan pemerintah punya pertimbangan sendiri, mengapa yang berlaku saat ini adalah penerbitan sertifikat jalal, dan bukan sebaliknya. Begitu saja sih ya. Salam makan enak dan sehat, Ophoeng BSD City, Tangerang Selatan --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, yuan...@... wrote: Semua yang tidak mengandung babi belum tentu halal. Kasus Hoka Hoka Bento adalah contoh perbedaan antara sertifikat MUI dan tidak. -----Original Message----- From: zho...@... Date: Mon, 8 Feb 2010 09:43:26 To: <budaya_tionghua@yahoogroups.com> Subject: Re: [budaya_tionghua] Mohon Info Makanan Tahun Baru Halal ?. Sebenarnya lebih efisien jika dibalik: Yg dicantumkan di bungkus makanan bukan label halal, tapi justru keterangan"mengandung babi". Setiap produk yg mengandung babi wajib mencantumkan keterangan ini. Jika lalai, akan dituntut di pengadilan. Kan beres! Seperti di super maket, counter daging babi dipisah, atasnya ditulis babi. Shg tak perlu memberi keterangan di counter ayam, sapi dan ikan : bukan babi(halal)! Kan lebih efisien.