Kebiasaan yang berlangsung selama ini, yang diajukan ke Presiden itu 2 kali 
jumlah yang akan ditetapkan, sehingga Presiden memiliki sedikit keleluasaan 
untuk memilih.
Bila Presiden punya alasan kuat untuk menolak seluruh calon yang diajukan 
(misalkan ketahuan beberapa calon anggota KPK pernah ketangkep jadi maling, 
seperti yang terjadi pada beberapa calon Kepala Daerah beberapa waktu yang 
lalu), maka seluruh proses seleksi harus diulang.
Artinya: Presiden memiliki kewenangan untuk memilih atau menolak rekomendasi 
yang disampaikan kepada beliau.
Dalam kasus Tim 5 yang diberikan kewenangan penuh untuk menentukan anggota Plt 
KPK, dan Presiden mau - tidak mau harus menyetujui apapun rekomendasi dari Tim 
5 ini, menurut saya merupakan suatu kesalahan yang sebetulnya untuk menutup 
kesalahan yang lain.
Awal kesalahan dimulai dari:
1. SBY tidak bereaksi saat Kepolisian mengkriminalkan kewenangan KPK dalam 
melaksanakan tugasnya. Setelah bukti suap dan pemerasan tidak ada, seharusnya 
Polisi menerbitkan SP3.
2. SBY menyatakan akan mengeluarkan PERPPU Plt KPK untuk mengisi kekosongan 
Ketua dan wakil Ketua yang non aktif.
3. Saat melihat reaksi masyarakat begitu keras menolak PERPPU Plt KPK, karena 
SBY dalam kasus ini menerapkan motto "Sabdo Pandito Ratu" seperti Soeharto yang 
artinya: Apapun yang sudah diucapkan pantang untuk ditarik kembali, maka PERPPU 
Plt KPK tetap diterbitkan, tetapi dengan cara membentuk Tim 5 yang diberi 
kewenangan penuh untuk menunjuk anggota Plt KPK.
Jadi salahnya menjadi bertumpuk - tumpuk.
Sayangnya motto "Sabdo Pandito Ratu" hanya berlaku pada hal yang menyengsarakan 
masyarakat dan tidak berlaku pada hal yang bisa mensejahterakan masyarakat, 
misalnya : Pemberantasan Korupsi.
 
Salam,
 
Adyanto Aditomo

--- Pada Jum, 25/9/09, Asep Kurniawan <ask...@yahoo.com> menulis:


Dari: Asep Kurniawan <ask...@yahoo.com>
Judul: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Re: Perpu KPK
Kepada: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Tanggal: Jumat, 25 September, 2009, 3:54 AM


 



Tidak perlu semua hal digugat juga, Pak. Kesannya Anda jadi mengada-ada. pake 
analogi super semar jilid II pula. Dalam pembetukan banyak komisi negara, 
presiden juga selalu menerima saja hasil seleksi dari tim yang dibentuknya, 
lalu diteruskan ke DPR. Dalam seleksi "reguler" pimpinan KPK misalnya, presiden 
menerima 10 nama hasil tim seleksi untuk selanjutnya diserahkan ke DPR untuk 
dipilih 5 orang. Sejak jaman Megawati sudah begitu. Semua komisi negara begitu 
polanya. Malah waktu pembentukan Komnas HAM pertama, Soeharto juga teken 
Keppres pengangkatan anggota Komnas HAM hasil seleksi tim-nya Ali Said. Periksa 
deh... Tidak ada tuh yang mengatakan tim seleksi lebih berkuasa dari presiden. 
Cuma Anda seorang kayaknya...

Kirim email ke