Seandainya saja benar apa yang anda tuduhkan PKT sudah bukan lagi Partai 
Komunis Tiongkok, tapi berubah menjadi Partai REMO, Partai Kapitalis Tiongkok, 
dsb, ... yang menjalankan penghisapan dan penindasan pada RAKYAT BANYAK, tentu 
lambat atau cepat akhirnya akan ROBOH juga! Tentu TIDAK BEDA dengan PKUS yang 
melewati usia 70-an tahun sudah roboh dengan sendirinya itu!

Tapi, ... ternyata anda tidak berhasil melihat, atau lebih tepat harus 
dikatakan TIDAK HENDAK karena TIDAK BERANI melihat kenyataan yang sedang 
terjadi di Tiongkok, khususnya 10 tahun terakhir ini dalam usaha mengentaskan 
kemiskinan, jadi anda berkesimpulan lain. Tiongkok sekarang ini TETAP MAJU 
dalam kecepatan sedang, maju terus lebih baik bukan saja dibidang ekonomi, 
teknologi tapi juga KESEJAHTERAAN RAKYAT. Dalam beberapa tahun terakhir ini, 
setiap tahunnya Tiongkok berhasil mengangkat lebih 10 juta rakyatnya keluar 
dari garis kemiskinan! Dan ingat, warga desa pedalaman yang dinyatakan telah 
keluar dari garis kemiskinan itu, bukan sekadar dari angka produksi desa dan 
pemasukan warga desa sesaat ditahun itu saja, tapi harus mencapai jaminan 
kelanggengan produksi yang diusahakan desa itu! Itulah TARGET yang 
diperjuangkan PKT dengan Plan-5 Tahun ke-13, untuk membebaskan lebih 50juta 
rakyat miskin yang tersisa, ... jadi nanti di tahun 2020, RRT termasuk negara 
didunia yang TIDAK ada lagi orang miskin, tidak akan ada lagi rakyat yang 
kelaparan, tidak cukup sandang-pangan dan SELURUH RAKYAT yang berjumlah 1,4 
milyar itu akan berkemampuan berobat saat sakit dan juga berkemampuan 
menyekolahkan anak-anak nya!

Nampak jelas, dari berbagai tulisan-tulisan yang mengisahkan desa-desa 
terbelakang berubah menjadi desa makmur, dimana bisa diikuti di Harian Rakyat 
dan juga diinternet, patut diperhatikan yang terjadi di Tiongkok sekarang ini 
TERBALIK dengan pemikiran KOMUNIS semula! BUKAN membasmi “hak-milik 
PERSEORANGAN atas alat produksi” dengan dirampas menjadi milik NEGARA! BUKAN 
mempertahankan seluruh RAKYAT tetap sebagai PROLETARIAT yang tidak bermilik, 
tidak mempunyai apa-apa kecuali TENAGA KERJA saja! Dan olehkarena semua jadi 
milik NEGARA, akhirnya NEGARA atau PEMERINTAH jadi harus mengatur segala 
kehidupan rakyatnya! Dan, kalau boleh dikatakan, akibat pejabat Pemerintah 
membusuk dan tidak mengabdi Rakyat dengan baik itulah akhirnya PKUS roboh 
dicampakkan oleh rakyatnya sendiri! Tapi yang dijalankan PKT sekarang ini 
terbalik, PKT justru membiarkan hak-milik perseorangan warga desa, khususnya 
hak-guna tanah yang ditahun 1980 dibagikan kembali pada setiap petani itu.  
Bersamaan itu, warga desa juga didorong pada KESADARAN KERJASAMA dalam 
meningkatkan produksi, sampai pada membentuk koperasi-desa! Dengan memasukkan 
nilai hak-guna tanah, alat produksi yang dimilik semula menjadi bagian saham 
koperasi desa itu! Begitulah KESADARAN dan SEMANGAT kerja KOLEKTIF kembali 
dibangkitkan yang tidak beda banyak saat Mao membangkitkan pembentukan koperasi 
didesa-desa, awal tahun 50, ... yang berbeda sekarang ini ada kejelasan 
pengaturan rinci pembagian bonus bagi pemilik saham, setiap warga petani 
pemilik saham didesa itu. Nampaknya jalan PKT sekarang inilah yang lebih sesuai 
dengan logika filsafat, “setiap hal-ihwal merupakan kesatuan dari segi-segi 
bertentangan”! Bukankah seharusnya yang dibilang milik negara itu merupakan 
kesatuan dari milik-perseorangan rakyatnya? Tapi, kalau saja setiap 
milik-perseorangan dibasmi, dimana lagi ada hak milik umum yang dibilang milik 
NEGARA itu? Kalau saja KAPITALIS dibasmi “hak-milik perseorangan” ditiadakan, 
dimana lagi eksistensi BURUH, sebagai antipode KAPITALIS dalam satu kesatuan 
masyarakat itu??? Menghilangkan kapitalis, bersamaan itu buruh juga seharusnya 
hilang! Pada saat kapitalis berubah kekwalitas baru, buruh nya juga ikut 
berubah menjadi kwalitas yang lain, ... kesatuan dari kapitalis><buruh menjadi 
Hal-ihwal yang BARU, dengan kesatuan dari segi-segi bertentangan yang lain! 
Begitulah seharusnya pengertian “Kesatuan dari segi-segi yang bertentangan”.

Jadi, hak-milik perseorangan atas alat produksi itu sendiri tidak salah! Tidak 
seharusnya dibasmi dan dirampas menjadi milik-negara! Sebaliknya, hak-milik 
perseorangan itu justru menjadi rangsang kuat setiap orang BEKERJA LEBIH KERAS 
berproduksi, untuk memperbaiki kehidupan mereka sendiri! Dan, ... berbeda dari 
masa Komune Rakyat, dimana hasil kerja petani tidak bisa langsung dirasakan, 
sekarang ini hasil kerja mereka dirasakan secara LANGSUNG dengan adanya 
ketambahan bonus yang didapatkan setiap tahun! Bisa dikatakan, yang salah kalau 
hak-milik perseorangan dibiarkan terus tumbuh berkembang secara liar dengan 
KESERAKAHAN menjadi kapitalis untuk menghisap dan menindas pekerja, ...! 
KESERAKAHAN seseorang itulah yang SALAH dan harus dicegah! Jangan biarkan 
keserakahan itu berubah menjadi kekejaman menghisap dan menindas tenaga kerja 
orang! Tapi kalau hak milik perseorangan itu dikembangkan dalam kebersamaan 
Koperasi, hak milik perseorangan itu dengan sendirinya akan TUMBUH SEHAT lebih 
baik menjadi pendorong kuat MAJU BERSAMA dan MAKMUR BERSAMA! Bersama-sama 
meninggalkan/melepaskan dirinya dari PROLETARIAT yang tidak punya apa-apa 
kecuali tenaga kerja, menjadi pemilik-modal, ... atau bisa juga dikatakan 
menjadi kapitalis-kapitalis BARU! Kapitalis-kapitalis yang BEKERJA KERAS dalam 
koperasi dan tidak menghisap tenaga kerja orang lain. Sekarang ini Tiongkok 
yang sudah menjadi Kapitalisme-Negara, apa kiranya akan juga terjadi seluruh 
rakyat Tiongkok menjadi kapitalis-kapitalis BARU?! 

Ayooo, mariiii kita lihat dengan mata-kepala sendiri bagaimana perkembangan 
Tiongkok selanjutnya, akan terus tumbuh besar dan kuat, berangsur-angsur 
mewujudkan masyarakat lebih makmur dan adil atau roboh sebagaimana anda katakan 
itu! Mudah2an kita semua kesampaian, ... melihat RAKYAT Tiongkok yang berjumlah 
1,4 milyar itu lepas dari kemiskinan dan memasuki masyarakat berkemakmuran 
sedang.

Salam,
ChanCT


From: Tatiana Lukman jetaimemuc...@yahoo.com [GELORA45] 
Sent: Tuesday, June 13, 2017 1:56 AM
To: GELORA45@yahoogroups.com ; Jonathan Goeij 
Cc: DISKUSI FORUM HLD 
Subject: Re: [GELORA45] Re: GRAHAM ALLISON: "AMERICA SECOND? " "YES."




Apakah dengan naiknya Tkk menjadi ekonomi terbesar dan "mengalahkan" AS, lantas 
selesai masalah-masalah sosial dan ketimpangan yang dihadapi rakyatnya??? Semua 
empires yang pernah "menguasai" dunia akhirnya runtuh juga...... Itulah bukti 
bahwa selama sistim ekonominya bertumpu di atas penghisapan dan penindasan, 
lambat atau cepat akhirnya akan roboh...



On Monday, June 12, 2017 5:12 PM, "Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com 
[GELORA45]" <GELORA45@yahoogroups.com> wrote:




  
Kelihatannya benar sekali, dalam kategori engineering Tsinghua menempati posisi 
pertama disusul MIT kedua dan UC Berkeley ketiga. Bahkan dalam daftar 10 besar 
engineering Tiongkok dan Amerika keduanya masing2 menempatkan 4 university dan 
Singapore 2 university.

Dalam sejarah memang banyak penemuan engineering diawali di Tiongkok terutama 
pada pembangunan Tembok Besar seperti roda pedati, katrol, dll. Tentu masuk 
akal kalau sekarang kemajuan engineering kembali ke Tiongkok, dan bukan hanya 
dalam pendidikan saja tetapi juga dalam penemuan2 baru. Angkat topi!

Kapan Indonesia menyusul? Yg jelas waktu searching Indonesia hasil yg didapat 
"Not Matches Found" dalam semua kategori.


---In GELORA45@yahoogroups.com, <ehhlin@...> wrote :






GRAHAM ALLISON
America second? Yes, and China’s lead is only growing

China’s Tsinghua University dethroned MIT (above) as the top engineering 
university in the world in 2015, according to US News and World Report’s annual 
rankings.
By Graham Allison  
May 22, 2017
In Boston, Commencement season is a time to celebrate our world-leading 
universities, including engineering powerhouse MIT. But Bostonians might be 
shocked to learn that China’s Tsinghua University dethroned MIT as the top 
engineering university in the world in 2015, according to the closely-watched 
US News & World Report annual rankings. Tsinghua’s recent surge is not an 
isolated example. Everyone knows about China’s rise, but few have realized its 
magnitude or its consequences.
Among the top 10 schools of engineering, China and the United States now each 
have four. In STEM subjects (science, technology, engineering, and 
mathematics), which provide the core competencies driving advances in the 
fastest-growing sectors of modern economies, China annually graduates four 
times as many students as the United States (1.3 million vs. 300,000). And in 
every year of the Obama administration, Chinese universities awarded more PhDs 
in STEM fields than American universities.
For Americans who grew up in a world in which USA meant “number one,” the idea 
that China could truly challenge the United States as a global educational 
leader seems impossible to imagine.
This is not the only reality Americans willfully ignore. In my national 
security course at Harvard, the lecture on China begins with a quiz. Students 
get a sheet with 25 indicators of economic performance. Their task is to 
estimate when China might overtake the United States as the top producer or 
market of automobiles, supercomputers, smartphones, and so on. Most are stunned 
to learn that China has already surpassed the United States on each of these 
metrics.
I then ask whether they believe that in their lifetime China will overtake the 
United States to become the largest economy in the world. In last year’s class 
of 60 students, about half bet they would live to see the United States become 
number two, while half disagreed.
When I show the class headlines from the 2014 IMF-World Bank meeting announcing 
that China had become the largest economy in the world, students react with a 
mix of dismay and disbelief. By 2016, China’s GDP was $21 trillion and 
America’s was $18.5 trillion, when measured by purchasing power parity (PPP), 
which both the CIA and IMF agree is the best yardstick for comparing national 
economies.
Students are not the only ones in the dark about China’s rise. Most of the 
press has similarly missed the big picture. The favorite story line in the 
Western media about the Chinese economy is “slowdown.” The question few pause 
to ask is: slowing compared to whom? The American press’s favorite adjective to 
describe our economic performance has been “recovering.” But despite its 
“slowdown,” China today is growing three times as fast as the United States.
President Trump’s claims that we have been “losing” to China reflect, in part, 
the reality of a shifting see-saw. A bigger, stronger China is challenging 
American interests in the South China Sea, taking our jobs, buying American 
companies, and replacing us as the primary trading partner of nations not only 
in its neighborhood, but also in Europe, where China recently unseated the 
United States as Germany’s largest trading partner.
Trump’s call to “Make America Great Again” struck a chord with voters. Number 
one is who we are. But politically appealing slogans are not a solution for the 
dramatic resurgence of a 5,000-year old civilization with 1.4 billion people, 
led by a president whose own mission is the “Great Rejuvenation” of China — in 
other words, to “Make China Great Again.” To construct a grand strategy for the 
China challenge that protects vital US interests without catastrophic conflict, 
policy makers must begin by recognizing these uncomfortable but undeniable 
realities.
Graham Allison is the director of Harvard Kennedy School’s Belfer Center for 
Science and International Affairs and the author of the forthcoming book 
“Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’s Trap?”






Kirim email ke