Kalau boleh saya jelaskan masalah Hu Gou (baca KTP) yang saya ketahui di 
Tiongkok. Dahulu, puluhan tahun sebelumnya, karena perbedaan kehidupan kota dan 
desa sangat besar, untuk mencegah kota-kota besar dimasuki penduduk desa, 
digunakanlah ketentuan Hu Gou yang sangat ketat di Tiongkok. Bekerja di kota 
sudah sampai puluhan tahun juga tidak bisa dapatkan Hu Gou di kota dimana dia 
bekerja, dan akibat nya segala fasilitas penduduk kota itu tidak bisa dia 
dapatkan. Yang kasihan, sekalipun kawin dengan perempuan penduduk kota itu, 
anaknya jadi tidak bisa sekolah di kota tsb. Yang berlaku garis bapak, anak 
ikut bapak yang tidak punya Hu Gou. Jadi, harus diakali, menjelang usia anak 
masuk sekolah, mereka harus “bercerai” agar si anak ikut ibu yang ada Hu Gou 
kota itu, jadi si anak bisa masuk sekolah. Tidak usah kedesa dirawat 
kakek-neneknya! 

Hehehee, ... saya jadi teringat saat tamasya di sungai Yang Tse, berkesempatan 
ngobrol dengan seorang guide perempuan suku Tu, minoritas di Tiongkok yang 
dapat hak-istimewa. UU semula pria suku Han tidak boleh kawin dengan perempuan 
suku-minoritas ternyata sudah tidak dijalankan lagi. Dan agar suku-minoritas 
tidak hilang-habis, dibuat ketentuan untuk mempertahankan suku-minoritas diberi 
hak ikut garis ibu! Artinya anak mereka tetap bersuku Ibu dari suku-minoritas. 
Tidak ikut marga ayah yang suku Han, dan dengan begitu pasangan suami-istri ini 
tidak kena ketentuan hanya boleh SATU anak, ... sedang si anak tentu juga TETAP 
diperlakukan sebagai suku-minoritas! Lalu saya bilang, waah, kalau begitu akan 
merangsang pemuda Han untuk kejar perempuan suku-minoritas, dong! Jadi boleh 
punya anak banyak! Hehehee, ... Tapi, itu kejadian ditahun 2010, sekarang 
ketentuan hanya anak tunggal juga sudah dicabut, ... boleh 2 anak.

Baru 3-4 tahun terakhir ini, setelah pada pokoknya perbedaan kota-desa tidak 
terlalu besar, setidaknya mayoritas usaha didesa-desa sudah tumbuh berkembang, 
bahkan tidak sedikit penghasilan petani didesa-desa sudah melebihi gaji buruh 
dikota-kota, baru dibuat UU Urbanisasi, warga desa yang bekerja di kota dan 
hendak menetap, hidup dan bekerja di kota itu sudah lebih 5 tahun bisa 
mendapatkan Hu Gou dikota itu, dan tentu mendapatkan fasilitas sebagaimana 
penduduk kota itu. 

Jadi bukan sistem Hu Gou dihilangkan, tapi disempurnakan untuk KEADILAN dan 
MANUSIAWI! Bisa memperlakukan hak dan kewajiban yang sama bagi setiap warganya.

Salam,
ChanCT


From: kh djie dji...@gmail.com [GELORA45] 
Sent: Tuesday, June 13, 2017 3:58 AM
To: Gelora45 ; Jonathan Goeij 
Subject: Re: [GELORA45] Re: GRAHAM ALLISON: "AMERICA SECOND? " "YES."

  

Si anak ditinggal di desa bersama kakek neneknya supaya bisa ak tetap sekolah 
gratis.. Tetapi kalau ikut ke kota lain tempat kerja orang tuanya, dengan masih 
berlakunya sistim Hui kauw, tidak bisa masuk sekolah di kota dengan gratis. 
kalau ikut orang tua, yang dua2nya kerja, biasanya masih kuat bayar sekolah 
"partikelir", yang tidak gratis. Sekolah2 ini bermunculan sesuai dengan adanya 
kebutuhan.
Tidak tahu kapan sistim Huikauw ini bisa dihilangkan. Mestinya dengan majunya 
informasi teknologi, jatah bayaran sekolah mudah dipindahkan dari satu tempat 
ke tempat lain. Tidak tahu kalau maksudnya mungkin supaya migrasi dari desa ke 
kota jangan terlalu cepat, karena yang kota kewalahan bangun perumahan, bangun 
sekolah ?
Mungkin bung Chan bisa jelaskan apa persoalan sebnarnya. 
KH

On 12 June 2017 at 20:18, Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45] 
<GELORA45@yahoogroups.com> wrote:

    

  Saya berpendapat pendidikan adalah salah satu jalan (mungkin yg terutama) utk 
meningkatkan "kasta" seseorang, cuman utk kasus di Tiongkok dgn sistem hanya 
penduduk desa/kota setempat yg bisa mengecam pendidikan dan kesehatan secara 
gratis/murah hal ini menimbulkan masalah besar seperti yg pernah dibawakan oleh 
TV Aljazeera sedemikian banyaknya anak yg tertinggal didesa sementara orang 
tuanya bekerja dikota. Sistem baru yg diutarakan Chan setelah 5 th akan diberi 
status penduduk juga tidak akan banyak membantu, sianak disuruh tidak sekolah 
dulu selama lima tahun jadinya ya ketinggalan luar biasa. 

  Dus yg jadi korban selalu mereka yg berada pada "kasta" rendah, tidak ada 
atau kurangnya equal opportunity dalam bidang pendidikan.



  On Monday, June 12, 2017 10:57 AM, Tatiana Lukman <jetaimemuc...@yahoo.com> 
wrote:




  Apakah dengan naiknya Tkk menjadi ekonomi terbesar dan "mengalahkan" AS, 
lantas selesai masalah-masalah sosial dan ketimpangan yang dihadapi 
rakyatnya??? Semua empires yang pernah "menguasai" dunia akhirnya runtuh 
juga...... Itulah bukti bahwa selama sistim ekonominya bertumpu di atas 
penghisapan dan penindasan, lambat atau cepat akhirnya akan roboh...



  On Monday, June 12, 2017 5:12 PM, "Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com 
[GELORA45]" <GELORA45@yahoogroups.com> wrote:




    
  Kelihatannya benar sekali, dalam kategori engineering Tsinghua menempati 
posisi pertama disusul MIT kedua dan UC Berkeley ketiga. Bahkan dalam daftar 10 
besar engineering Tiongkok dan Amerika keduanya masing2 menempatkan 4 
university dan Singapore 2 university.

  Dalam sejarah memang banyak penemuan engineering diawali di Tiongkok terutama 
pada pembangunan Tembok Besar seperti roda pedati, katrol, dll. Tentu masuk 
akal kalau sekarang kemajuan engineering kembali ke Tiongkok, dan bukan hanya 
dalam pendidikan saja tetapi juga dalam penemuan2 baru. Angkat topi!

  Kapan Indonesia menyusul? Yg jelas waktu searching Indonesia hasil yg didapat 
"Not Matches Found" dalam semua kategori.


  ---In GELORA45@yahoogroups.com, <ehhlin@...> wrote :






  GRAHAM ALLISON
  America second? Yes, and China’s lead is only growing

  China’s Tsinghua University dethroned MIT (above) as the top engineering 
university in the world in 2015, according to US News and World Report’s annual 
rankings.
  By Graham Allison  
  May 22, 2017
  In Boston, Commencement season is a time to celebrate our world-leading 
universities, including engineering powerhouse MIT. But Bostonians might be 
shocked to learn that China’s Tsinghua University dethroned MIT as the top 
engineering university in the world in 2015, according to the closely-watched 
US News & World Report annual rankings. Tsinghua’s recent surge is not an 
isolated example. Everyone knows about China’s rise, but few have realized its 
magnitude or its consequences.
  Among the top 10 schools of engineering, China and the United States now each 
have four. In STEM subjects (science, technology, engineering, and 
mathematics), which provide the core competencies driving advances in the 
fastest-growing sectors of modern economies, China annually graduates four 
times as many students as the United States (1.3 million vs. 300,000). And in 
every year of the Obama administration, Chinese universities awarded more PhDs 
in STEM fields than American universities.
  For Americans who grew up in a world in which USA meant “number one,” the 
idea that China could truly challenge the United States as a global educational 
leader seems impossible to imagine.
  This is not the only reality Americans willfully ignore. In my national 
security course at Harvard, the lecture on China begins with a quiz. Students 
get a sheet with 25 indicators of economic performance. Their task is to 
estimate when China might overtake the United States as the top producer or 
market of automobiles, supercomputers, smartphones, and so on. Most are stunned 
to learn that China has already surpassed the United States on each of these 
metrics.
  I then ask whether they believe that in their lifetime China will overtake 
the United States to become the largest economy in the world. In last year’s 
class of 60 students, about half bet they would live to see the United States 
become number two, while half disagreed.
  When I show the class headlines from the 2014 IMF-World Bank meeting 
announcing that China had become the largest economy in the world, students 
react with a mix of dismay and disbelief. By 2016, China’s GDP was $21 trillion 
and America’s was $18.5 trillion, when measured by purchasing power parity 
(PPP), which both the CIA and IMF agree is the best yardstick for comparing 
national economies.
  Students are not the only ones in the dark about China’s rise. Most of the 
press has similarly missed the big picture. The favorite story line in the 
Western media about the Chinese economy is “slowdown.” The question few pause 
to ask is: slowing compared to whom? The American press’s favorite adjective to 
describe our economic performance has been “recovering.” But despite its 
“slowdown,” China today is growing three times as fast as the United States.
  President Trump’s claims that we have been “losing” to China reflect, in 
part, the reality of a shifting see-saw. A bigger, stronger China is 
challenging American interests in the South China Sea, taking our jobs, buying 
American companies, and replacing us as the primary trading partner of nations 
not only in its neighborhood, but also in Europe, where China recently unseated 
the United States as Germany’s largest trading partner.
  Trump’s call to “Make America Great Again” struck a chord with voters. Number 
one is who we are. But politically appealing slogans are not a solution for the 
dramatic resurgence of a 5,000-year old civilization with 1.4 billion people, 
led by a president whose own mission is the “Great Rejuvenation” of China — in 
other words, to “Make China Great Again.” To construct a grand strategy for the 
China challenge that protects vital US interests without catastrophic conflict, 
policy makers must begin by recognizing these uncomfortable but undeniable 
realities.
  Graham Allison is the director of Harvard Kennedy School’s Belfer Center for 
Science and International Affairs and the author of the forthcoming book 
“Destined for War: Can America and China Escape Thucydides’s Trap?”








Kirim email ke