Pepatah mengatakan untuk bisa berbahagia diperlukan uang, tetapi uang tidak menjamin kebahagiaan.
Demikian juga dengan pendidikan. Untuk mendapatkan pendidikan yang baik seseorang memerlukan uang, tetapi orang yang memiliki lebih banyak uang tidak berarti akan lebih berprestasi daripada yang kurang banyak uangnya. Kalau tidak seperti itu, ranking prestasi sekolah anak-anak yang ada di daftar orang terkaya dunia akan kurang lebih sama dengan ranking orang-tua mereka. Mengapa? Karena prestasi pendidikan dan kekayaan tidak berbanding lurus. Ada suatu titik dimana bertambahnya kekayaan tidak memiliki efek apa-apa lagi terhadap prestasi pendidikan. Dimana letak titik ini sifatnya relatif. Uang sangat diperlukan untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Tetapi uang adalah satu dari sekian banyak faktor. Ini yang menyebabkan kekayaan dan prestasi pendidikan tidak berbanding lurus. ---In gelora45@yahoogroups.com, <jonathangoeij@...> wrote : Tidak perlu disangkal ada cukup banyak anak2 dari keluarga kurang mampu yang prestasi pendidikannya lebih bagus dari anak2 orang kaya, tetapi terus terang saja hal seperti itu lebih merupakan perkecualian daripada norma. Antara pendidikan dan kekayaan mempunyai perbandingan lurus, data statistik menunjukkan mereka yang berpendidikan lebih tinggi juga mempunyai income/kekayaan yang lebih tinggi juga. Data seperti ini bisa didapat dengan mudah di internet dari berbagai macam survey ataupun bahkan census. Ada memang yg berpendidikan rendah menjadi kaya bahkan superkaya seperti Liem Sioe Liong misalnya tetapi hal seperti ini bersifat exception, 1 diantara sekian juta. Demikian juga kekayaan keluarga berbanding lurus dengan pendidikan anak2nya. Saya melakukan pengamatan terbatas sekolah2 disekitar tempat saya, di US sini kita bisa dengan gampang melihat data setiap sekolah bahkan demographic sekalipun. Disana ada data berdasarkan ethnicity, pendidikan orang tua seperti berapa persen dengan graduate degree, college degree etc, tidak ada data kekayaan/income keluarga tetapi kita bisa memutar sedikit dengan melihat data persentase mereka yg mengambil free lunch ataupun reduce price. Ada juga data nilai standarized test scores seperti math dan english dibandingkan dengan sekolah2 didalam district, state, ataupun nasional. Juga berbagai data yang lain. Pengamatan terbatas saya mendapati sekolah dengan persentase tinggi orang tua mempunyai college degree keatas dan persentase rendah free lunch dan reduce price mempunyai test scores yang lebih tinggi dibandingkan sekolah2 di district itu sendiri, state, ataupun nasional. Hal ini menunjukkan pengaruh jenjang pendidikan orang tua dan kekayaan keluarga berbanding lurus terhadap pendidikan anak2 Melihat adanya cukup banyak anak2 dari keluarga tidak mampu berprestasi dalam pendidikan, saya berpendapat salah satu cara effective memberantas kemiskinan atau meningkatkan pendapatan keluarga dan nasional adalah dengan meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat baik secara kwantitas ataupun kwalitas. ---In GELORA45@yahoogroups.com, <iqbalsantoso@...> wrote : BPPT, Bappenas, dan institusi-institusi lainnya telah memiliki banyak PhD lulusan luar negeri. Belum lagi yang bekerja di universitas dan institut. Mereka pasti telah memiliki pemikiran seperti ini. Tetapi pembangunan negara bersifat multi-dimensi dimana uang dan fasilitas hanya salah satu dari sekian banyak faktor. Sebagai ilustrasi, pindah ke dunia mikro yaitu dunia keluarga. Jika uang adalah solusi dan bisa membeli segalanya, maka anak-anak dari keluarga kaya akan selalu lebih berprestasi (secara pendidikan) daripada anak-anak yang berasal dari keluarga kurang kaya. Kenyataannya kan tidak. Banyak anak miskin yang memiliki prestasi lebih baik daripada anak orang kaya. Mengapa bisa begitu? Dimana masalahnya? Atau pindah ke dunia yang sedikit lebih kompleks yaitu dunia olah-raga. Mengapa jumlah atlit Indonesia yang bisa berprestasi di dunia internasional relatif sedikit? Fasilitasnya kurang? Bagaimana dengan Catur yang tidak memerlukan fasilitas canggih. Di tahun 80an ada PT. Enerpac yang bersedia mengucurkan semua dana yang diperlukan bagi pecatur yang berprestasi. Uang saku diberikan. Ongkos tur ke luar negeri diberikan. Pembinaan dilakukan sejak anak-anak dipimpin oleh Utut Adianto sendiri. Tetapi toh sampai saat ini tidak ada pecatur yang ratingnya bisa melebihi dirinya yang telah pensiun...... ---In gelora45@yahoogroups.com, <bhjo@...> wrote : Seperti yg saya tulis di posting saya 226505. Indonesia harus berani membayar gaji yg. tinggi utk. menarik profesor/dosen LN kelas wahid utk. mengajar di Indonesia. Gaji yg. ditawarkan oleh Indonesia adalah cuma setinggi gaji dari tukang ledeng/plumber di Amerika Utara. Tetapi yg. lebih penting dari gaji utk. profesor kelas wahid adalah harus ada infrastrukter/laboratorium riset yg hebat seperti di Tiongkok yg. lebih baik dari AS. ---In GELORA45@yahoogroups.com, <jonathangoeij@...> wrote : Pada dasarnya dibawah ini cara Tiongkok menarik kembali para orang pintar, gaji yang tinggi setidaknya setara dan fasilitas/dana riset. Indonesia sebenarnya sdh cukup bagus berusaha menarik orang2 pintar, sayangnya umpan yg diberikan terlalu kecil, lha paling yg datang hanya ikan2 kecil. kutipan: Deng yang mendapatkan gelar doktor dari kampus prestisius di Amerika Serikat, Universitas Yale, saat itu merupakan dosen dan peneliti muda di Virginia Polytechnic Institute and State University. Karirnya sangat menjanjikan dengan gaji lebih dari cukup, sekitar US$ 110 ribu atau sekitar Rp 1,5 miliar per tahun. Lebih dari Rp 100 juta per bulan. Amerika Serikat, sudah seperti rumah kedua baginya. Dia sudah 15 tahun tinggal di sana dan merasa nyaman. Tapi delapan bulan setelah Tiangong terbang ke antariksa, Deng berkemas. Setelah memberikan kuliah terakhir, dia segera terbang pulang kembali ke kampung halamannya, Tiongkok. Ada tawaran yang sulit dia tolak : bekerja di kampung halaman dengan gaji hampir sama besar dan tak perlu pusing lagi mencari dana riset. Di kampus barunya, Southern University of Science & Technology (SUSTech) di Shenzhen, China, Deng mendapatkan dana riset 9,5 juta Yuan atau hampir Rp 21 miliar per tahun selama tiga tahun. ---In GELORA45@yahoogroups.com, <j.gedearka@...> wrote : https://x.detik.com/detail/intermeso/20180622/Agar-Para-Jenius-Mau-Pulang-Kampung/index.php https://x.detik.com/detail/intermeso/20180622/Agar-Para-Jenius-Mau-Pulang-Kampung/index.php AGAR SI JENIUS PULANG KAMPUNG “Orang-orang bertanya, mengapa aku pulang kampung. Jawabannya sederhana, aku masih muda dan aku mau mengejar mimpiku” Foto-foto: Getty Images Sabtu 23 Juni 2018 Saat laboratorium antariksa Tiangong-2 terbang ke langit didorong roket Longmarch 2F dari pangkalan peluncuran di tengah Gurun Gobi, China, pada pertengahan September 2016, Deng Weiwei hanya bisa menonton videonya di internet dan mengikuti kabar lewat sosial media. Dia hanya bisa menyimpan iri mendengar kabar beberapa teman sekolahnya dulu terlibat dalam proyek bersejarah bagi tanah air itu. Deng yang mendapatkan gelar doktor dari kampus prestisius di Amerika Serikat, Universitas Yale, saat itu merupakan dosen dan peneliti muda di Virginia Polytechnic Institute and State University. Karirnya sangat menjanjikan dengan gaji lebih dari cukup, sekitar US$ 110 ribu atau sekitar Rp 1,5 miliar per tahun. Lebih dari Rp 100 juta per bulan. Amerika Serikat, sudah seperti rumah kedua baginya. Dia sudah 15 tahun tinggal di sana dan merasa nyaman. Tapi delapan bulan setelah Tiangong terbang ke antariksa, Deng berkemas. Setelah memberikan kuliah terakhir, dia segera terbang pulang kembali ke kampung halamannya, Tiongkok. Ada tawaran yang sulit dia tolak : bekerja di kampung halaman dengan gaji hampir sama besar dan tak perlu pusing lagi mencari dana riset. Di kampus barunya, Southern University of Science & Technology (SUSTech) di Shenzhen, China, Deng mendapatkan dana riset 9,5 juta Yuan atau hampir Rp 21 miliar per tahun selama tiga tahun. Penelitian virus HIV di Shanghai Xuhui District Central Hospital pada Desember 2006 “Selama tiga tahun, aku bisa mengerjakan apa pun yang aku mau, tanpa perlu bersusah-susah membuat proposal penelitian,” kata Deng, dikutip Nature, beberapa waktu lalu. Tak cuma gaji besar dan dana riset berlimpah yang membuat Deng tak ragu pulang kampung. Lingkungan akademis di kampusnya tak beda jauh dengan kampus lamanya di Amerika. Selama tiga tahun, aku bisa mengerjakan apa pun yang aku mau, tanpa perlu bersusah-susah membuat proposal penelitian,” Dia sama sekali tak kekurangan teman diskusi dan peneliti yang punya kemampuan, pengalaman dan pengetahuan yang setara dengannya. Beberapa seniornya di SUSTech juga alumni dari kampus dan lembaga penelitian di Amerika. Bosnya di Departemen Teknik Mesin dan Antariksa, Xiaowen Shan, misalnya, mendapatkan doktor dari Dartmouth College dan lebih dari 20 tahun bekerja di Amerika. Profesor Xiaowen pernah bekerja di Laboratorium Nasional Los Alamos dan Microsoft. Deng Weiwei, Xiaowen Shan, Wang Junfeng, dan ribuan peneliti lain, merupakan bagian dari gelombang besar ilmuwan-ilmuwan China di pelbagai negara yang pulang kampung untuk bekerja di tanah kelahiran mereka. Sebelum pulang ke Tiongkok untuk mengepalai Laboratorium Biomolekuler NMR (Nuclear Magnetic Resonance), Wang Junfeng sempat menjadi peneliti di Sekolah Kedokteran Universitas Harvard. Ada beberapa alumni Harvard yang turut bergabung bersama Wang. Pada Desember 2008, Pemerintah Tiongkok mencanangkan program Thousand Talents Plan. Lewat program ini, Pemerintah China berharap bisa menarik pulang ribuan ilmuwan top dan pengusaha, terutama mereka yang memang lahir di Tiongkok. Selain gaji lumayan besar dan dana riset plus fasilitas penelitian yang setara dengan negara-negara maju, banyak ‘gula-gula’ ditawarkan agar para ilmuwan dan pengusaha yang sudah hidup nyaman di negeri orang, mau pulang ke tanah kelahiran, misalnya kemudahan mendapatkan pekerjaan bagi pasangan mereka dan subsidi sekolah bagi keluarga. Setelah sepuluh tahun program itu berjalan, ribuan ilmuwan asal Tiongkok di perantauan pulang kampung dan kini bekerja di pelbagai kampus dan lembaga riset di China Sekarang China merupakan tempat terbaik untuk memulai laboratoriummu sendiri” Jose Pastor-Pareja, peneliti Universitas Tsinghua Para peneliti di salah satu kampus di China Foto : Xinhua “Mereka yang datang bergabung tak melulu tertarik gaji yang besar. Yang paling penting adalah fasilitas kami….Kami punya fasilitas riset setara, bahkan mungkin lebih baik ketimbang yang ada di Amerika. Itu semua berkat investasi pemerintah selama beberapa tahun terakhir,” Tao Cheng, Direktur State Key Laboratory of Experimental Hematology (SKLEH) di kota Tianjin, menuturkan kepada ScienceMag. Sebelum bergabung di SKLEH, Cheng merupakan peneliti di Sekolah Kedokteran Harvard. Pemerintah China paham betul, bahwa supaya bisa berkompetisi dengan negara-negara maju seperti Amerika dalam segala hal, supaya mesin ekonominya terus melaju kencang, penguasaan sains dan teknologi merupakan kunci utama. Menurut data dari Badan Persatuan Bangsa-bangsa untuk Pendidikan (UNESCO), besar dana riset China kini hanya kalah dari Amerika Serikat. Total dana riset China sebesar US$ 370 miliar atau Rp 5154 triliun dalam setahun, nomor dua setelah Amerika Serikat, US$ 479 miliar atau Rp 6673 triliun setahun. Belanja riset besar-besaran itu tak sia-sia. Menurut majalah sains kondang, Nature, China sudah menempati urutan kedua dalam publikasi ilmiah setelah Amerika Serikat. Dari tahun ke tahun, publikasi ilmiah dari para ilmuwan Negeri Panda ini terus bertambah. “Di antara sepuluh negara teratas, hanya China yang tumbuh dua digit selama periode 2012 hingga 2015,” Nature menulis dalam pernyataannya. Peneliti di laboratorium genetika kedokteran di Central South University, China, pada Juni 2006 Bagi para jenius di dunia penelitian, Amerika, negara-negara Eropa atau Jepang, bukan lagi satu-satunya tempat menarik untuk berkarir. Zhu Xiang, 30 tahun tahun, menolak tawaran bekerja di salah satu lembaga penelitian di Prancis dan memilih pulang ke Tiongkok. “Orang-orang bertanya, mengapa aku pulang kampung. Jawabannya sederhana, aku masih muda dan aku mau mengejar mimpiku,” ujar Xiang dikutip ChinaDaily. Sekarang, bersama beberapa temannya, dia mendirikan perusahaan start-up di bidang medis dan punya jutaan pelanggan. Tak hanya bagi para ilmuwan kelahiran Tiongkok, bagi sebagian peneliti, berkarir di China sekarang kadang lebih menarik ketimbang di Amerika. Jose Pastor Pareja pergi kuliah di Amerika dengan mimpi besar. Tapi setelah mendapatkan pekerjaan di kampus kondang, Universitas Yale, Jose malah berubah pikiran. Dia terbang ke China, meninggalkan Yale dan bergabung dengan Universitas Tsinghua di Beijing pada 2012. Jose seorang biolog dengan spesialisasi biologi sel menggunakan lalat buah. Di Amerika, dana riset untuk bidang itu terus dipangkas. Sebaliknya di China, laboratorium sejenis terus tumbuh. “Sekarang China merupakan tempat terbaik untuk memulai laboratoriummu sendiri,” kata Jose kepada Washington Post beberapa hari lalu. Pada 2016 lalu, pemerintah Tiongkok memperkenalkan sistem pemeringkatan baru bagi warga negara asing yang akan mendapatkan keistimewaan visa untuk tinggal di negeri itu. Bagi pemenang penghargaan Nobel, ilmuwan top kelas dunia, pengusaha sukses atau direktur lembaga seni, pemerintah di Beijing bersedia memberikan visa 'khusus' dengan jangka waktu hingga 10 tahun. Bagi mereka, pintu gerbang 'Tembok Besar China' terbuka lebar. Editor: Sapto Pradityo