Kalau saja pendidikan itu berhasil atau tidak dilihat dari orang
perorang, maka yang lebih menentukan dan utama adalah faktor intern
orang tersebut, kemampuan menangkap apa yang diajarkan dan ketekunan
belajar, ... Sedang pengaruh keluarga dan sekolah hanyalah faktor
ekstern yang memberikan kemungkinan orang tsb. mengembangkan faktor
kejeniusannya lebih baik saja.
Jadi kenyataan ada saja anak-anak yg kurang mampu kecerdasannya, dia
menjadi kewalahan bahkan merasa BERAT mengikuti pelajaran disekolah A,
sebeliknya juga bisa ditemukan ada anak-anak yang justru selalu merasa
terlalu RINGAN pelajarannya disekolah B. Itu terjadi karena anak itu
kemampuan intelegen nya kurang dari rata-rata dan yang lain lebih dari
rata-rata, atau bisa juga terjadi mutu pelajaran disekolah A lebih
tinggi dari sekolah B.
Pernah terjadi perdebatan, untuk membuat peringkat sekolah I, II, III,
untuk lebih baik mengajarkan sesuai tingkat kemampuan intelegen anak2
itu. Tentu ada masalah komersial disitu, untuk meraup uang sekolah lebih
tinggi dan meninggalkan sekolah Negeri. Akhirnya tidak diresmikan adanya
peringkat sekolah, kuatir akan bikin kacau keseimbangan jumlah anak
disekolah dan menjadi BEBAN BERAT bagi orang-tua anak-anak utk
memaksakan diri masukkan anaknya kesekolah peringkat-I, sedang
kemungkinan juga menjadi BEBAN BERAT bagi anaknya sendiri, yang kurang
kemampuan mengikuti pelajaran disekolah yg lebih tinggi dan cepat, ...
Standar penerimaan murid yg dilihat dari nilai-rapor saja yg membedakan
peringkat sekolah.
Lebih 1/2 abad yl, bagaimana Pemerintah Tiongkok menarik masuk mahasiswa
di Univ. yg saya ketahui, disamping melihat nilai rapor anak itu, juga
harus melihat asal klas anak itu. Ketika itu Pemerintah berusaha keras
membantu anak-anak tani-miskin, anak-anak buruh yg sebelum Merdeka
tersisihkan dari sekolah dan anak-anak suku minoritas (bukan suku-Han)
juga mendapatkan prioritas, ... Artinya, anak-anak tani miskin
didesa-desa dan buruh dikota sekalipun sangat MISKIN, tapi mereka yg
lolos tersaring masuk Univ. dengan nilai rapor sekolah terbaik, yang
mempunyai kecerdasan yang heibat, ditambah lagi ketekunan belajar yg
luarbiasa! Mereka mengerti sudah begitu sulit bisa diterima masuk di
Univ. rangking I, dan tidak hendak menyia-nyiakan harapan orang-tua dan
kerabat sekampungnya, ... itulah semangat belajar mengejar
ketertinggalan yang terjadi ketika itu! Nampak beda dengan kebanyakan
mahasiswa-asing yang datang dari berbagai negara, nampak lebih suku
rekreasi, ngobrol, becanda dan jalan-jalan saja. Tentu dengan segala
perkecualian yang ada, seperti mahasiswa dari Korea-Utara dan Vietnam
juga rajin dan tekun belajar, ...
Lalu, setelah Deng jalankan politik "Reformasi dan Keterbukaan" ditahun
1980, terjadi kebablasan dalam berlakukan HUKUM PASAR untuk sekolah!
Artinya, sekolah juga harus menghidupi biaya pengeluaran sekolah, ...
mulai menarik uang-sekolah dan segala kebutuhan praktikum! Berteriaklah
orang-tua murid, ... tidak mampu membiayai anak-anak masuk sekolah!
Protes keras dan ketidak puasan rakyat pada pemerintah memanas, ... lupa
tahun berapa akhirnya dirubah, pemerintah kembali menjamin anak-anak
sekolah, hanya kegiatan tambahan diluar sekolah yg harus bayar sendiri.
Jadi, ... bagi PEMERINTAH yang baik, sudah seharusnya BISA mengucurkan
DANA sebanyak mungkin untuk PENDIDIKAN, meningkatkan SDM, menciptakan
syarat-objektif yang dibutuhkan untuk meningkatkan teknologi dan
penemuan-penemuan baru dalam usaha meningkatkan produksi kebutuhan hidup
manusia, ... Dalam usaha investasi SDM harus mengucurkan DANA lebih
besar untuk usaha peningkatan produksi, bukan sebaliknya lebih
mengutamakan dan mendahulukan AGAMA yg TIDAK produktif!
Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45] 於 27/6/2018 3:48 寫道:
Yang saya ceritakan sebelumnya berdasarkan data yang ada, yang mungkin
berlaku secara umum. Pengamatan terbatas yg saya lakukan pada public
schools, juga kriteria mampu/kayanya simple saja berdasarkan program
free lunch atau reduce price. Maksud saya walaupun sekolah itu
mempunyai keluarga2 yg tidak eligile for free lunch ataupun reduce
price karena income-nya melewati limit, tetapi bukan kaya2 amat
seperti billiuner/milliuner.
Saya rasa anak2 dari keluarga yang berpendidikan tinggi mempunyai
kecenderungan juga mencapai pendidikan tinggi bahkan mungkin lebih
lagi, hal ini saya rasa karena keluarga itu mempunyai kesadaran
pentingnya pendidikan, anak2 melihat orang tuanya sebagai contoh dan
menjadi faktor pendorong motivasi sehingga berusaha sesedikitnya sama
dgn orang tuanya bahkan kalau bisa lebih tinggi lagi. Keluarga itu
umumnya memprioritaskan sekolah sebagai yg utama sedang yg lain nomer
dua, contoh sederhana misalnya membuat habit anak2 bikin PR dulu dan
menyelesaikan semua tugas sekolah sebelum mengijinkan mereka bermain
diluar.
Pendidikan memerlukan biaya yang mungkin tidak sedikit, biarpun
pengamatan terbatas saya pada public school yg free (dan juga datanya
tersedia), tetapi bukan berarti kekayaan/dana tidak mempunyai
pengaruh. Contoh sederhana kegiatan ekstra kurikuler sebagai penunjang
yg dengan mudah bisa diikuti, bimbingan belajar, SAT preparation,
sekolah music, dan masih banyak lagi.
Nah disini seandainya keadaan seperti ini berlanjut terus maka akan
seperti kasta, mereka yg pada kasta miskin dan bodoh ya tetap miskin
dan bodoh, sementara yg kaya dan pintar akan semakin kaya dan pintar.
Diperlukan suatu tindakan dari luar untuk merubah situasi, tentunya
bukan berarti mereka yg kaya dan pintar dijadikan miskin dan bodoh,
tetapi mengangkat mereka yang miskin dan bodoh menjadi pintar yg pada
akhirnya menjadi kaya juga. Dan pada gilirannya tentu negara juga
menjadi makmur, income percapita bertambah, GDP bertambah, penghasilan
pajak juga bertambah.
On Tuesday, June 26, 2018, 11:52:28 AM PDT, iqbalsant...@yahoo.com.au
[GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com> wrote:
Pepatah mengatakan untuk bisa berbahagia diperlukan uang, tetapi uang
tidak menjamin kebahagiaan.
Demikian juga dengan pendidikan. Untuk mendapatkan pendidikan yang
baik seseorang memerlukan uang, tetapi orang yang memiliki lebih
banyak uang
tidak berarti akan lebih berprestasi daripada yang kurang banyak uangnya.
Kalau tidak seperti itu, ranking prestasi sekolah anak-anak yang ada
di daftar orang terkaya dunia akan kurang lebih sama dengan ranking
orang-tua mereka.
Mengapa? Karena prestasi pendidikan dan kekayaan tidak berbanding
lurus. Ada suatu titik dimana bertambahnya kekayaan tidak memiliki
efek apa-apa lagi terhadap prestasi pendidikan. Dimana letak titik ini
sifatnya relatif.
Uang sangat diperlukan untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Tetapi
uang adalah satu dari sekian banyak faktor. Ini yang menyebabkan
kekayaan dan prestasi pendidikan tidak berbanding lurus.
---In gelora45@yahoogroups.com, <jonathangoeij@...> wrote :
Tidak perlu disangkal ada cukup banyak anak2 dari keluarga kurang
mampu yang prestasi pendidikannya lebih bagus dari anak2 orang kaya,
tetapi terus terang saja hal seperti itu lebih merupakan perkecualian
daripada norma. Antara pendidikan dan kekayaan mempunyai perbandingan
lurus, data statistik menunjukkan mereka yang berpendidikan lebih
tinggi juga mempunyai income/kekayaan yang lebih tinggi juga. Data
seperti ini bisa didapat dengan mudah di internet dari berbagai macam
survey ataupun bahkan census. Ada memang yg berpendidikan rendah
menjadi kaya bahkan superkaya seperti Liem Sioe Liong misalnya tetapi
hal seperti ini bersifat exception, 1 diantara sekian juta. Demikian
juga kekayaan keluarga berbanding lurus dengan pendidikan anak2nya.
Saya melakukan pengamatan terbatas sekolah2 disekitar tempat saya, di
US sini kita bisa dengan gampang melihat data setiap sekolah bahkan
demographic sekalipun. Disana ada data berdasarkan ethnicity,
pendidikan orang tua seperti berapa persen dengan graduate degree,
college degree etc, tidak ada data kekayaan/income keluarga tetapi
kita bisa memutar sedikit dengan melihat data persentase mereka yg
mengambil free lunch ataupun reduce price. Ada juga data nilai
standarized test scores seperti math dan english dibandingkan dengan
sekolah2 didalam district, state, ataupun nasional. Juga berbagai data
yang lain.
Pengamatan terbatas saya mendapati sekolah dengan persentase tinggi
orang tua mempunyai college degree keatas dan persentase rendah free
lunch dan reduce price mempunyai test scores yang lebih tinggi
dibandingkan sekolah2 di district itu sendiri, state, ataupun
nasional. Hal ini menunjukkan pengaruh jenjang pendidikan orang tua
dan kekayaan keluarga berbanding lurus terhadap pendidikan anak2
Melihat adanya cukup banyak anak2 dari keluarga tidak mampu
berprestasi dalam pendidikan, saya berpendapat salah satu cara
effective memberantas kemiskinan atau meningkatkan pendapatan keluarga
dan nasional adalah dengan meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat
baik secara kwantitas ataupun kwalitas.
---In GELORA45@yahoogroups.com, <iqbalsantoso@...> wrote :
BPPT, Bappenas, dan institusi-institusi lainnya telah memiliki banyak
PhD lulusan luar negeri. Belum lagi yang bekerja di universitas dan
institut. Mereka pasti telah memiliki pemikiran seperti ini.
Tetapi pembangunan negara bersifat multi-dimensi dimana uang dan
fasilitas hanya salah satu dari sekian banyak faktor.
Sebagai ilustrasi, pindah ke dunia mikro yaitu dunia keluarga. Jika
uang adalah solusi dan bisa membeli segalanya, maka anak-anak dari
keluarga kaya akan selalu lebih berprestasi (secara pendidikan)
daripada anak-anak yang berasal dari keluarga kurang kaya.
Kenyataannya kan tidak. Banyak anak miskin yang memiliki prestasi
lebih baik daripada anak orang kaya. Mengapa bisa begitu? Dimana
masalahnya?
Atau pindah ke dunia yang sedikit lebih kompleks yaitu dunia
olah-raga. Mengapa jumlah atlit Indonesia yang bisa berprestasi di
dunia internasional relatif sedikit?
Fasilitasnya kurang? Bagaimana dengan Catur yang tidak memerlukan
fasilitas canggih. Di tahun 80an ada PT. Enerpac yang bersedia
mengucurkan semua dana yang diperlukan bagi pecatur yang berprestasi.
Uang saku diberikan. Ongkos tur ke luar negeri diberikan. Pembinaan
dilakukan sejak anak-anak dipimpin oleh Utut Adianto sendiri. Tetapi
toh sampai saat ini tidak ada pecatur yang ratingnya bisa melebihi
dirinya yang telah pensiun......
---In gelora45@yahoogroups.com, <bhjo@...> wrote :
Seperti yg saya tulis di posting saya 226505. Indonesia harus berani
membayar gaji yg. tinggi utk. menarik profesor/dosen LN
kelas wahid utk. mengajar di Indonesia. Gaji yg. ditawarkan oleh
Indonesia adalah cuma setinggi
gaji dari tukang ledeng/plumber di Amerika Utara. Tetapi yg. lebih
penting dari gaji utk. profesor kelas
wahid adalah harus ada infrastrukter/laboratorium riset yg hebat
seperti di Tiongkok yg. lebih baik dari
AS.
---In GELORA45@yahoogroups.com, <jonathangoeij@...> wrote :
Pada dasarnya dibawah ini cara Tiongkok menarik kembali para orang
pintar, gaji yang tinggi setidaknya setara dan fasilitas/dana riset.
Indonesia sebenarnya sdh cukup bagus berusaha menarik orang2 pintar,
sayangnya umpan yg diberikan terlalu kecil, lha paling yg datang hanya
ikan2 kecil.
kutipan:
Deng yang mendapatkan gelar doktor dari kampus prestisius di Amerika
Serikat, Universitas Yale, saat itu merupakan dosen dan peneliti muda
di Virginia Polytechnic Institute and State University. Karirnya
sangat menjanjikan dengan gaji lebih dari cukup, sekitar US$ 110 ribu
atau sekitar Rp 1,5 miliar per tahun. Lebih dari Rp 100 juta per
bulan. Amerika Serikat, sudah seperti rumah kedua baginya. Dia sudah
15 tahun tinggal di sana dan merasa nyaman.
Tapi delapan bulan setelah Tiangong terbang ke antariksa, Deng
berkemas. Setelah memberikan kuliah terakhir, dia segera terbang
pulang kembali ke kampung halamannya, Tiongkok. Ada tawaran yang sulit
dia tolak : bekerja di kampung halaman dengan gaji hampir sama besar
dan tak perlu pusing lagi mencari dana riset. Di kampus barunya,
Southern University of Science & Technology (SUSTech) di Shenzhen,
China, Deng mendapatkan dana riset 9,5 juta Yuan atau hampir Rp 21
miliar per tahun selama tiga tahun.
---In GELORA45@yahoogroups.com, <j.gedearka@...> wrote :
https://x.detik.com/detail/intermeso/20180622/Agar-Para-Jenius-Mau-Pulang-Kampung/index.php
AGAR SI JENIUS PULANG KAMPUNG
“Orang-orang bertanya, mengapa aku pulang kampung. Jawabannya
sederhana, aku masih muda dan aku mau mengejar mimpiku”
Foto-foto: Getty Images
Sabtu 23 Juni 2018
Saat laboratorium antariksa Tiangong-2 terbang ke langit didorong
roket Longmarch 2F dari pangkalan peluncuran di tengah Gurun Gobi,
China, pada pertengahan September 2016, Deng Weiwei hanya bisa
menonton videonya di internet dan mengikuti kabar lewat sosial media.
Dia hanya bisa menyimpan iri mendengar kabar beberapa teman sekolahnya
dulu terlibat dalam proyek bersejarah bagi tanah air itu.
Deng yang mendapatkan gelar doktor dari kampus prestisius di Amerika
Serikat, Universitas Yale, saat itu merupakan dosen dan peneliti muda
di Virginia Polytechnic Institute and State University. Karirnya
sangat menjanjikan dengan gaji lebih dari cukup, sekitar US$ 110 ribu
atau sekitar Rp 1,5 miliar per tahun. Lebih dari Rp 100 juta per
bulan. Amerika Serikat, sudah seperti rumah kedua baginya. Dia sudah
15 tahun tinggal di sana dan merasa nyaman.
Tapi delapan bulan setelah Tiangong terbang ke antariksa, Deng
berkemas. Setelah memberikan kuliah terakhir, dia segera terbang
pulang kembali ke kampung halamannya, Tiongkok. Ada tawaran yang sulit
dia tolak : bekerja di kampung halaman dengan gaji hampir sama besar
dan tak perlu pusing lagi mencari dana riset. Di kampus barunya,
Southern University of Science & Technology (SUSTech) di Shenzhen,
China, Deng mendapatkan dana riset 9,5 juta Yuan atau hampir Rp 21
miliar per tahun selama tiga tahun.
Penelitian virus HIV di Shanghai Xuhui District Central Hospital pada
Desember 2006
“Selama tiga tahun, aku bisa mengerjakan apa pun yang aku mau, tanpa
perlu bersusah-susah membuat proposal penelitian,” kata Deng, dikutip
Nature, beberapa waktu lalu. Tak cuma gaji besar dan dana riset
berlimpah yang membuat Deng tak ragu pulang kampung. Lingkungan
akademis di kampusnya tak beda jauh dengan kampus lamanya di Amerika.
Selama tiga tahun, aku bisa mengerjakan apa
pun yang aku mau, tanpa perlu bersusah-susah
membuat proposal penelitian,”
Dia sama sekali tak kekurangan teman diskusi dan
peneliti yang punya kemampuan, pengalaman dan
pengetahuan yang setara dengannya. Beberapa
seniornya di SUSTech juga alumni dari kampus dan
lembaga penelitian di Amerika. Bosnya di
Departemen Teknik Mesin dan Antariksa, Xiaowen
Shan, misalnya, mendapatkan doktor dari Dartmouth
College dan lebih dari 20 tahun bekerja di
Amerika. Profesor Xiaowen pernah bekerja di
Laboratorium Nasional Los Alamos dan Microsoft.
Deng Weiwei, Xiaowen Shan, Wang Junfeng, dan
ribuan peneliti lain, merupakan bagian dari
gelombang besar ilmuwan-ilmuwan China di pelbagai
negara yang pulang kampung untuk bekerja di tanah
kelahiran mereka. Sebelum pulang ke Tiongkok untuk
mengepalai Laboratorium Biomolekuler NMR (Nuclear
Magnetic Resonance), Wang Junfeng sempat menjadi
peneliti di Sekolah Kedokteran Universitas
Harvard. Ada beberapa alumni Harvard yang turut
bergabung bersama Wang.
Pada Desember 2008, Pemerintah Tiongkok
mencanangkan program Thousand Talents Plan. Lewat
program ini, Pemerintah China berharap bisa
menarik pulang ribuan ilmuwan top dan pengusaha,
terutama mereka yang memang lahir di Tiongkok.
Selain gaji lumayan besar dan dana riset plus
fasilitas penelitian yang setara dengan
negara-negara maju, banyak ‘gula-gula’ ditawarkan
agar para ilmuwan dan pengusaha yang sudah hidup
nyaman di negeri orang, mau pulang ke tanah
kelahiran, misalnya kemudahan mendapatkan
pekerjaan bagi pasangan mereka dan subsidi sekolah
bagi keluarga. Setelah sepuluh tahun program itu
berjalan, ribuan ilmuwan asal Tiongkok di
perantauan pulang kampung dan kini bekerja di
pelbagai kampus dan lembaga riset di China
Sekarang China merupakan tempat terbaik untuk memulai laboratoriummu
sendiri”
Jose Pastor-Pareja, peneliti Universitas Tsinghua
Para peneliti di salah satu kampus di China
*Foto : Xinhua*
“Mereka yang datang bergabung tak melulu tertarik gaji yang besar.
Yang paling penting adalah fasilitas kami….Kami punya fasilitas riset
setara, bahkan mungkin lebih baik ketimbang yang ada di Amerika. Itu
semua berkat investasi pemerintah selama beberapa tahun terakhir,” Tao
Cheng, Direktur State Key Laboratory of Experimental Hematology
(SKLEH) di kota Tianjin, menuturkan kepada ScienceMag. Sebelum
bergabung di SKLEH, Cheng merupakan peneliti di Sekolah Kedokteran
Harvard.
Pemerintah China paham betul, bahwa supaya bisa berkompetisi dengan
negara-negara maju seperti Amerika dalam segala hal, supaya mesin
ekonominya terus melaju kencang, penguasaan sains dan teknologi
merupakan kunci utama. Menurut data dari Badan Persatuan Bangsa-bangsa
untuk Pendidikan (UNESCO), besar dana riset China kini hanya kalah
dari Amerika Serikat. Total dana riset China sebesar US$ 370 miliar
atau Rp 5154 triliun dalam setahun, nomor dua setelah Amerika Serikat,
US$ 479 miliar atau Rp 6673 triliun setahun.
Belanja riset besar-besaran itu tak sia-sia. Menurut majalah sains
kondang, Nature, China sudah menempati urutan kedua dalam publikasi
ilmiah setelah Amerika Serikat. Dari tahun ke tahun, publikasi ilmiah
dari para ilmuwan Negeri Panda ini terus bertambah. “Di antara sepuluh
negara teratas, hanya China yang tumbuh dua digit selama periode 2012
hingga 2015,” Nature menulis dalam pernyataannya.
Peneliti di laboratorium genetika kedokteran di Central South
University, China, pada Juni 2006
Bagi para jenius di dunia penelitian, Amerika, negara-negara Eropa
atau Jepang, bukan lagi satu-satunya tempat menarik untuk berkarir.
Zhu Xiang, 30 tahun tahun, menolak tawaran bekerja di salah satu
lembaga penelitian di Prancis dan memilih pulang ke Tiongkok.
“Orang-orang bertanya, mengapa aku pulang kampung. Jawabannya
sederhana, aku masih muda dan aku mau mengejar mimpiku,” ujar Xiang
dikutip ChinaDaily. Sekarang, bersama beberapa temannya, dia
mendirikan perusahaan start-up di bidang medis dan punya jutaan pelanggan.
Tak hanya bagi para ilmuwan kelahiran Tiongkok, bagi sebagian
peneliti, berkarir di China sekarang kadang lebih menarik ketimbang di
Amerika. Jose Pastor Pareja pergi kuliah di Amerika dengan mimpi
besar.. Tapi setelah mendapatkan pekerjaan di kampus kondang,
Universitas Yale, Jose malah berubah pikiran. Dia terbang ke China,
meninggalkan Yale dan bergabung dengan Universitas Tsinghua di Beijing
pada 2012.
Jose seorang biolog dengan spesialisasi biologi sel menggunakan lalat
buah. Di Amerika, dana riset untuk bidang itu terus dipangkas.
Sebaliknya di China, laboratorium sejenis terus tumbuh. “Sekarang
China merupakan tempat terbaik untuk memulai laboratoriummu sendiri,”
kata Jose kepada Washington Post beberapa hari lalu.
Pada 2016 lalu, pemerintah Tiongkok memperkenalkan sistem
pemeringkatan baru bagi warga negara asing yang akan mendapatkan
keistimewaan visa untuk tinggal di negeri itu. Bagi pemenang
penghargaan Nobel, ilmuwan top kelas dunia, pengusaha sukses atau
direktur lembaga seni, pemerintah di Beijing bersedia memberikan visa
'khusus' dengan jangka waktu hingga 10 tahun. Bagi mereka, pintu
gerbang 'Tembok Besar China' terbuka lebar.
------------------------------------------------------------------------
*Editor:* Sapto Pradityo
---
此電子郵件已由 AVG 檢查病毒。
http://www.avg.com