Yang saya ceritakan sebelumnya berdasarkan data yang ada, yang mungkin berlaku 
secara umum. Pengamatan terbatas yg saya lakukan pada public schools, juga 
kriteria mampu/kayanya simple saja berdasarkan program free lunch atau reduce 
price. Maksud saya walaupun sekolah itu mempunyai keluarga2 yg tidak eligile 
for free lunch ataupun reduce price karena income-nya melewati limit, tetapi 
bukan kaya2 amat seperti billiuner/milliuner.
Saya rasa anak2 dari keluarga yang berpendidikan tinggi mempunyai kecenderungan 
juga mencapai pendidikan tinggi bahkan mungkin lebih lagi, hal ini saya rasa 
karena keluarga itu mempunyai kesadaran pentingnya pendidikan, anak2 melihat 
orang tuanya sebagai contoh dan menjadi faktor pendorong motivasi sehingga 
berusaha sesedikitnya sama dgn orang tuanya bahkan kalau bisa lebih tinggi 
lagi. Keluarga itu umumnya memprioritaskan sekolah sebagai yg utama sedang yg 
lain nomer dua, contoh sederhana misalnya membuat habit anak2 bikin PR dulu dan 
menyelesaikan semua tugas sekolah sebelum mengijinkan mereka bermain diluar.
Pendidikan memerlukan biaya yang mungkin tidak sedikit, biarpun pengamatan 
terbatas saya pada public school yg free (dan juga datanya tersedia), tetapi 
bukan berarti kekayaan/dana tidak mempunyai pengaruh. Contoh sederhana kegiatan 
ekstra kurikuler sebagai penunjang yg dengan mudah bisa diikuti, bimbingan 
belajar, SAT preparation, sekolah music, dan masih banyak lagi.
Nah disini seandainya keadaan seperti ini berlanjut terus maka akan seperti 
kasta, mereka yg pada kasta miskin dan bodoh ya tetap miskin dan bodoh, 
sementara yg kaya dan pintar akan semakin kaya dan pintar. 
Diperlukan suatu tindakan dari luar untuk merubah situasi, tentunya bukan 
berarti mereka yg kaya dan pintar dijadikan miskin dan bodoh, tetapi mengangkat 
mereka yang miskin dan bodoh menjadi pintar yg pada akhirnya menjadi kaya juga. 
Dan pada gilirannya tentu negara juga menjadi makmur, income percapita 
bertambah, GDP bertambah, penghasilan pajak juga bertambah.


    On Tuesday, June 26, 2018, 11:52:28 AM PDT, iqbalsant...@yahoo.com.au 
[GELORA45] <GELORA45@yahoogroups.com> wrote:  
 
 
Pepatah mengatakan untuk bisa berbahagia diperlukan uang, tetapi uang tidak 
menjamin kebahagiaan.
Demikian juga dengan pendidikan. Untuk mendapatkan pendidikan yang baik 
seseorang memerlukan uang, tetapi orang yang memiliki lebih banyak uang tidak 
berarti akan lebih berprestasi daripada yang kurang banyak uangnya.

Kalau tidak seperti itu, ranking prestasi sekolah anak-anak yang ada di daftar 
orang terkaya dunia akan kurang lebih sama dengan ranking orang-tua mereka.
Mengapa? Karena prestasi pendidikan dan kekayaan tidak berbanding lurus. Ada 
suatu titik dimana bertambahnya kekayaan tidak memiliki efek apa-apa lagi 
terhadap prestasi pendidikan. Dimana letak titik ini sifatnya relatif.
Uang sangat diperlukan untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Tetapi uang 
adalah satu dari sekian banyak faktor. Ini yang menyebabkan kekayaan dan 
prestasi pendidikan tidak berbanding lurus.




---In gelora45@yahoogroups.com, <jonathangoeij@...> wrote :

Tidak perlu disangkal ada cukup banyak anak2 dari keluarga kurang mampu yang 
prestasi pendidikannya lebih bagus dari anak2 orang kaya, tetapi terus terang 
saja hal seperti itu lebih merupakan perkecualian daripada norma. Antara 
pendidikan dan kekayaan mempunyai perbandingan lurus, data statistik 
menunjukkan mereka yang berpendidikan lebih tinggi juga mempunyai 
income/kekayaan yang lebih tinggi juga. Data seperti ini bisa didapat dengan 
mudah di internet dari berbagai macam survey ataupun bahkan census. Ada memang 
yg berpendidikan rendah menjadi kaya bahkan superkaya seperti Liem Sioe Liong 
misalnya tetapi hal seperti ini bersifat exception, 1 diantara sekian juta. 
Demikian juga kekayaan keluarga berbanding lurus dengan pendidikan anak2nya.
Saya melakukan pengamatan terbatas sekolah2 disekitar tempat saya, di US sini 
kita bisa dengan gampang melihat data setiap sekolah bahkan demographic 
sekalipun. Disana ada data berdasarkan ethnicity, pendidikan orang tua seperti 
berapa persen dengan graduate degree, college degree etc, tidak ada data 
kekayaan/income keluarga tetapi kita bisa memutar sedikit dengan melihat data 
persentase mereka yg mengambil free lunch ataupun reduce price. Ada juga data 
nilai standarized test scores seperti math dan english dibandingkan dengan 
sekolah2 didalam district, state, ataupun nasional. Juga berbagai data yang 
lain.
Pengamatan terbatas saya mendapati sekolah dengan persentase tinggi orang tua 
mempunyai college degree keatas dan persentase rendah free lunch dan reduce 
price mempunyai test scores yang lebih tinggi dibandingkan sekolah2 di district 
itu sendiri, state, ataupun nasional. Hal ini menunjukkan pengaruh jenjang 
pendidikan orang tua dan kekayaan keluarga berbanding lurus terhadap pendidikan 
anak2
Melihat adanya cukup banyak anak2 dari keluarga tidak mampu berprestasi dalam 
pendidikan, saya berpendapat salah satu cara effective memberantas kemiskinan 
atau meningkatkan pendapatan keluarga dan nasional adalah dengan meningkatkan 
tingkat pendidikan masyarakat baik secara kwantitas ataupun kwalitas. 

---In GELORA45@yahoogroups.com, <iqbalsantoso@...> wrote :


BPPT, Bappenas, dan institusi-institusi lainnya telah memiliki banyak PhD 
lulusan luar negeri. Belum lagi yang bekerja di universitas dan institut. 
Mereka pasti telah memiliki pemikiran seperti ini.
Tetapi pembangunan negara bersifat multi-dimensi dimana uang dan fasilitas 
hanya salah satu dari sekian banyak faktor.
Sebagai ilustrasi, pindah ke dunia mikro yaitu dunia keluarga. Jika uang adalah 
solusi dan bisa membeli segalanya, maka anak-anak dari keluarga kaya akan 
selalu lebih berprestasi (secara pendidikan) daripada anak-anak yang berasal 
dari keluarga kurang kaya.
Kenyataannya kan tidak. Banyak anak miskin yang memiliki prestasi lebih baik 
daripada anak orang kaya. Mengapa bisa begitu? Dimana masalahnya?
Atau pindah ke dunia yang sedikit lebih kompleks yaitu dunia olah-raga. Mengapa 
jumlah atlit Indonesia yang bisa berprestasi di dunia internasional relatif 
sedikit?
Fasilitasnya kurang? Bagaimana dengan Catur yang tidak memerlukan fasilitas 
canggih. Di tahun 80an ada PT. Enerpac yang bersedia mengucurkan semua dana 
yang diperlukan bagi pecatur yang berprestasi. Uang saku diberikan. Ongkos tur 
ke luar negeri diberikan. Pembinaan dilakukan sejak anak-anak dipimpin oleh 
Utut Adianto sendiri. Tetapi toh sampai saat ini tidak ada pecatur yang 
ratingnya bisa melebihi dirinya yang telah pensiun......




---In gelora45@yahoogroups.com, <bhjo@...> wrote :

Seperti yg saya tulis di posting saya 226505. Indonesia harus berani membayar 
gaji yg. tinggi utk. menarik profesor/dosen LNkelas wahid utk. mengajar di 
Indonesia. Gaji yg. ditawarkan oleh Indonesia adalah cuma setinggigaji dari 
tukang ledeng/plumber di Amerika Utara. Tetapi yg. lebih penting dari gaji utk. 
profesor kelas wahid adalah harus ada infrastrukter/laboratorium riset yg hebat 
seperti di Tiongkok yg. lebih baik dari AS. 

---In GELORA45@yahoogroups.com, <jonathangoeij@...> wrote :

Pada dasarnya dibawah ini cara Tiongkok menarik kembali para orang pintar, gaji 
yang tinggi setidaknya setara dan fasilitas/dana riset. Indonesia sebenarnya 
sdh cukup bagus berusaha menarik orang2 pintar, sayangnya umpan yg diberikan 
terlalu kecil, lha paling yg datang hanya ikan2 kecil.
kutipan:
Deng yang mendapatkan gelar doktor dari kampus prestisius di Amerika Serikat, 
Universitas Yale, saat itu merupakan dosen dan peneliti muda di Virginia 
Polytechnic Institute and State University. Karirnya sangat menjanjikan dengan 
gaji lebih dari cukup, sekitar US$ 110 ribu atau sekitar Rp 1,5 miliar per 
tahun. Lebih dari Rp 100 juta per bulan. Amerika Serikat, sudah seperti rumah 
kedua baginya. Dia sudah 15 tahun tinggal di sana dan merasa nyaman.

Tapi delapan bulan setelah Tiangong terbang ke antariksa, Deng berkemas. 
Setelah memberikan kuliah terakhir, dia segera terbang pulang kembali ke 
kampung halamannya, Tiongkok. Ada tawaran yang sulit dia tolak : bekerja di 
kampung halaman dengan gaji hampir sama besar dan tak perlu pusing lagi mencari 
dana riset. Di kampus barunya, Southern University of Science & Technology 
(SUSTech) di Shenzhen, China, Deng mendapatkan dana riset 9,5 juta Yuan atau 
hampir Rp 21 miliar per tahun selama tiga tahun. 


---In GELORA45@yahoogroups.com, <j.gedearka@...> wrote :








https://x.detik.com/detail/intermeso/20180622/Agar-Para-Jenius-Mau-Pulang-Kampung/index.php


AGAR SI JENIUS PULANG KAMPUNG

“Orang-orang bertanya, mengapa aku pulang kampung. Jawabannya sederhana, aku 
masih muda dan aku mau mengejar mimpiku”

Foto-foto: Getty Images
Sabtu 23 Juni 2018
Saat laboratorium antariksa Tiangong-2 terbang ke langit didorong roket 
Longmarch 2F dari pangkalan peluncuran di tengah Gurun Gobi, China, pada 
pertengahan September 2016, Deng Weiwei hanya bisa menonton videonya di 
internet dan mengikuti kabar lewat sosial media. Dia hanya bisa menyimpan iri 
mendengar kabar beberapa teman sekolahnya dulu terlibat dalam proyek bersejarah 
bagi tanah air itu.

Deng yang mendapatkan gelar doktor dari kampus prestisius di Amerika Serikat, 
Universitas Yale, saat itu merupakan dosen dan peneliti muda di Virginia 
Polytechnic Institute and State University. Karirnya sangat menjanjikan dengan 
gaji lebih dari cukup, sekitar US$ 110 ribu atau sekitar Rp 1,5 miliar per 
tahun. Lebih dari Rp 100 juta per bulan. Amerika Serikat, sudah seperti rumah 
kedua baginya. Dia sudah 15 tahun tinggal di sana dan merasa nyaman..

Tapi delapan bulan setelah Tiangong terbang ke antariksa, Deng berkemas. 
Setelah memberikan kuliah terakhir, dia segera terbang pulang kembali ke 
kampung halamannya, Tiongkok. Ada tawaran yang sulit dia tolak : bekerja di 
kampung halaman dengan gaji hampir sama besar dan tak perlu pusing lagi mencari 
dana riset. Di kampus barunya, Southern University of Science & Technology 
(SUSTech) di Shenzhen, China, Deng mendapatkan dana riset 9,5 juta Yuan atau 
hampir Rp 21 miliar per tahun selama tiga tahun. 


Penelitian virus HIV di Shanghai Xuhui District Central Hospital pada Desember 
2006



“Selama tiga tahun, aku bisa mengerjakan apa pun yang aku mau, tanpa perlu 
bersusah-susah membuat proposal penelitian,” kata Deng, dikutip Nature, 
beberapa waktu lalu. Tak cuma gaji besar dan dana riset berlimpah yang membuat 
Deng tak ragu pulang kampung. Lingkungan akademis di kampusnya tak beda jauh 
dengan kampus lamanya di Amerika.

 




Selama tiga tahun, aku bisa mengerjakan apa pun yang aku mau, tanpa perlu 
bersusah-susah membuat proposal penelitian,”

Dia sama sekali tak kekurangan teman diskusi dan peneliti yang punya kemampuan, 
pengalaman dan pengetahuan yang setara dengannya. Beberapa seniornya di SUSTech 
juga alumni dari kampus dan lembaga penelitian di Amerika. Bosnya di Departemen 
Teknik Mesin dan Antariksa, Xiaowen Shan, misalnya, mendapatkan doktor dari 
Dartmouth College dan lebih dari 20 tahun bekerja di Amerika. Profesor Xiaowen 
pernah bekerja di Laboratorium Nasional Los Alamos dan Microsoft.

Deng Weiwei, Xiaowen Shan, Wang Junfeng, dan ribuan peneliti lain, merupakan 
bagian dari gelombang besar ilmuwan-ilmuwan China di pelbagai negara yang 
pulang kampung untuk bekerja di tanah kelahiran mereka. Sebelum pulang ke 
Tiongkok untuk mengepalai Laboratorium Biomolekuler NMR (Nuclear Magnetic 
Resonance), Wang Junfeng sempat menjadi peneliti di Sekolah Kedokteran 
Universitas Harvard. Ada beberapa alumni Harvard yang turut bergabung bersama 
Wang.

Pada Desember 2008, Pemerintah Tiongkok mencanangkan program Thousand Talents 
Plan. Lewat program ini, Pemerintah China berharap bisa menarik pulang ribuan 
ilmuwan top dan pengusaha, terutama mereka yang memang lahir di Tiongkok. 
Selain gaji lumayan besar dan dana riset plus fasilitas penelitian yang setara 
dengan negara-negara maju, banyak ‘gula-gula’ ditawarkan agar para ilmuwan dan 
pengusaha yang sudah hidup nyaman di negeri orang, mau pulang ke tanah 
kelahiran, misalnya kemudahan mendapatkan pekerjaan bagi pasangan mereka dan 
subsidi sekolah bagi keluarga. Setelah sepuluh tahun program itu berjalan, 
ribuan ilmuwan asal Tiongkok di perantauan pulang kampung dan kini bekerja di 
pelbagai kampus dan lembaga riset di China






Sekarang China merupakan tempat terbaik untuk memulai laboratoriummu sendiri”
Jose Pastor-Pareja, peneliti Universitas Tsinghua
Para peneliti di salah satu kampus di China
Foto : Xinhua

“Mereka yang datang bergabung tak melulu tertarik gaji yang besar. Yang paling 
penting adalah fasilitas kami….Kami punya fasilitas riset setara, bahkan 
mungkin lebih baik ketimbang yang ada di Amerika. Itu semua berkat investasi 
pemerintah selama beberapa tahun terakhir,” Tao Cheng, Direktur State Key 
Laboratory of Experimental Hematology (SKLEH) di kota Tianjin, menuturkan 
kepada ScienceMag. Sebelum bergabung di SKLEH, Cheng merupakan peneliti di 
Sekolah Kedokteran Harvard.

Pemerintah China paham betul, bahwa supaya bisa berkompetisi dengan 
negara-negara maju seperti Amerika dalam segala hal, supaya mesin ekonominya 
terus melaju kencang, penguasaan sains dan teknologi merupakan kunci utama. 
Menurut data dari Badan Persatuan Bangsa-bangsa untuk Pendidikan (UNESCO), 
besar dana riset China kini hanya kalah dari Amerika Serikat. Total dana riset 
China sebesar US$ 370 miliar atau Rp 5154 triliun dalam setahun, nomor dua 
setelah Amerika Serikat, US$ 479 miliar atau Rp 6673 triliun setahun.

Belanja riset besar-besaran itu tak sia-sia. Menurut majalah sains kondang, 
Nature, China sudah menempati urutan kedua dalam publikasi ilmiah setelah 
Amerika Serikat. Dari tahun ke tahun, publikasi ilmiah dari para ilmuwan Negeri 
Panda ini terus bertambah. “Di antara sepuluh negara teratas, hanya China yang 
tumbuh dua digit selama periode 2012 hingga 2015,” Nature menulis dalam 
pernyataannya.

Peneliti di laboratorium genetika kedokteran di Central South University, 
China, pada Juni 2006


Bagi para jenius di dunia penelitian, Amerika, negara-negara Eropa atau Jepang, 
bukan lagi satu-satunya tempat menarik untuk berkarir. Zhu Xiang, 30 tahun 
tahun, menolak tawaran bekerja di salah satu lembaga penelitian di Prancis dan 
memilih pulang ke Tiongkok. “Orang-orang bertanya, mengapa aku pulang kampung. 
Jawabannya sederhana, aku masih muda dan aku mau mengejar mimpiku,” ujar Xiang 
dikutip ChinaDaily. Sekarang, bersama beberapa temannya, dia mendirikan 
perusahaan start-up di bidang medis dan punya jutaan pelanggan.

Tak hanya bagi para ilmuwan kelahiran Tiongkok, bagi sebagian peneliti, 
berkarir di China sekarang kadang lebih menarik ketimbang di Amerika. Jose 
Pastor Pareja pergi kuliah di Amerika dengan mimpi besar. Tapi setelah 
mendapatkan pekerjaan di kampus kondang, Universitas Yale, Jose malah berubah 
pikiran. Dia terbang ke China, meninggalkan Yale dan bergabung dengan 
Universitas Tsinghua di Beijing pada 2012.

Jose seorang biolog dengan spesialisasi biologi sel menggunakan lalat buah. Di 
Amerika, dana riset untuk bidang itu terus dipangkas. Sebaliknya di China, 
laboratorium sejenis terus tumbuh. “Sekarang China merupakan tempat terbaik 
untuk memulai laboratoriummu sendiri,” kata Jose kepada Washington Post 
beberapa hari lalu.

Pada 2016 lalu, pemerintah Tiongkok memperkenalkan sistem pemeringkatan baru 
bagi warga negara asing yang akan mendapatkan keistimewaan visa untuk tinggal 
di negeri itu. Bagi pemenang penghargaan Nobel, ilmuwan top kelas dunia, 
pengusaha sukses atau direktur lembaga seni, pemerintah di Beijing bersedia 
memberikan visa 'khusus' dengan jangka waktu hingga 10 tahun. Bagi mereka, 
pintu gerbang 'Tembok Besar China' terbuka lebar.

Editor: Sapto Pradityo







 
  

Kirim email ke