Just to share....
 
Tadi malam awalnya dengan setengah hati saya ikut Inaugural Lecture Nelson 
Mandela di UniSA. Pembicaranya Dr. Musimbi Kanyoro, Direktur Population 
Development, Packard Foundation, US. Menurut Dr. Kanyoro, jauh-jauh 
hari sebelum krisis keuangan global ini terjadi, Bill Clinton sudah pernah 
memprediskinya. Krisis Global ini menurut Clinton, adalah karena kita terlalu 
banyak menginvestasikan uang di bidang bisnis perumahan kaya, dan gagal melihat 
peluang investasi pembangunan masyarakat miskin. terlalu banyak uang 
ditumpahkan di satu titik, sehingga mengganggu titik equilibrium. hmmm,
sekalipun saya bukan ahli ekonomi, tapi kayaknya ada benarnya juga.  
Golongan kaya terlalu sibuk mengumpulkan kekayaan dan menginvestasikannya di 
bidang property,sedangkan yang miskin semakin terhimpit dengan kemiskinannya. 
Mungkin ini krisis ini bisa jadi peringatan Tuhan, agar manusia bisa menshift 
fokusnya dari investing untuk diri sendiri (menumpuk kekayaan) ke investasi 
untuk kemaslahatan bersama. 
 
I dont know. I am just a small thinker, in a small part of the world!!
 
So, what do you think.?
 
Salam,
Dewi
 
 


 
--- On Thu, 10/9/08, Hamzah Hippy <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Hamzah Hippy <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [GM2020] Info Krisis Global US
To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Date: Thursday, October 9, 2008, 7:24 PM









Salam Pendidikan,

Sekedar info ttg krisis global US.

Rgrd


Hamzah Hippy  (Phay)
Mhs Pascasarjana Unhas Makassar
URL : www.rendik3unhas. wordpress. com
www.pascaunhas. net


--- On Thu, 10/9/08, ricky <[EMAIL PROTECTED] com> wrote:
From: ricky <[EMAIL PROTECTED] com>
Subject: [Ppia-canberra] Fw: Krisis Subprime di Amerika Serikat
To: ppia-canberra@ anu.edu.au
Date: Thursday, October 9, 2008, 3:39 PM

Diriwayatkan dari Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos.

Artikel serupa dimual pula oleh harian Jawa Pos beberapa hari yg lalu.Krisis 
Subprime di Amerika Serikat

Kalau Langit Masih Kurang Tinggi.

Oleh: Dahlan Iskan.

Meski saya bukan ekonom, banyak pembaca tetap minta saya

''menceritakan" secara awam mengenai hebatnya krisis keuangan di AS

saat ini. Seperti juga, banyak pembaca tetap bertanya tentang sakit

liver, meski mereka tahu saya bukan dokter. Saya coba:

Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus

berkembang di semua sektor. Terutama labanya. Kalau bisa, laba

sebuah perusahaan publik terus meningkat sampai 20 persen setiap

tahun. Soal caranya bagaimana, itu urusan kiat para CEO dan Direkturnya. .

Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau

tahu lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang

mereka mau tahu adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya

harus terus naik dan labanya harus terus meningkat

Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu

orang, sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka.

Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau

para pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih

tinggi dibanding waktu mereka beli dulu: untung. !

Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin

jual saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen)

yang kian banyak.

Soal cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana

dengan baik, terserah pada CEO-nya. Mau pakai cara kucing hitam atau

cara kucing putih, terserah saja. Sudah ada hukum yang mengawasi

cara kerja para CEO tersebut: hukum perusahaan, hukum pasar modal,

hukum pajak, hokum perburuhan, dan seterusnya.

Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa

tertekan dan stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang

bisa untung, tapi kadang bisa rugi ?

Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target.

Tanpa disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya.

Mengapa? Pertama, agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO.

Kedua, agar dia mendapat bonus superbesar yang biasanya dihitung

sekian persen dari laba dan pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus

yang diterima para CEO perusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih

besar dari gaji Presiden George Bush. Mana bisa dengan gaji sebesar

itu masih stres?

Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian

seperti tumbu ketemu tutup: klop. Maka, semua perusahaan dipaksa

untuk terus-menerus berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan,

harus dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin

jalan baru. Kalau bikin jalan baru ternyata sulit, ambil saja

jalannya orang lain. Kalau tidak boleh diambil? Beli! Kalau tidak

dijual? Beli dengan

cara yang licik -dan kasar! Istilah populernya hostile take over.

Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi

untuk bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa

mendapat jalan.

Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang happy. CEO dan para

direkturnya happy karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar

setahun. Para pemilik saham juga happy karena kekayaannya terus

naik. Pemerintah happy karena penerimaan pajak yang terus membesar.

Politisi happy karena dapat dukungan atau sumber dana.

Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan

kesejahteraan rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli

kebutuhan hidupnya. Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan

kerasnya. Semakin banyak yang bisa membeli barang, ekonomi semakin

maju lagi.

Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Barang apa saja. Kalau

tidak bisa bikin sendiri, datangkan saja dari Tiongkok atau

Indonesia atau negara lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa

menjual barang apa saja ke AS yang bisa membuat Tiongkok punya

cadangan devisa terbesar di dunia: USD 2 triliun!

Sudah lebih dari 60 tahun cara ''membesarkan' ' perusahaan seperti

itu dilakukan di AS dengan suksesnya. Itulah bagian dari ekonomi

kapitalis. AS dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi

penguasa dunia. Tapi, itu belum cukup.

Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggap

tidak cukup lagi: harus computerized!

Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus

meningkat harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah

sebesar gajah harus dibikin lebih jumbo. Langit, gajah, jumbo juga

belum cukup.

Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi

perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus

meningkat, dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan

dalam jumlah

yang kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan

agar kucing atau anjingnya juga punya rumah. Demikian juga mobilnya.

Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli rumah?

Kalau tidak ada lagi yang beli rumah, bagaimana perusahaan bisa

lebih besar? Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar?

Bagaimana perusahaan alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana

bank bisa lebih besar? Bagaimana notaris bisa lebih besar? Bagaimana

perusahaan penjual kloset bisa lebih besar? Padahal, doktrinnya,

semua perusahaan harus semakin besar?

Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada

1980, pemerintah bikin keputusan yang disebut ''Deregulasi Kontrol

Moneter''. Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan realestat

diperbolehkan menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh

mengenakan bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan secara

pasti. Peraturan baru itu berlaku dua tahun kemudian.

Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan,

asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang

dimanfaatkan perbankan secara nyata.

Begini ceritanya:

Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam

undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan

memenuhi syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja

seperti KPR, meski tidak sama).

Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh

ambil mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan

bulanannya ringan karena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan

bunga 6 persen setahun.

Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage.

Yang terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan

properti di Dubai naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat

dalam menetapkan syarat orang yang bisa mendapat mortgage.

Dengan keluarnya ''jalan baru'' pada 1980 itu, terbuka peluang untuk

menaikkan bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup.

Bank bisa dapat peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif.

Juga para broker dan bisnis lain yang terkait.

Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan.

Maka, ada lagi ''jalan baru'' yang dibuat pemerintah enam tahun

kemudian. Yakni, tahun 1986.

Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu

isinya: pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga

berlaku bagi pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya

rumah, kalau mau beli rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam

fasilitas itu.

Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan

yang luar biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti

di Swedia atau Denmark, gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen.

Imbalannya, semua keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan

gratis. Hari tua juga terjamin.

Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat

drastic menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun

berikutnya. Kredit yang disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150

miliar setahun langsung menjadi dua kali lipat pada tahun

berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus meningkat lagi. Pada 2004

mencapai hampir USD 700 miliar setahun.

Kata ''mortgage'' berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis.

Artinya: matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah.

Dalam mortgage, Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah.

Rumah itu Anda serahkan kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh

menempatinya selama cicilan Anda belum lunas.

Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet,

rumah itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar

bahwa itu bukan rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak

membayar cicilan, ikrar itu dianggap mati. Dengan demikian, Anda

harus langsung pergi dari rumah tersebut.

Lalu, apa hubungannya dengan bangkrutnya investment banking seperti

Lehman Brothers?

Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya

karena fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh

''para pelaku bisnis keuangan'' sebagai peluang untuk membesarkan

perusahaan dan meningkatkan laba.

Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas

mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli

rumah. Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank.

Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para

pemilik rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage- kan lagi

untuk membeli rumah berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli

rumah pun bias mendapatkan kredit dengan harapan toh harga rumahnya

terus naik. Kalau toh suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank

masih untung. Jadi, tidak ada kata takut dalam memberi kredit rumah.

Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam

undang-undang perbankan yang keras.

Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan. Jalan baru itu

adalah ini: bank bisa bekerja sama dengan ''bank jenis lain'' yang

disebut investment banking.

Apakah investment banking itu bank? Bukan. Ia perusahaan keuangan

yang ''hanya mirip'' bank. Ia lebih bebas daripada bank. Ia tidak

terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal: menerima

macam-macam ''deposito'' dari para pemilik uang, meminjamkan

uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi

penjamin, membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa

pun yang orang

bisa lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidak

pernahmemikirkan! Lehman Brothers, Bear Stern, dan banyak lagi

adalah jenisinvestment banking itu.

Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi

pinjaman tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan

dan menjualnya kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam

kepada siapa saja: kepada bank lain atau kepada sesama investment

banking. Atau, juga kepada orang-orang kaya yang punya banyak uang

dengan istilah ''personal banking''.

Saya sering kedatangan orang dari investment banking seperti itu

yang menawarkan banyak fasilitas. Kalau saya mau menempatkan dana di

sana, saya dapat bunga lebih baik dengan hitungan yang rumit.

Biasanya saya tidak sanggup mengikuti hitung-hitungan yang canggih itu.

Saya orang yang berpikiran sederhana. Biasanya tamu-tamu seperti itu

saya serahkan ke Dirut Jawa Pos Wenny Ratna Dewi. Yang kalau

menghitung angka lebih cepat dari kalkulator. Kini saya tahu, pada

dasarnya dia tidak menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk

memutar cash-flow.

Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu

hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage,

yang kurang memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta

mortgage.

Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan

oleh besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup

seseorang. Orang yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke

atas. Setiap tahun orang bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik

atau turun.

Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah

lewat mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600.

Bisa dengan terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus

melakukan penghematan pengeluaran.

Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian

tinggi, pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500

sudah ditawari mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa

disita. Setelah disita, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi

dari nilai pinjaman. Tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya.

Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu

kurang dari 10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit.

Rumah yang disita sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah.

Kian banyak orang yang jual rumah, kian turun harganya. Kian turun

harga, berarti nilai jaminan rumah itu kian tidak cocok dengan nilai

pinjaman. Itu berarti kian banyakyang gagal bayar.

Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula

menjaminkan rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang

lain. Yang lain itu menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi

itu menjamin an ke yang beriktunya lagi. Satu ambruk, membuat yang

lain ambruk. Seperti kartu domino yang didirikan berjajar. Satu

roboh menimpa kartu lain. Roboh semua.

Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu?

Belum ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5

triliun dolar. Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana

APBN USD 700 miliar, memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana

itu tidak menyelesaikan masalah, apa harus menambah USD 700 miliar

lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?

Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau

menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan

sebanyak USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh

bangsa dan Negara Indonesia dijadikan satu.

Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah

dan rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak

perusahaan dan orang Indonesia yang ''menabung'' -kan uangnya di

lembaga-lembaga investment banking yang kini lagi pada kesulitan itu.

Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya

tidak banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya

pada Singapura, Hongkong, atau Tiongkok.

Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu

menjadi salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan

dunia. Sedangkan Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat

AS akan sangat menurun, yang berarti banyak barang buatan Tiongkok

yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran ke sana. Kita,

setidaknya, masih bisa menanam jagung.(*)

Dari tulisan diatas dapat disimpulkan (versi saya), ekonomi US dibangun dari 
sifat rakus yang sudah kelewat batas. 

Dan inilah kelemahan sistem kapitalisme, penggunaan sistem riba. Sehingga 
kapitalisme runtuh karena kerakusannya sendiri.






Yahoo! sekarang memiliki alamat Email baru 
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. 
br> Cepat sebelum diambil orang lain!




Yahoo! Toolbar kini dilengkapi dengan Search Assist. Download sekarang juga.
 














      

Kirim email ke