Pak Sanggam, Terima kasih atas e-mail dan komentar2/pertanyaann2-nya yang kritis. Tidak panjang Pak, he2.., tidak keterlaluan panjangnya. Dalam sebuah seminar yang pembicaranya diberi waktu dua jam untuk diskusi; saya pernah diserbu dengan 30 pertanyaan... Dalam menyusun presentasi di workshop IATMI itu, saya mempelajari semua publikasi yang pernah dikeluarkan IPA tentang karbonat, baik dalam seminar pertamanya (1976) maupun seminar core karbonat (1992) yang Pak Sanggam sebutkan. Saya juga mempelajari semua publikasi regional tentang karbonat untuk SE Asia dan Indonesia yang banyak ditulis Moyra Wilson dalam 10 tahun terakhir, juga publikasi karbonat regional SE Asia yang ditulis Mark Longman (1991). Beberapa model karbonat yang regional atau lokal di Indonesia seperti yang diusulkan sejak Scrutton, Chris Kenyon, Koesoemadinata, Mark Longman, Cliff Jordan, Robert Park, Safei Siregar, Alit Ascaria, dan Moyra Wilson memperkaya model2 karbonat yang ada. Saya juga menggunakan publikasi saya sendiri berdasarkan penelitian karbonat yang pernah saya lakukan untuk Salawati, East Java, dan selatan Jawa (Satyana; Satyana et al., 2000-2006 - IPA/AAPG/IAGI/SEG). Berdasarkan hal di atas, rasanya saya cukup menghimpun semua publikasi karbonat yang pernah muncul di Indonesia untuk membuat sebuah bahan presentasi tentang karbonat regional Indonesia. Bahan itu saya lengkapi juga dengan data tak terpublikasi tentang reservoir karbonat yang jumlahnya lebih banyak dari yang dipublikasi. Maka, semoga yang saya tampilkan dan akan jawab untuk Pak Sanggam telah cukup mewakili ciri regional karbonat Indonesia. Munculnya tipe IV sembulan karbonat adalah atas prakarsa penelitian Mark Longman (1988)di Cekungan Sumatra Selatan tepatnya di wilayah Air Serdang. Sembulan karbonat yang disebutnya mud-mound itu akan muncul di wilayah yang low energy seperti Sumatra Selatan. Saya menggunakan model mud mound dan inter-mud mound Air Serdang Mark Longman saat meneliti semua mud mound di laguna Salawati pada karbonat Kais (model SWO dan Salawati-O). Jelas penyusunnya bukan rigid framework seperti coral boundstone, tetapi kebanyakan wackestones dan packstones dan debris koral saja dengan lingkungan utama laguna yang near-reef. Maka, model sembulan karbonat tipe IV dalam pandangan saya valid dapat diterima dan bisa digunakan di mana saja lingkungan low energy semacam laguna atau back-reef facies. Kelimpahan biota koral terjadi pada Neogen terutama sejak Miosen Awal-Tengah, apalagi yang Resen. Indonesia dalam konteks global adalah wilayah yang paling kaya di dunia akan kelimpahan jenis scleractinian (spesies karang pembentuk terumbu). Generanya saja meliputi kelimpahan yang lebih dari 500. Tak ada di dunia ini wilayah yang lebih kaya daripada di Indonesia akan spesies karang pembentuk terumbu (koral). Maka, kita melihat kan bahwa di mana-mana di Indonesia terdapat gugusan2 terumbu karang. Merusaknya berarti merusak warisan atau milik dunia. Low-relief carbonate mud-bank akan berkembang di wilayah-wilayah back-arc dan foreland basin yang terlindung atau jauh dari open sea, dan berkembang di wilayah2 yang subsidence rate-nya tak merangsang pertumbuhan sembulan yang "walled-reef", dan kasus itu banyak di Indonesia terutama di wilayah2 kaya karbonat yang banyak dikerjakan orang pada 1960-an sampai awal 1990-an seperti di Sumatra Selatan, Sunda, Jawa Barat, dan Jawa Timur, maka tak mengherankan low relief-carbonate bank seolah mendominasi. Bahkan untuk classical pinnacle reef saat itu yaitu Kasim di Salawati masih disebutkan Longman (1991) tak didominasi koral. Penelitian saya pada akhir 1990-an (dipublikasi di IPA 2003), menemukan bahwa Kasim bukanlah classical pinnacle reef tetapi lagoonal "pinnacle" reef, maka wajar kalau Longman (1991) menemukan bahwa koral bukan bioklas dominan sebagai framework-nya. Semua orang yang meneliti sembulan2 Baturaja di Sumatra Selatan, Sunda, Jawa Barat; dan Kujung I di Laut Jawa akan menemukan bahwa mereka low-relief carbonate mud bank yang tak didominasi koral tetapi didominasi ganggang dan foram besar bentonik. Maka seolah2 itu menjadi model. Harus diingat bahwa penelitian2 wilayah perminyakan saat itu hampir seluruhnya di wilayah low energy atau backreef facies, maka wajar saja semua bioklasnya sepi dari koral dan low-relief build-ups nya. Penelitian2 geologi maupun yang terkait dengan perminyakan selanjutnya yang keluar dari low energy back-reef facies akan menemukan bahwa justru ganggang dan koral adalah penyusun utama sembulan terumbu Neogen. Penelitian2 lapangan ini banyak dilakukan oleh SE Research Group (Moyra wilson, Stephen Lokier, Alit Ascaria, dll. spesialis karbonat) dan LIPI (Safei Siregar, Sapri Wahyu Hantoro), atau ITB/UPN (Permonowati) untuk banyak lokasi di Indonesia (Kalimantan, Sulawesi, Pegunungan Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara). Contoh yang langsung dalam perminyakan adalah sembulan2 high-relief di east Cepu High yang berumur Miosen Awal-Miosen Tengah (Banyu Urip, Sukowati, Mudi); Arun, NSO; dan sembulan karbonat Miosen Atas-Pliosen model Parigi di Jawa Barat yang high-relief dan didominasi coralgal. maka secara ringkas, bila penelitiannya lebih komprehensif, akan diketahui bahwa memang karbonat Neogen didominasi oleh coralgal, sementara yang Paleogen didominasi oleh foram (contoh khas : Berai, Tonasa, Ngimbang-CD carbonates). Betul eustacy sangat memegang peranan untuk initiation, growth, dan demise karbonat. Contoh yang sangat ideal ada untuk semua reefs yang berkembang di East Cepu High yang kebetulan saat ditumbuhi karbonatnya sedang miring ke arah baratdaya. Semua karbonat di situ membentuk sembulan back-stepping dan tumbuh secara bertahap (staging) mengikuti eustacy. Bila terlalu dalam atau terlalu dangkal karbonat tak akan berkembang, digantikan klastik Tuban (di tempat terlalu dalam) atau Ngrayong (di tempat terlalu dangkal). Pola-pola stratal pattern yang keep-up atau catch-up dengan mudah dibedakan; dan menariknya semua staging karbonat ini telah diketahui umur absolutnya berkat dating menggunakan isotop strontium 85/86 (beberapa informasi terbatas bisa dilihat di publikasi paper2 Exxon saat ada simposium Jakarta 2006 (SEG/HAGI/IPA/IAGI/IATMI) misalnya oleh Jill Stevens. Data nonpublikasi yang saya punya tentu lebih banyak dan lengkap. Soal 'karstic cavities' -dissolution, leaching karbonat Paleogen di abstrak saya tak ada pertentangan, tetapi sekedar menggambarkan semacam SWOT analysis, ada peluang tetapi ada ancamannya juga. Peluangnya adalah bisa berkembangnya porositas sekunder akibat retakan, karstifikasi, atau sekedar pelarutan (disolusi/leaching); seperti yang sudah terjadi di banyak singkapan Tonasa carbonates di Sulawesi Selatan atau fractured porosities di CD carbonates di West Kangean atau karstic porosities CD carbonates di Bukit Tua. Peluang itu ada sebab kita tahu pada mid-Oligocene menururt eustacy dari Haq dan Hardenbol (1986) ada susut laut regional dan pengangkatan besar - tetapi sangat singkat. Nah, ada peluang tetapi kemungkinannya kecil. Karbonat2 Paleogen yang berkembang di wilayah stabil seperti Berai di Barito akan tetap tight sebab tak ada deformasi yang membentuk fracture; tetapi sekali ia ada di puncak antiklin ia bisa teretakkan dan menjadi reservoir mengandung minyak seperti kasus Dahor Selatan dan Tanta. Mikroporositas terutama kalau mengalami chalkyfication betul sekali dapat mengkontribusi porositas yang sekunder. Contoh terkenal dan ideal ada di North Sea. Di Indonesia kasus itu ada tetapi sangat lokal tak punya konteks regional seperti tema bahasan presentasi saya. Secara regional, sayangnya matrix porosities kebanyakan minimal saja. Tetapi betul Pak Sanggam bahwa jenis porositas ini bisa menjadi sangat penting, tetapi lokal saja. Micrite dan neomorphism berhubungan timbal balik, sebab akibat, effect and result; seperti hubungan chicken and egg, jadi bisa saja bermakna circular. Bila tak banyak matriks kalsit (micrite), neomorphism cenderung tak banyak terjadi. Bila neomorphism terjadi, bentuknya pun seperti micrite hanya lebih kristalin. Bisa dipelajari lebih jauh dari Berry (1976 -IPA carbonate seminar) tentang hubungan menarik neomorphism-micrite ini. Disolusi burial dan subaerial exposure tak bisa dipungkiri dua kasus penting untuk pembentukan porositas sekunder karbonat. Dua2nya sama penting dan secara volumetrik sama juga. Tidak banyaknya paleosol yang muncul pada core yang menandakan subaerial exposure barangkali core bukan pada posisi yang pas untuk paleosol berkembang, atau kebetulan yang di-core itu memang bukan hasil subaerial exposure, tetapi hasil burial dissolution. Penelitian yang lebih besar dari sekedar core, yaitu di singkapan2 banyak menemukan endapan paleosol di atas porositas sekunder karbonat. Untuk kasus burial dissolution saya menampilkan kasus Kerendan, yang porositas sekundernya hasil leaching oleh acidic water yang expelled dari wilayah downdip Kerendan reef saat sedimen di Bongan Deep mengalami kompaksi. Karbonat di Indonesia yang menjadi reservoir produktif saat ini kebanyakan adalah Neogen yang dibentuk biota koral, ganggang, dan foram bentonik. Yang Paleogen ada beberapa dengan dominasi biota berupa foram dan ganggang. Yang Mesozoik ada, (Jurassic Manusela oolitic limestone yang mengalami fracture yang cukup intensif). Yang didominasi foram planktonik pun ada, yaitu globogernid grainstone di Madura Strait (lapangan Oyong, Maleo Santos). Yang dibentuk mikroba/bakteri belum banyak diketahui. Tetapi modelnya yang Resen berkembang dengan baik di pulau volkanik Satonda di utara Tambora, Sumbawa. Ia membentuk struktur stromatolit Proterozoic atau stromatoporoids Paleozoic, yang disusun build ups bakteri/mikroba -saya pernah mengulasnya di milis ini. Yang purba, bisa dicari di Sumatra Utara - Aceh di wilayah sekitar Kluet, di situ ada beberapa singkapan karbonat Paleozoik yang mungkin saja penyusunnya mikroba. Pak Sanggam, "gajah2" build-up karbonat mirip Arun "teu acan seep", masih ada, masih banyak. Di mana tempatnya ? Dalam presentasi itu saya menampilkan tempat2 di Indonesia yang berpeluang besar sebagai masa depan Indonesia dari karbonat ...tetapi kita tak berhenti di peluang tentunya - harus ada eksplorasi yang agresif ! salam, awang sanggam hutabarat <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Pak Awang
Terimakasih untuk informasi Workshop Karbonat ini. Saya berharap bahwa workshop ini sukses mencapai tujuannya. Tampaknya workshop ini mendiskusikan banyak hal mulai fasa identifikasi/deskripsi/karakterisasi (G&G), drilling, produksi hingga manajemen reservoir karbonat di Indonesia. Saya sedih enggak bisa hadir dalam worshop yang menarik ini. Bolehkah saya mendapatkan digital bahan2 presentasi/konklusi workshop ini? Kalau enggak bisa dikirim via email saya akan jemput (ada rencana saya di Jkt Juni-Juli). Membaca email Pak Awang ini, saya menjadi bergairah kembali sejenak back to the basic (BATU) setelah berpuluh tahun secara praktis meninggalkan subjek yang amat penting ini sebagai seorang geologist. Setahu saya salah-satu workshop sebelumnya yang serius membahas reservoar karbonat adalah Workshop oleh IPA 16 tahun silam, walaupun penekanannya pada geologi/core. Pada workshop tsb ada beberapa isu yang menggantung yg mudah2an pada Workshop IATMI ini disinggung dan telah terjawab (atau sebenarnya bukan isu lagi karena ke-tidak update-an saya saja?). Di bawah ini beberapa komen didasari kepengen-tauan saya. Teman-teman Geoscientists, khususnya Pak Awang yang hadir dalam Workshop ini mungkin bisa men-share dan meng-update saya. Komen2 ini juga ada relasinya dgn abstrak paper Pak Awang. Sebelumnya maaf untuk panjangnya yang 'keterlaluan'. Dalam workshop IPA yl dikatakan mayoritas sekuen karbonat Tersier di Ind. adalah endapan low-relief carbonate mud bank (contoh cekungan Sum-Sel, Sunda, Ngimbang). In situ coral-dominated framework reservoir (coral boundstones) tidak pernah/amat sangat jarang ditemukan di Indonesia. BRF di Sunda basin hanya satu bukti (masih kemungkinan!) adanya typical coral-reef influence reservoir. Dikemukakan juga dalam workshop tsb bahwa terdapat kecenderungan umum alga merah dan foraminifera bentonik besar adalah unsur biotik utama buildups karbonat Miosen di Ind (secara kontras koral dan Halimeda sangat umum pada reef moderen, seperti ditunjukkan studi di P. Seribu oleh Jordan/Mobil Oil??). Dalam abstrak Pak Awang saya mendapat kesan bahwa coral-dominated reef mendominasi reservoar karbonat di Indonesia. Mohon di-elaborasi istilah dan model reef yg dipakai Pak Awang disini, karena bisa memberikan konotasi lain dan berbeda, seismically dan geologically. Catatan, dalam IPA Workshop di-usulkan modifikasi model karbonat Wilson untuk kasus di khas Indonesia yaitu Model ke IV low-relief carbonate mud-banks dimana matriks lime mud mendominasi batuan karbonat. Apakah model ini cukup valid dan dapat diterima practically? Bukankah lebih tepat dikatakan bahwa perubahan relatif muka laut (relative sea level) yang disebabkan kombinasi fluktuasi eustatik dan fluktuasi basin floor juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi pembentukan dan pemunahan karbonat? Dalam abstrak disinggung karstic cavities sebagai porositas sekunder pada karbonat Paleogen. Lengkapnya: Secondary porosities developed due to fracturing, chemical dissolution during burial, or as karstic cavities. However, the opportunities for leaching were limited. Kayaknya ada pertentangan pernyataan disini. Menurut saya proses dissolution dan leaching adalah sama; karstic cavities pun hasil leaching/dissolution (karena ekspos ke permukaan/subaerial). Mohon penjelasannya disini. Porositas sekunder berupa mikroporositas tidak disinggung dalam abstrak.Menurut saya (berdasarkan pengalaman bertahun-tahun di-laboratorium) mikroporositas dalam matriks reservoir karbonat (chalky) sangat signifikan, walaupun umumnya permeabilitasnya rendah (namun paling tidak bagus untuk gas, dalam paper IPA dikatakan dapat mencapai 30% dan dapat dilihat pada logs!). Ini memberikan impak pada model petrofisik karbonat di Indonesia yang menarik untuk didiskusikan (fracture-micropore-vuggy/mouldic pore-stylolite-clay-dolomite)! Dalam abstrak dikatakan: Neomorphism is especially common in micritic carbonates reducing their porosities Bukankan pernyataan ini circular? Micritic carbonate berkonotasi karbonat yang mengandung secara significant matrix berupa lime mud (~ micrite) yang per-definisi adalah material yang berbutir halus (berukuran mirons) dan padat (dense); jadi micritic carbonates memang seyogyanya berporositas rendah. Tapi mungkin ini masalah semantik saja. Kembali pada pembentukan porositas sekunder oleh subaerial exposure. Dalam Workshop IPA dikatakan bahwa proses ini sebenarnya kebanyakan dibuat berdasarkan konklusi logik model diagenesis yang established, namun tanpa bukti kuat di batuan itu sendiri (kehadiran fitur karstik seperti zone tanah-purba/caliche, pendant cement dll). Jadi jangan2 pembentukan porositas sekunder di banyak reservoir karbonat di Ind didominasi oleh disolusi burial? Mohon feedback-nya Adakah sudah ada studi pengaruh microbes/umumnya bakteri pada pembentukan, pengendapan dan diagenesis sedimen/reservoir karbonat di Indonesia? Saya sekarang bekerja di karbonat berumur ~150jt thn dan kwalitas reservoarnya sering dipengaruhi oleh microbes yang menurut literatur juga ter-identifiaksi pada sediment karbonat berumur lebih muda seperti karbonat Miosen kita di tanah air kita. Dulu 15 thn lalu waktu periksa batuan karbonat dgn SEM banyak material mikronik yang saya klasifikasikan sebagai undifferentiated jgn2 mereka adalah bakteri! Sekali lagi selamat untuk pengadaan IATMI Workshop ini dimana pakar2 karbonat anak bangsa menjadi tuan di rumah sendiri! Walaupun produksi karbonat yg gede2 (Arun, BRF di Sunda basin) sudah makin kempes dan mungkin geus seep. Kita berharap penggantinya segera ditemukan bergandengan dengan Kujung karbonat dan lainnya. Nuhun dan Salam Hangat! Sanggam -- Awang Satyana wrote: IATMI sedang mengadakan worshop carbonate complexity : characterization, modeling and simulation di Yogyakarta dari 22-25 April 2008. Workshop dihadiri sekitar 80 orang dari berbagai institusi pemerintah, oil companies, service companies, dan perguruan tinggi. Workshop didahului oleh kursus satu hari tentang aspek geologi dan reservoir engineering karbonat dibawakan oleh Alit Ascaria (Premier Oil) dan Doddy Abdassah (ITB). Workshop dibuka pada 23 April 2008 oleh Ketua IATMI Kuswo Wahyono, dilanjutkan dengan pidato sambutan oleh John Sinulingga mewakili Pertamina Eksploitasi (panitia workshop adalah IATMI Komda Cirebon Pertamina), dan pidato/presentasi kunci dari Handoyo Eko Wahono (BPMIGAS) tentang lapangan-lapangan karbonat yang dikembangkan dalam lima tahun terakhir, Bob Yulian (BPMIGAS) tentang kemajuan eksplorasi target karbonat di Indonesia, dan Gatot Kariyoso Wiroyudo (Shell) tentang investasi teknologi Shell dalam mengerjakan karbonat. Makalah teknis yang dipresentasikan sebanyak 16 makalah. Workshop diselingi dengan fieldtrip ke Gunung Kidul mengunjungi singkapan karbonat Wonosari. Pembicara mendapatkan kesempatan berbicara cukup tenang karena waktu yang diberikan antara 20-30 menit, pertanyaan 5-10 menit. Workshop ini jelas bermanfaat menambah wawasan aspek GGRE karbonat. Karbonat merupakan objektif sangat penting karena menyusun sekitar 50 % reservoir lapangan2 produksi di Indonesia. Bahkan dalam lima tahun terakhir, 54 % recoverable reserve lapangan-lapangan baru berasal dari reservoir karbonat, maka karbonat tak kalah penting dari reservoir silisiklastik, bahkan bisa lebih. Saya diundang IATMI berkontribusi makalah tentang geologi regional karbonat di Indonesia. Di bawah ini adalah abstraknya, semoga berguna. Mahasiswa tidak banyak yang hadir. Karena merasa ada yang kurang kalau saya hanya mempresentasikan makalah saya kepada para profesional di workshop, maka pada hari yang sama saya ke UGM dan mempresentasikan materi yang sama di hadapan para mahasiswa tetapi dalam format penyampaian kepada mahasiswa. Setelah itu, masih di UGM, saya melanjutkan mempresentasikan makalah Sandhyakala ning Jenggala dan Majapahit : Hipotesis Kebencanaan Geologi kali ini jauh lebih tenang tak seperti saat mempresentasikan makalah ini di PIT IAGI 2007 Bali yang mesti berpacu dengan waktu yang terbatas. Waktu yang terbatas atau terburu2 akan menyulitkan pendengar mencerna materi yang disampaikan. Sebagai informasi, hipotesis ini telah ditangkap National Geographic Channel untuk menjadi tayangan (pengambilan gambar sudah dilalukan) di dalam film dokumenter LUSI. Demikian, laporan singkat. awang Grand Mercure 24/4/2008, 02.15 LAMPIRAN Geologic Controls on Carbonate Reservoirs in Indonesia : Regional Overview Awang Harun Satyana (BPMIGAS) Carbonate reservoirs are characterized by extreme heterogeneity of porosity and permeability. This is related to the complexities of the original depositional environment and the diagenetic influences that can modify the original textures. Wide variety of environmental facies and diagenetic changes express controls of geologic factors. Therefore, in characterizing carbonate reservoirs, it is important to evaluate geologic controls which influence carbonate sedimentation and diagenesis. Being located at warm humid tropical shallow water, in Indonesia carbonates are geographically and temporally widespread. They occur in a range of ages and depositional settings which were often affected by coeval tectonism, siliciclastic input or volcanism. The carbonates developed in various tectonic settings of back-arc, intra-arc, fore-arc, and foreland basins; island arc; micro-continents; and continental passive margins. They developed as patch reefs of land-attached platform such as Baturaja buildups in South Sumatra and West Java, fringing reefs such as Kais buildups on Arar High, the Birds Head of Papua, barrier reefs such as Ujung Pangkah reefs in East Java, and pinnacle reefs overlying offshore isolated platforms such as reefs of the Cepu High, East Java and Arun reefs in North Sumatra. In each a variety of carbonate depositional systems, the reefs often developed on structural highs. Subsidence, uplift, active faulting, tilting or associated silici/volcaniclastic input strongly affected facies variability, stratal/platform geometries, sequence development and carbonate termination. These geologic factors influence distribution and continuity of the carbonate reservoirs. Ages of carbonates influence the basic ingredients of carbonates. Diversity, abundance, dominant mineralogy, and relative importance of sediment-producing marine invertebrates are various through the geologic periods. This will influence the response of carbonates when they are changed by diagenesis. Producing carbonate reservoirs in Indonesia range in ages from the Jurassic Manusela fractured oolitic carbonates in Seram Island, Eastern Indonesia to Pliocene globigerinid limestones of the Madura Strait. Paleogene carbonates in Indonesia are commonly dominated by larger foraminifera. These carbonates typically form large-scale platforms or isolated shoals. Good poroperms can be preserved in shoal or redeposited carbonates lacking micrite. Secondary porosities developed due to fracturing, chemical dissolution during burial, or as karstic cavities. However, the opportunities for leaching were limited. Neogene carbonates often contain abundant aragonitic bioclasts, such as corals. They typically develop as reefal buildups, shelfal deposits or as isolated platforms. Compared with Paleogene carbonates, poroperms are generally higher in Neogene carbonates, various porosities all occur. The most important, common and economic carbonate reservoirs in Indonesia are the Miocene buildups such as Arun in North Sumatra, Baturaja in South Sumatra and West Java, Kujung I or Prupuh in East Java, and Kais in Salawati, Papua. Petrographic studies of carbonate reservoirs in Indonesia have shown that they have been subjected to a number of diagenetic processes including compaction (stylolization), dissolution, cementation, neomorphism, silicification, dolomitization and fracturing. Most of these processes are common to all depositional facies types (reefal, near reef, shallow shelf and outer shelf open marine). Original particle types of the sediments inherited from the deposition play an important role in this respect. Interconnected corallites commonly suffer dissolution resulting in porosities. Neomorphism is especially common in micritic carbonates reducing their porosities. Dolomitization has a varied distribution and in many cases is associated with clay minerals. It may affect reservoir poroperms and be a factor in generation of undesirable non-hydrocarbon gases. Stylolization and silicification are localized features. Study of sequence of diagenetic events is important for knowing the preservation or occlusion of porosities. An understanding of the geologic controls on carbonate depositional environments, spatial and temporal facies distributions and controls on deposition and diagenesis is essential in order to characterize carbonate reservoirs and to evaluate their considerable economic potential.*** --------------------------------- Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now. Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com --------------------------------- Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.