Pak Sanggam,
   
  Terima kasih atas e-mail dan komentar2/pertanyaann2-nya yang kritis. Tidak 
panjang Pak, he2.., tidak keterlaluan panjangnya. Dalam sebuah seminar yang 
pembicaranya diberi waktu dua jam untuk diskusi; saya pernah diserbu dengan 30 
pertanyaan...
   
  Dalam menyusun presentasi di workshop IATMI itu, saya mempelajari semua 
publikasi yang pernah dikeluarkan IPA tentang karbonat, baik dalam seminar 
pertamanya (1976) maupun seminar core karbonat (1992) yang Pak Sanggam 
sebutkan. Saya juga mempelajari semua publikasi regional tentang karbonat untuk 
SE Asia dan Indonesia yang banyak ditulis Moyra Wilson dalam 10 tahun terakhir, 
juga publikasi karbonat regional SE Asia yang ditulis Mark Longman (1991). 
Beberapa model karbonat yang regional atau lokal di Indonesia seperti yang 
diusulkan sejak Scrutton, Chris Kenyon, Koesoemadinata, Mark Longman, Cliff 
Jordan, Robert Park, Safei Siregar, Alit Ascaria, dan Moyra Wilson memperkaya 
model2 karbonat yang ada. Saya juga menggunakan publikasi saya sendiri 
berdasarkan penelitian karbonat yang pernah saya lakukan untuk Salawati, East 
Java, dan selatan Jawa (Satyana; Satyana et al., 2000-2006 - 
IPA/AAPG/IAGI/SEG). 
   
  Berdasarkan hal di atas, rasanya saya cukup menghimpun semua publikasi 
karbonat yang pernah muncul di Indonesia untuk membuat sebuah bahan presentasi 
tentang karbonat regional Indonesia. Bahan itu saya lengkapi juga dengan data 
tak terpublikasi tentang reservoir karbonat yang jumlahnya lebih banyak dari 
yang dipublikasi. Maka, semoga yang saya tampilkan dan akan jawab untuk Pak 
Sanggam telah cukup mewakili ciri regional karbonat Indonesia.
   
  Munculnya tipe IV sembulan karbonat adalah atas prakarsa penelitian Mark 
Longman (1988)di Cekungan Sumatra Selatan tepatnya di wilayah Air Serdang. 
Sembulan karbonat yang disebutnya mud-mound itu akan muncul di wilayah yang low 
energy seperti Sumatra Selatan. Saya menggunakan model mud mound dan inter-mud 
mound Air Serdang Mark Longman saat meneliti semua mud mound di laguna Salawati 
pada karbonat Kais (model SWO dan Salawati-O). Jelas penyusunnya bukan rigid 
framework seperti coral boundstone, tetapi kebanyakan wackestones dan 
packstones dan debris koral saja dengan lingkungan utama laguna yang near-reef. 
Maka, model sembulan karbonat tipe IV dalam pandangan saya valid dapat diterima 
dan bisa digunakan di mana saja lingkungan low energy semacam laguna atau 
back-reef facies.
   
  Kelimpahan biota koral terjadi pada Neogen terutama sejak Miosen Awal-Tengah, 
apalagi yang Resen. Indonesia dalam konteks global adalah wilayah yang paling 
kaya di dunia akan kelimpahan jenis scleractinian (spesies karang pembentuk 
terumbu). Generanya saja meliputi kelimpahan yang lebih dari 500. Tak ada di 
dunia ini wilayah yang lebih kaya daripada di Indonesia akan spesies karang 
pembentuk terumbu (koral). Maka, kita melihat kan bahwa di mana-mana di 
Indonesia terdapat gugusan2 terumbu karang. Merusaknya berarti merusak warisan 
atau milik dunia. 
   
  Low-relief carbonate mud-bank akan berkembang di wilayah-wilayah back-arc dan 
foreland basin yang terlindung atau jauh dari open sea, dan berkembang di 
wilayah2 yang subsidence rate-nya tak merangsang pertumbuhan sembulan yang 
"walled-reef", dan kasus itu banyak di Indonesia terutama di wilayah2 kaya 
karbonat yang banyak dikerjakan orang pada 1960-an sampai awal 1990-an seperti 
di Sumatra Selatan, Sunda, Jawa Barat, dan Jawa Timur, maka tak mengherankan 
low relief-carbonate bank seolah mendominasi. Bahkan untuk classical pinnacle 
reef saat itu yaitu Kasim di Salawati masih disebutkan Longman (1991) tak 
didominasi koral. Penelitian saya pada akhir 1990-an (dipublikasi di IPA 2003), 
menemukan bahwa Kasim bukanlah classical pinnacle reef tetapi lagoonal 
"pinnacle" reef, maka wajar kalau Longman (1991) menemukan bahwa koral bukan 
bioklas dominan sebagai framework-nya. 
   
  Semua orang yang meneliti sembulan2 Baturaja di Sumatra Selatan, Sunda, Jawa 
Barat; dan Kujung I di Laut Jawa akan menemukan bahwa mereka low-relief 
carbonate mud bank yang tak didominasi koral tetapi didominasi ganggang dan 
foram besar bentonik. Maka seolah2 itu menjadi model. Harus diingat bahwa 
penelitian2 wilayah perminyakan saat itu hampir seluruhnya di wilayah low 
energy atau backreef facies, maka wajar saja semua bioklasnya sepi dari koral 
dan low-relief build-ups nya.
   
  Penelitian2 geologi maupun yang terkait dengan perminyakan selanjutnya yang 
keluar dari low energy back-reef facies akan menemukan bahwa justru ganggang 
dan koral adalah penyusun utama sembulan terumbu Neogen. Penelitian2 lapangan 
ini banyak dilakukan oleh SE Research Group (Moyra wilson, Stephen Lokier, Alit 
Ascaria, dll. spesialis karbonat) dan LIPI (Safei Siregar, Sapri Wahyu 
Hantoro), atau ITB/UPN (Permonowati) untuk banyak lokasi di Indonesia 
(Kalimantan, Sulawesi, Pegunungan Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara). Contoh 
yang langsung dalam perminyakan adalah sembulan2 high-relief di east Cepu High 
yang berumur Miosen Awal-Miosen Tengah (Banyu Urip, Sukowati, Mudi); Arun, NSO; 
dan sembulan karbonat Miosen Atas-Pliosen model Parigi di Jawa Barat yang 
high-relief dan didominasi coralgal. 
   
  maka secara ringkas, bila penelitiannya lebih komprehensif, akan diketahui 
bahwa memang karbonat Neogen didominasi oleh coralgal, sementara yang Paleogen 
didominasi oleh foram (contoh khas : Berai, Tonasa, Ngimbang-CD carbonates).
   
  Betul eustacy sangat memegang peranan untuk initiation, growth, dan demise 
karbonat. Contoh yang sangat ideal ada untuk semua reefs yang berkembang di 
East Cepu High yang kebetulan saat ditumbuhi karbonatnya sedang miring ke arah 
baratdaya. Semua karbonat di situ membentuk sembulan back-stepping dan tumbuh 
secara bertahap (staging) mengikuti eustacy. Bila terlalu dalam atau terlalu 
dangkal karbonat tak akan berkembang, digantikan klastik Tuban (di tempat 
terlalu dalam) atau Ngrayong (di tempat terlalu dangkal). Pola-pola stratal 
pattern yang keep-up atau catch-up dengan mudah dibedakan; dan menariknya semua 
staging karbonat ini telah diketahui umur absolutnya berkat dating menggunakan 
isotop strontium 85/86 (beberapa informasi terbatas bisa dilihat di publikasi 
paper2 Exxon saat ada simposium Jakarta 2006 (SEG/HAGI/IPA/IAGI/IATMI) misalnya 
oleh Jill Stevens.  Data nonpublikasi yang saya punya tentu lebih banyak dan 
lengkap.
   
  Soal 'karstic cavities' -dissolution, leaching karbonat Paleogen di abstrak 
saya tak ada pertentangan, tetapi sekedar menggambarkan semacam SWOT analysis, 
ada peluang tetapi ada ancamannya juga. Peluangnya adalah bisa berkembangnya 
porositas sekunder akibat retakan, karstifikasi, atau sekedar pelarutan 
(disolusi/leaching); seperti yang sudah terjadi di banyak singkapan Tonasa 
carbonates di Sulawesi Selatan atau fractured porosities di CD carbonates di 
West Kangean atau karstic porosities CD carbonates di Bukit Tua. Peluang itu 
ada sebab kita tahu pada mid-Oligocene menururt eustacy dari Haq dan Hardenbol 
(1986) ada susut laut regional dan pengangkatan besar - tetapi sangat singkat. 
Nah, ada peluang tetapi kemungkinannya kecil. Karbonat2 Paleogen yang 
berkembang di wilayah stabil seperti Berai di Barito akan tetap tight sebab tak 
ada deformasi yang membentuk fracture; tetapi sekali ia ada di puncak antiklin 
ia bisa teretakkan dan menjadi reservoir mengandung minyak seperti
 kasus Dahor Selatan dan Tanta.
   
  Mikroporositas terutama kalau mengalami chalkyfication betul sekali dapat 
mengkontribusi porositas yang sekunder. Contoh terkenal dan ideal ada di North 
Sea. Di Indonesia kasus itu ada tetapi sangat lokal tak punya konteks regional 
seperti tema bahasan presentasi saya. Secara regional, sayangnya matrix 
porosities kebanyakan minimal saja. Tetapi betul Pak Sanggam bahwa jenis 
porositas ini bisa menjadi sangat penting, tetapi lokal saja.
   
  Micrite dan neomorphism berhubungan timbal balik, sebab akibat, effect and 
result; seperti hubungan chicken and egg, jadi bisa saja bermakna circular. 
Bila tak banyak matriks kalsit (micrite), neomorphism cenderung tak banyak 
terjadi. Bila neomorphism terjadi, bentuknya pun seperti micrite hanya lebih 
kristalin. Bisa dipelajari lebih jauh dari Berry (1976 -IPA carbonate seminar) 
tentang hubungan menarik neomorphism-micrite ini.
   
  Disolusi burial dan subaerial exposure tak bisa dipungkiri dua kasus penting 
untuk pembentukan porositas sekunder karbonat. Dua2nya sama penting dan secara 
volumetrik sama juga. Tidak banyaknya paleosol yang muncul pada core yang 
menandakan subaerial exposure barangkali core bukan pada posisi yang pas untuk 
paleosol berkembang, atau kebetulan yang di-core itu memang bukan hasil 
subaerial exposure, tetapi hasil burial dissolution. Penelitian yang lebih 
besar dari sekedar core, yaitu di singkapan2 banyak menemukan endapan paleosol 
di atas porositas sekunder karbonat. Untuk kasus burial dissolution saya 
menampilkan kasus Kerendan, yang porositas sekundernya hasil leaching oleh 
acidic water yang expelled dari wilayah downdip Kerendan reef saat sedimen di 
Bongan Deep mengalami kompaksi.
   
  Karbonat di Indonesia yang menjadi reservoir produktif saat ini kebanyakan 
adalah Neogen yang dibentuk biota koral, ganggang, dan foram bentonik. Yang 
Paleogen ada beberapa dengan dominasi biota berupa foram dan ganggang. Yang 
Mesozoik ada, (Jurassic Manusela oolitic limestone yang mengalami fracture yang 
cukup intensif). Yang didominasi foram planktonik pun ada, yaitu globogernid 
grainstone di Madura Strait (lapangan Oyong, Maleo Santos). Yang dibentuk 
mikroba/bakteri belum banyak diketahui. Tetapi modelnya yang Resen berkembang 
dengan baik di pulau volkanik Satonda di utara Tambora, Sumbawa. Ia membentuk 
struktur stromatolit Proterozoic atau stromatoporoids Paleozoic, yang disusun 
build ups bakteri/mikroba -saya pernah mengulasnya di milis ini. Yang purba, 
bisa dicari di Sumatra Utara - Aceh di wilayah sekitar Kluet, di situ ada 
beberapa singkapan karbonat Paleozoik yang mungkin saja penyusunnya mikroba.
   
  Pak Sanggam, "gajah2" build-up karbonat mirip Arun "teu acan seep", masih 
ada, masih banyak. Di mana tempatnya ? Dalam presentasi itu saya menampilkan 
tempat2 di Indonesia yang berpeluang besar sebagai masa depan Indonesia dari 
karbonat ...tetapi kita tak berhenti di peluang tentunya - harus ada eksplorasi 
yang agresif !
   
  salam,
  awang
  
sanggam hutabarat <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  Pak Awang

Terimakasih untuk informasi Workshop Karbonat ini. Saya berharap bahwa workshop 
ini sukses mencapai tujuannya. Tampaknya workshop ini mendiskusikan banyak hal 
mulai fasa identifikasi/deskripsi/karakterisasi (G&G), drilling, produksi 
hingga manajemen reservoir karbonat di Indonesia. Saya ‘sedih’ enggak bisa 
hadir dalam worshop yang menarik ini. 

Bolehkah saya mendapatkan digital bahan2 presentasi/konklusi workshop ini? 
Kalau enggak bisa dikirim via email saya akan jemput (ada rencana saya di Jkt 
Juni-Juli). Membaca email Pak Awang ini, saya menjadi bergairah kembali sejenak 
”back to the basic (BATU)” setelah berpuluh tahun secara ”praktis meninggalkan” 
subjek yang amat penting ini sebagai seorang geologist.

Setahu saya salah-satu workshop sebelumnya yang ‘serius’ membahas reservoar 
karbonat adalah Workshop oleh IPA 16 tahun silam, walaupun penekanannya pada 
geologi/core. Pada workshop tsb ada beberapa isu yang ‘menggantung’ yg mudah2an 
pada Workshop IATMI ini disinggung dan telah ‘terjawab’ (atau sebenarnya bukan 
isu lagi karena ke-tidak update-an saya saja?). Di bawah ini beberapa komen 
didasari “kepengen-tauan” saya. Teman-teman Geoscientists, khususnya Pak Awang 
yang hadir dalam Workshop ini mungkin bisa men-share dan meng-update saya. 
Komen2 ini juga ada relasinya dgn abstrak paper Pak Awang. Sebelumnya maaf 
untuk panjangnya yang 'keterlaluan'.


Dalam workshop IPA yl dikatakan mayoritas sekuen karbonat Tersier di Ind. 
adalah endapan low-relief carbonate mud bank (contoh cekungan Sum-Sel, Sunda, 
Ngimbang). In situ coral-dominated framework reservoir (coral boundstones) 
tidak pernah/amat sangat jarang ditemukan di Indonesia. BRF di Sunda basin 
hanya satu bukti (masih kemungkinan!) adanya typical coral-reef influence 
reservoir. Dikemukakan juga dalam workshop tsb bahwa terdapat kecenderungan 
umum alga merah dan foraminifera bentonik besar adalah unsur biotik utama 
buildups karbonat Miosen di Ind (secara kontras koral dan Halimeda sangat umum 
pada reef moderen, seperti ditunjukkan studi di P. Seribu oleh Jordan/Mobil 
Oil??).

Dalam abstrak Pak Awang saya mendapat kesan bahwa “coral-dominated reef” 
mendominasi reservoar karbonat di Indonesia. Mohon di-elaborasi istilah dan 
model “reef” yg dipakai Pak Awang disini, karena bisa memberikan konotasi lain 
dan berbeda, seismically dan geologically. Catatan, dalam IPA Workshop 
di-usulkan modifikasi model karbonat Wilson untuk kasus di khas Indonesia yaitu 
Model ke IV “low-relief carbonate mud-banks” dimana matriks lime mud 
mendominasi batuan karbonat. Apakah model ini cukup valid dan dapat diterima 
practically?


Bukankah lebih tepat dikatakan bahwa perubahan relatif muka laut (relative sea 
level) yang disebabkan kombinasi fluktuasi eustatik dan fluktuasi ‘basin floor’ 
juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi pembentukan dan pemunahan 
karbonat? 
Dalam abstrak disinggung ‘karstic cavities’ sebagai porositas sekunder pada 
karbonat Paleogen. Lengkapnya: “Secondary porosities developed due to 
fracturing, chemical dissolution during burial, or as karstic cavities. 
However, the opportunities for leaching were limited”. Kayaknya ada 
‘pertentangan’ pernyataan disini. Menurut saya proses ‘dissolution’ dan 
‘leaching’ adalah sama; ‘karstic cavities’ pun hasil ‘leaching/dissolution’ 
(karena ekspos ke permukaan/subaerial). Mohon penjelasannya disini. 
Porositas sekunder berupa mikroporositas tidak disinggung dalam abstrak.Menurut 
saya (berdasarkan pengalaman bertahun-tahun di-laboratorium) mikroporositas 
dalam matriks reservoir karbonat (chalky) sangat signifikan, walaupun umumnya 
permeabilitasnya rendah (namun paling tidak bagus untuk gas, dalam paper IPA 
dikatakan dapat mencapai 30% dan dapat dilihat pada logs!). Ini memberikan 
impak pada model petrofisik karbonat di Indonesia yang menarik untuk 
didiskusikan (‘fracture-micropore-vuggy/mouldic pore-stylolite-clay-dolomite’)! 
Dalam abstrak dikatakan: “Neomorphism is especially common in micritic 
carbonates reducing their porosities” Bukankan pernyataan ini ‘circular’? 
‘Micritic carbonate’ berkonotasi karbonat yang mengandung secara significant 
matrix berupa ‘lime mud’ (~ micrite) yang per-definisi adalah material yang 
berbutir halus (berukuran mirons) dan padat (dense); jadi ‘micritic carbonates’ 
memang seyogyanya berporositas rendah. Tapi mungkin ini masalah semantik saja. 
Kembali pada pembentukan porositas sekunder oleh ‘subaerial exposure’. Dalam 
Workshop IPA dikatakan bahwa proses ini sebenarnya kebanyakan dibuat 
berdasarkan konklusi logik model diagenesis yang ‘established’, namun tanpa 
bukti kuat di batuan itu sendiri (kehadiran fitur karstik seperti zone 
tanah-purba/caliche, pendant cement dll). Jadi jangan2 pembentukan porositas 
sekunder di banyak reservoir karbonat di Ind didominasi oleh disolusi burial? 
Mohon feedback-nya 
Adakah sudah ada studi pengaruh microbes/umumnya bakteri pada pembentukan, 
pengendapan dan diagenesis sedimen/reservoir karbonat di Indonesia? Saya 
sekarang bekerja di karbonat berumur ~150jt thn dan kwalitas reservoarnya 
sering dipengaruhi oleh microbes yang menurut literatur juga ter-identifiaksi 
pada sediment karbonat berumur lebih muda seperti karbonat Miosen kita di tanah 
air kita. Dulu 15 thn lalu waktu periksa batuan karbonat dgn SEM banyak 
material mikronik yang saya klasifikasikan sebagai “undifferentiated”…jgn2 
mereka adalah bakteri!

Sekali lagi selamat untuk pengadaan IATMI Workshop ini dimana pakar2 karbonat 
anak bangsa menjadi tuan di rumah sendiri! Walaupun produksi karbonat yg gede2 
(Arun, BRF di Sunda basin) sudah makin “kempes” dan mungkin “geus seep”. Kita 
berharap penggantinya segera ‘ditemukan’ bergandengan dengan Kujung karbonat 
dan lainnya.

Nuhun dan Salam Hangat!
Sanggam
--


Awang Satyana wrote: IATMI sedang mengadakan worshop “carbonate complexity : 
characterization, modeling and simulation” di Yogyakarta dari 22-25 April 2008. 
Workshop dihadiri sekitar 80 orang dari berbagai institusi pemerintah, oil 
companies, service companies, dan perguruan tinggi.

Workshop didahului oleh kursus satu hari tentang aspek geologi dan reservoir 
engineering karbonat dibawakan oleh Alit Ascaria (Premier Oil) dan Doddy 
Abdassah (ITB).

Workshop dibuka pada 23 April 2008 oleh Ketua IATMI Kuswo Wahyono, dilanjutkan 
dengan pidato sambutan oleh John Sinulingga mewakili Pertamina Eksploitasi 
(panitia workshop adalah IATMI Komda Cirebon –Pertamina), dan pidato/presentasi 
kunci dari Handoyo Eko Wahono (BPMIGAS) tentang lapangan-lapangan karbonat yang 
dikembangkan dalam lima tahun terakhir, Bob Yulian (BPMIGAS) tentang kemajuan 
eksplorasi target karbonat di Indonesia, dan Gatot Kariyoso Wiroyudo (Shell) 
tentang investasi teknologi Shell dalam mengerjakan karbonat.

Makalah teknis yang dipresentasikan sebanyak 16 makalah. Workshop diselingi 
dengan fieldtrip ke Gunung Kidul mengunjungi singkapan karbonat Wonosari. 

Pembicara mendapatkan kesempatan berbicara cukup tenang karena waktu yang 
diberikan antara 20-30 menit, pertanyaan 5-10 menit. Workshop ini jelas 
bermanfaat menambah wawasan aspek GGRE karbonat. Karbonat merupakan objektif 
sangat penting karena menyusun sekitar 50 % reservoir lapangan2 produksi di 
Indonesia. Bahkan dalam lima tahun terakhir, 54 % recoverable reserve 
lapangan-lapangan baru berasal dari reservoir karbonat, maka karbonat tak kalah 
penting dari reservoir silisiklastik, bahkan bisa lebih.

Saya diundang IATMI berkontribusi makalah tentang geologi regional karbonat di 
Indonesia. Di bawah ini adalah abstraknya, semoga berguna.

Mahasiswa tidak banyak yang hadir. Karena merasa ada yang kurang kalau saya 
hanya mempresentasikan makalah saya kepada para profesional di workshop, maka 
pada hari yang sama saya ke UGM dan mempresentasikan materi yang sama di 
hadapan para mahasiswa tetapi dalam format penyampaian kepada mahasiswa. 
Setelah itu, masih di UGM, saya melanjutkan mempresentasikan makalah 
”Sandhyakala ning Jenggala dan Majapahit : Hipotesis Kebencanaan Geologi” – 
kali ini jauh lebih tenang tak seperti saat mempresentasikan makalah ini di PIT 
IAGI 2007 Bali yang mesti berpacu dengan waktu yang terbatas. Waktu yang 
terbatas atau terburu2 akan menyulitkan pendengar mencerna materi yang 
disampaikan. Sebagai informasi, hipotesis ini telah ”ditangkap” National 
Geographic Channel untuk menjadi tayangan (pengambilan gambar sudah dilalukan) 
di dalam film dokumenter ”LUSI”.

Demikian, laporan singkat.
awang – Grand Mercure – 24/4/2008, 02.15

LAMPIRAN 

Geologic Controls on Carbonate Reservoirs in Indonesia : 
Regional Overview

Awang Harun Satyana

(BPMIGAS)

Carbonate reservoirs are characterized by extreme heterogeneity of porosity and 
permeability. This is related to the complexities of the original depositional 
environment and the diagenetic influences that can modify the original 
textures. Wide variety of environmental facies and diagenetic changes express 
controls of geologic factors. Therefore, in characterizing carbonate 
reservoirs, it is important to evaluate geologic controls which influence 
carbonate sedimentation and diagenesis. 

Being located at warm humid tropical shallow water, in Indonesia carbonates are 
geographically and temporally widespread. They occur in a range of ages and 
depositional settings which were often affected by coeval tectonism, 
siliciclastic input or volcanism. The carbonates developed in various tectonic 
settings of back-arc, intra-arc, fore-arc, and foreland basins; island arc; 
micro-continents; and continental passive margins. They developed as patch 
reefs of land-attached platform such as Baturaja buildups in South Sumatra and 
West Java, fringing reefs such as Kais buildups on Arar High, the Bird’s Head 
of Papua, barrier reefs such as Ujung Pangkah reefs in East Java, and pinnacle 
reefs overlying offshore isolated platforms such as reefs of the Cepu High, 
East Java and Arun reefs in North Sumatra. In each a variety of carbonate 
depositional systems, the reefs often developed on structural highs. 
Subsidence, uplift, active faulting, tilting or associated
silici/volcaniclastic input strongly affected facies variability, 
stratal/platform geometries, sequence development and carbonate termination. 
These geologic factors influence distribution and continuity of the carbonate 
reservoirs.

Ages of carbonates influence the basic ingredients of carbonates. Diversity, 
abundance, dominant mineralogy, and relative importance of sediment-producing 
marine invertebrates are various through the geologic periods. This will 
influence the response of carbonates when they are changed by diagenesis. 
Producing carbonate reservoirs in Indonesia range in ages from the Jurassic 
Manusela fractured oolitic carbonates in Seram Island, Eastern Indonesia to 
Pliocene globigerinid limestones of the Madura Strait. Paleogene carbonates in 
Indonesia are commonly dominated by larger foraminifera. These carbonates 
typically form large-scale platforms or isolated shoals. Good poroperms can be 
preserved in shoal or redeposited carbonates lacking micrite. Secondary 
porosities developed due to fracturing, chemical dissolution during burial, or 
as karstic cavities. However, the opportunities for leaching were limited. 
Neogene carbonates often contain abundant aragonitic bioclasts, such as
corals. They typically develop as reefal buildups, shelfal deposits or as 
isolated platforms. Compared with Paleogene carbonates, poroperms are generally 
higher in Neogene carbonates, various porosities all occur. The most important, 
common and economic carbonate reservoirs in Indonesia are the Miocene buildups 
such as Arun in North Sumatra, Baturaja in South Sumatra and West Java, Kujung 
I or Prupuh in East Java, and Kais in Salawati, Papua.

Petrographic studies of carbonate reservoirs in Indonesia have shown that they 
have been subjected to a number of diagenetic processes including compaction 
(stylolization), dissolution, cementation, neomorphism, silicification, 
dolomitization and fracturing. Most of these processes are common to all 
depositional facies types (reefal, near reef, shallow shelf and outer shelf 
open marine). Original particle types of the sediments inherited from the 
deposition play an important role in this respect. Interconnected corallites 
commonly suffer dissolution resulting in porosities. Neomorphism is especially 
common in micritic carbonates reducing their porosities. Dolomitization has a 
varied distribution and in many cases is associated with clay minerals. It may 
affect reservoir poroperms and be a factor in generation of undesirable 
non-hydrocarbon gases. Stylolization and silicification are localized features. 
Study of sequence of diagenetic events is important for knowing the
preservation or occlusion of porosities.

An understanding of the geologic controls on carbonate depositional 
environments, spatial and temporal facies distributions and controls on 
deposition and diagenesis is essential in order to characterize carbonate 
reservoirs and to evaluate their considerable economic potential.***


---------------------------------
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

       
---------------------------------
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

Kirim email ke