Dua puluh tahun yang lalu, Juni 1988, di tengah saya libur setahun dari kuliah,
saya berada di Jajayapura, bekerja selama dua minggu memilih-milih laporan
Belanda, memotokopinya, dan menerjemahkannya untuk sebuah perusahaan emas asal
Australia. Pada saat itulah saya menemukan buku-buku lapangan asli beberapa
geologist Belanda yang pernah bekerja di Papua, yang namanya selama itu hanya
saya baca dari buku van Bemmelen (1949), antara lain Molengraaff. Saya pun
menemukan beberapa laporan NNGPM tentang awal eksplorasi perminyakan di wilayah
Papua.
Jayapura, Juni 1988 adalah sebuah kota yang mahal dan tetap terpencil. Ongkos
fotokopi Rp 75 selembar (saat itu di Bandung fotokopi Rp 15-Rp 20). Koran
Kompas datang terlambat 3-4 hari. Harian lokal, Cenderawasih, terbit seminggu
sekali. Beberapa tabloid yang terbit di Jakarta terlambat satu-dua minggu di
sini. Di kota, para pedagang makanan adalah dominan orang2 Bugis : ikan bakar.
Satu restoran Padang ada. Sementara itu, penduduk aslinya hanya menggelar tikar
1x1 meter berjualan kapur, sirih, dan buah matoa, itu saja. Malam minggu, hotel
tempat saya menginap penuh dengan penduduk asli ini (para pegawai kantor),
mereka membelanjakan gajinya untuk minum-minum bir dan membeli porkas (jenis
lotere yang populer saat itu). Minggu paginya, saya menemukan mereka
bergelimpangan di pinggir jalan – pulas tertidur. Di ujung jalan, saya melihat
dua orang dari mereka sedang berkejaran, yang mengejar membawa pecahan botol
sambil berteriak ”Kubunuh kau...!”.
Hm..masih mabuk rupanya. –demikian sepenggal paragraf buku harian saya.
Belum lama ini saya membuka kembali catatan2 saya itu. Sebagian saya ingin
menceritakannya di bawah ini. Semoga menjadi variasi bacaan dari tulisan2 saya.
---------------
Ini kisah lama, sekitar 75 tahun yang lalu, mungkin masih menarik untuk
diketahui lebih luas sebab selama ini hanya tersimpan di buku-buku lama, yang
sulit terbuka untuk umum. Ini kisah eksplorasi minyak di Papua, pulau terakhir
yang dieksplorasi Belanda di Indonesia.
Tahun 1935, NNGPM (the Nederlandsche Nieuw-Guinee Petroleum Maatschappij) mulai
mengeksplorasi bagian barat Papua (Vogel Kop – Bird’s Head, alias Kepala
Burung) seluas 10 juta hektar. Pulau besar ini belum pernah dipetakan, peta
yang ada hanya peta topografi kasar dalam rangka patroli militer. Maka tim
besar di bawah pimpinan Dr A.H. Colijn, manajer eksplorasi dari Tarakan, mulai
melakukan perkerjaan raksasa memetakan geologi Papua. Dengan berbagai
pertimbangan, NNGPM memilih Babo di Teluk Berau sebagai basecamp. Pekerjaan
pemetaan di area yang sangat luas ini dilakukan pertama kali menggunakan
pesawat terbang. Pesawat amfibi Sikorski yang bisa mendarat di air ditugaskan
untuk pekerjaan ini. Para pilot pesawat ini mesti pandai-pandai membaca cuaca
yang sering berkabut dan berubah di atas Papua, mereka pun mesti pandai
bermanuver di antara celah-celah tebing batuan gamping di beberapa pegunungan
Papua. Dari ketinggian 12.000 kaki, beberapa formasi
geologi bisa diketahui. Ini adalah pekerjaan awal –semacam reconnaissance
survey.
Pekerjaan selanjutnya, yang jauh lebih menantang adalah ground survey. Torehan
banyak sungai di Papua menolong para geologists Belanda memetakan geologi
wilayah besar ini. Para kru lapangan semuanya adalah suku2 dari banyak wilayah
di Indonesia : Dayak, Manado, Ambon, Jawa, Batak, dan Banda. Suku Papua sendiri
kelihatannya tak ada sebab pada zaman itu diceritakan bahwa mereka masih
merupakan suku pengayau alias pemenggal kepala yang diceritakan tentara Inggris
di perbatasan PNG-Papua sebagai suku pelintas batas yang suka mengejar musuhnya
melewati garis batas demarkasi. Para geologists yang memetakan geologi Papua
memilih camp-nya di perahu, ini jauh lebih nyaman daripada di dalam hutan yang
sangat lebat. Setiap perahu dilengkapi dengan : listrik dari genset, radio,
kulkas, lampu2, dan bak mandi untuk berendam dengan cukup nyaman. Mandi harus
di atas perahu sebab bila mandi di sungai akan menjadi santapan ramai-ramai
para buaya. Detasemen militer tentu
selalu berjaga mengawal para geologists dan kru-nya ini, maklum mereka berada
di wilayah yang alam dan penduduknya dinilai tidak ramah.
Lama-kelamaan, bumi Papua pun mulai terpetakan dan terbuka. Beberapa wilayah
telah dibuka untuk dibangun jalan, dan bahkan beberapa sumur pertama telah
dibor : Wasian, Klamono, Jef Lio, Kasim. Pemukiman2 para pendatang mulai
meramaikan bagian barat Papua, perahu2 kecil yang pada awalnya kecil telah
menjadi kapal-kapal besar bermotor dengan nama : Jan Carstenz, Soedoe, Moeara,
Boelian, Minjak Tanah, dan Casuaris. Desa Papua Babo, di sebuah pulau delta
kecil Sianiri Besar, tetap dipilih sebagai base. Ini karena posisinya yang
berada di tengah di antara wilayah eksplorasi NNGPM. Sungai di depannya, Sungai
Kasira, juga cukup dalam untuk kapal-kapal besar berlabuh. Meskipun deltanya
tentu saja berawa-rawa, tetapi Babo base terletak diatas bukit berkerikil
setinggi 30 kaki dan masih aman dari pasang naik di sekitarnya. Di bukit ini
kantor NNGPM dibangun, juga pemukiman para pekerjanya. Dan di sekitar Babo ada
ruang luas yang telah dibuka tempat dibangun
aerodrom, hanggar, perbengkelan, rumah sakit, lapangan golf, dan bioskop
(bayangkan di tepi hutan Papua yang terpencil, pada tahun 1930-an telah ada
lapangan golf).
Suku2 Papua pun mulai mau bekerja sama dengan para pendatang ini. Sebelumnya,
mereka jarang melihat para pendatang berkulit putih, kecuali para pemburu
burung cenderawasih atau para pedagang Cina. Orang2 Papua ini diperkerjakan
NNGPM untuk membongkar muat barang-barang dari kapal2 yang berlabuh di depan
Babo dan menarik batang2 pohon dari sekitar hutan Babo untuk membangun
perumahan. Bahkan, mereka juga mau berbulan-bulan meninggalkan kampung2nya
membantu NNGPM membuka hutan. Mereka bekerja untuk ”Tuan Merah”, begitu mereka
memanggil tuan-tuan Belanda ini (mungkin karena muka Belanda ini merah bila
kepanasan). Dari suku pemburu menjadi suku pekerja, tentu sebuah perubahan
budaya yang besar buat mereka. Diceritakan bahwa suku-suku Papua ahli
menggunakan tombak, busur dan anak panah. Keahlian ini telah menjadi rezeki
untuk seluruh kru sebab mereka bisa dengan mudah makan daging segar kanguru,
babi, dan merpati hutan. Mereka meninggalkan kewajiban
mengolah sagu kepada para perempuan di sukunya. Sebelum kedatangan NNGPM,
suku2 Papua ini masih menggunakan cangkang kerang sebagai alat pembayaran, kini
mereka mempunyai uang Belanda sebagai upah mereka bekerja. Dan saat mereka
membawa uang Belanda ke toko-toko yang baru dibuka, mereka begitu takjub bisa
mendapatkan barang2 yang semula tak mereka lihat. Dan, standar hidup suku Papua
pun meningkat dengan cepat. Mereka mengalami revolusi budaya dalam beberapa
tahun saja, jauh lebih cepat daripada lebih dari 1000 tahun sejak nenek
moyangnya mulai mendiami wilayah ini.
Para pekerja Eropa NNGPM pun yang semula hanya laki-laki saja mulai membawa
kaum perempuannya ke Babo. Maka komunitas seperti di kota besar pun mulai
tumbuh, laki-laki perempuan bercampur baur. Bila ada kelahiran anak, maka
bendera di kantor NNGPM dinaikkan, bila ada anak kembar lahir; maka dua bendera
NNGPM akan dikibarkan. Rute2 penerbangan keluarga mulai ada, sekaligus membawa
semua keperluan untuk komunitas. Inilah cikal bakal penerbangan ke Papua. Pada
tahun 1940, diresmikan layanan terbang ke wilayah ini ”Groote Oost Luchtvaart”
(Great East Flight) oleh KNILM (Koninklijke Nederlandsch Indische Luchtvaart
Maatschappij) yang punya airport di Babo.
Semua pesta2 penting tentu saja diadakan dengan meriah : Kelahiran Ratu
Belanda, festival St Nicholas, Natal, dan Tahun Baru. Setiap malam minggu ada
pemutaran film di bioskop perusahaan, ada pertandingan hoki, sepak bola, tenis
dan golf. Para wanita Belanda pun dengan bantuan suku2 asli yang telah menjadi
pekerja NNGPM punya hobi baru yaitu mengumpulkan anggrek hutan dari berbagai
varietas. Para botanist dan zoologist amatir mulai bermunculan dengan kayanya
flora dan fauna Papua ini. Komunitas ini pun menghasilkan para etnograf amatir
yang meneliti para suku2 Papua di sekitar Babo. Suatu hari, Mr. Wissel, seorang
insinyur NNGPM terbang di atas Punggung Papua (Pegunungan Tengah) Papua dan
menemukan beberapa danau besar di sekitar wilayah Enarotali sekarang. Pantai
danau ini dihuni oleh suku2 Papua yang belum dikenal sama-sekali oleh dunia
luar. Saat Wissel turun dari pesawat, ia disambut sebagai ”dewa dari langit”.
Kemudian, danau ini sekarang
terkenal sebagai Danau Wissel. Hubungan baik terbina, beberapa orang suku
Papua penghuni pantai danau ini pernah diterbangkan ke Babo untuk operasi
darurat.
Begitulah sekelumit sejarah pembukaan wilayah Papua di Kepala Burung. Membuka
semuanya : pengetahuan geologi, membawa minyak ke permukaan (lapangan Klamono,
Mogoi, Wasian, dll.), dan membuka keterpencilan suku-suku Papua. Ini sebuah
contoh bagaimana minyak bisa membuka dunia yang semula ”back of beyond”.
Teman-teman ex Petromer Trend (kini PetroChina) yang menemukan lapangan2 besar
di Salawati awal tahun 1970-an (misal Walio dan Kasim), BP yang sedang
mengembangkan Tangguh di Berau Bay, dan Genting Kasuri yang mau memulai survey
di wilayah ex Babo, pasti punya cerita tersendiri dan terkini membuka Kepala
Burung ini; saya hanya menceritakan sedikit masa lalunya.
Salam,
awang