Pak Awang menarik sekali, seismic survey pertama yang dilakukan di Papua juga terjadi th 1936 yaitu Refraction seismic, sayangnya saya lupa publikasi yang pernah say baca.
Salam Yanto Salim Powered by Telkomsel BlackBerry® -----Original Message----- From: Awang Satyana <awangsaty...@yahoo.com> Date: Thu, 29 Jan 2009 21:10:27 To: IAGI<iagi-net@iagi.or.id>; Forum HAGI<fo...@hagi.or.id>; Geo Unpad<geo_un...@yahoogroups.com>; Eksplorasi BPMIGAS<eksplorasi_bpmi...@yahoogroups.com> Subject: [iagi-net-l] Papua Petroleum Exploration 1930s Dua puluh tahun yang lalu, Juni 1988, di tengah saya libur setahun dari kuliah, saya berada di Jajayapura, bekerja selama dua minggu memilih-milih laporan Belanda, memotokopinya, dan menerjemahkannya untuk sebuah perusahaan emas asal Australia. Pada saat itulah saya menemukan buku-buku lapangan asli beberapa geologist Belanda yang pernah bekerja di Papua, yang namanya selama itu hanya saya baca dari buku van Bemmelen (1949), antara lain Molengraaff. Saya pun menemukan beberapa laporan NNGPM tentang awal eksplorasi perminyakan di wilayah Papua. Jayapura, Juni 1988 adalah sebuah kota yang mahal dan tetap terpencil. Ongkos fotokopi Rp 75 selembar (saat itu di Bandung fotokopi Rp 15-Rp 20). Koran Kompas datang terlambat 3-4 hari. Harian lokal, Cenderawasih, terbit seminggu sekali. Beberapa tabloid yang terbit di Jakarta terlambat satu-dua minggu di sini. Di kota, para pedagang makanan adalah dominan orang2 Bugis : ikan bakar. Satu restoran Padang ada. Sementara itu, penduduk aslinya hanya menggelar tikar 1x1 meter berjualan kapur, sirih, dan buah matoa, itu saja. Malam minggu, hotel tempat saya menginap penuh dengan penduduk asli ini (para pegawai kantor), mereka membelanjakan gajinya untuk minum-minum bir dan membeli porkas (jenis lotere yang populer saat itu). Minggu paginya, saya menemukan mereka bergelimpangan di pinggir jalan – pulas tertidur. Di ujung jalan, saya melihat dua orang dari mereka sedang berkejaran, yang mengejar membawa pecahan botol sambil berteriak ”Kubunuh kau...!”. Hm..masih mabuk rupanya. –demikian sepenggal paragraf buku harian saya. Belum lama ini saya membuka kembali catatan2 saya itu. Sebagian saya ingin menceritakannya di bawah ini. Semoga menjadi variasi bacaan dari tulisan2 saya. --------------- Ini kisah lama, sekitar 75 tahun yang lalu, mungkin masih menarik untuk diketahui lebih luas sebab selama ini hanya tersimpan di buku-buku lama, yang sulit terbuka untuk umum. Ini kisah eksplorasi minyak di Papua, pulau terakhir yang dieksplorasi Belanda di Indonesia. Tahun 1935, NNGPM (the Nederlandsche Nieuw-Guinee Petroleum Maatschappij) mulai mengeksplorasi bagian barat Papua (Vogel Kop – Bird’s Head, alias Kepala Burung) seluas 10 juta hektar. Pulau besar ini belum pernah dipetakan, peta yang ada hanya peta topografi kasar dalam rangka patroli militer. Maka tim besar di bawah pimpinan Dr A.H. Colijn, manajer eksplorasi dari Tarakan, mulai melakukan perkerjaan raksasa memetakan geologi Papua. Dengan berbagai pertimbangan, NNGPM memilih Babo di Teluk Berau sebagai basecamp. Pekerjaan pemetaan di area yang sangat luas ini dilakukan pertama kali menggunakan pesawat terbang. Pesawat amfibi Sikorski yang bisa mendarat di air ditugaskan untuk pekerjaan ini. Para pilot pesawat ini mesti pandai-pandai membaca cuaca yang sering berkabut dan berubah di atas Papua, mereka pun mesti pandai bermanuver di antara celah-celah tebing batuan gamping di beberapa pegunungan Papua. Dari ketinggian 12.000 kaki, beberapa formasi geologi bisa diketahui. Ini adalah pekerjaan awal –semacam reconnaissance survey. Pekerjaan selanjutnya, yang jauh lebih menantang adalah ground survey. Torehan banyak sungai di Papua menolong para geologists Belanda memetakan geologi wilayah besar ini. Para kru lapangan semuanya adalah suku2 dari banyak wilayah di Indonesia : Dayak, Manado, Ambon, Jawa, Batak, dan Banda. Suku Papua sendiri kelihatannya tak ada sebab pada zaman itu diceritakan bahwa mereka masih merupakan suku pengayau alias pemenggal kepala yang diceritakan tentara Inggris di perbatasan PNG-Papua sebagai suku pelintas batas yang suka mengejar musuhnya melewati garis batas demarkasi. Para geologists yang memetakan geologi Papua memilih camp-nya di perahu, ini jauh lebih nyaman daripada di dalam hutan yang sangat lebat. Setiap perahu dilengkapi dengan : listrik dari genset, radio, kulkas, lampu2, dan bak mandi untuk berendam dengan cukup nyaman. Mandi harus di atas perahu sebab bila mandi di sungai akan menjadi santapan ramai-ramai para buaya. Detasemen militer tentu selalu berjaga mengawal para geologists dan kru-nya ini, maklum mereka berada di wilayah yang alam dan penduduknya dinilai tidak ramah. Lama-kelamaan, bumi Papua pun mulai terpetakan dan terbuka. Beberapa wilayah telah dibuka untuk dibangun jalan, dan bahkan beberapa sumur pertama telah dibor : Wasian, Klamono, Jef Lio, Kasim. Pemukiman2 para pendatang mulai meramaikan bagian barat Papua, perahu2 kecil yang pada awalnya kecil telah menjadi kapal-kapal besar bermotor dengan nama : Jan Carstenz, Soedoe, Moeara, Boelian, Minjak Tanah, dan Casuaris. Desa Papua Babo, di sebuah pulau delta kecil Sianiri Besar, tetap dipilih sebagai base. Ini karena posisinya yang berada di tengah di antara wilayah eksplorasi NNGPM. Sungai di depannya, Sungai Kasira, juga cukup dalam untuk kapal-kapal besar berlabuh. Meskipun deltanya tentu saja berawa-rawa, tetapi Babo base terletak diatas bukit berkerikil setinggi 30 kaki dan masih aman dari pasang naik di sekitarnya. Di bukit ini kantor NNGPM dibangun, juga pemukiman para pekerjanya. Dan di sekitar Babo ada ruang luas yang telah dibuka tempat dibangun aerodrom, hanggar, perbengkelan, rumah sakit, lapangan golf, dan bioskop (bayangkan di tepi hutan Papua yang terpencil, pada tahun 1930-an telah ada lapangan golf). Suku2 Papua pun mulai mau bekerja sama dengan para pendatang ini. Sebelumnya, mereka jarang melihat para pendatang berkulit putih, kecuali para pemburu burung cenderawasih atau para pedagang Cina. Orang2 Papua ini diperkerjakan NNGPM untuk membongkar muat barang-barang dari kapal2 yang berlabuh di depan Babo dan menarik batang2 pohon dari sekitar hutan Babo untuk membangun perumahan. Bahkan, mereka juga mau berbulan-bulan meninggalkan kampung2nya membantu NNGPM membuka hutan. Mereka bekerja untuk ”Tuan Merah”, begitu mereka memanggil tuan-tuan Belanda ini (mungkin karena muka Belanda ini merah bila kepanasan). Dari suku pemburu menjadi suku pekerja, tentu sebuah perubahan budaya yang besar buat mereka. Diceritakan bahwa suku-suku Papua ahli menggunakan tombak, busur dan anak panah. Keahlian ini telah menjadi rezeki untuk seluruh kru sebab mereka bisa dengan mudah makan daging segar kanguru, babi, dan merpati hutan. Mereka meninggalkan kewajiban mengolah sagu kepada para perempuan di sukunya. Sebelum kedatangan NNGPM, suku2 Papua ini masih menggunakan cangkang kerang sebagai alat pembayaran, kini mereka mempunyai uang Belanda sebagai upah mereka bekerja. Dan saat mereka membawa uang Belanda ke toko-toko yang baru dibuka, mereka begitu takjub bisa mendapatkan barang2 yang semula tak mereka lihat. Dan, standar hidup suku Papua pun meningkat dengan cepat. Mereka mengalami revolusi budaya dalam beberapa tahun saja, jauh lebih cepat daripada lebih dari 1000 tahun sejak nenek moyangnya mulai mendiami wilayah ini. Para pekerja Eropa NNGPM pun yang semula hanya laki-laki saja mulai membawa kaum perempuannya ke Babo. Maka komunitas seperti di kota besar pun mulai tumbuh, laki-laki perempuan bercampur baur. Bila ada kelahiran anak, maka bendera di kantor NNGPM dinaikkan, bila ada anak kembar lahir; maka dua bendera NNGPM akan dikibarkan. Rute2 penerbangan keluarga mulai ada, sekaligus membawa semua keperluan untuk komunitas. Inilah cikal bakal penerbangan ke Papua. Pada tahun 1940, diresmikan layanan terbang ke wilayah ini ”Groote Oost Luchtvaart” (Great East Flight) oleh KNILM (Koninklijke Nederlandsch Indische Luchtvaart Maatschappij) yang punya airport di Babo. Semua pesta2 penting tentu saja diadakan dengan meriah : Kelahiran Ratu Belanda, festival St Nicholas, Natal, dan Tahun Baru. Setiap malam minggu ada pemutaran film di bioskop perusahaan, ada pertandingan hoki, sepak bola, tenis dan golf. Para wanita Belanda pun dengan bantuan suku2 asli yang telah menjadi pekerja NNGPM punya hobi baru yaitu mengumpulkan anggrek hutan dari berbagai varietas. Para botanist dan zoologist amatir mulai bermunculan dengan kayanya flora dan fauna Papua ini. Komunitas ini pun menghasilkan para etnograf amatir yang meneliti para suku2 Papua di sekitar Babo. Suatu hari, Mr. Wissel, seorang insinyur NNGPM terbang di atas Punggung Papua (Pegunungan Tengah) Papua dan menemukan beberapa danau besar di sekitar wilayah Enarotali sekarang. Pantai danau ini dihuni oleh suku2 Papua yang belum dikenal sama-sekali oleh dunia luar. Saat Wissel turun dari pesawat, ia disambut sebagai ”dewa dari langit”. Kemudian, danau ini sekarang terkenal sebagai Danau Wissel. Hubungan baik terbina, beberapa orang suku Papua penghuni pantai danau ini pernah diterbangkan ke Babo untuk operasi darurat. Begitulah sekelumit sejarah pembukaan wilayah Papua di Kepala Burung. Membuka semuanya : pengetahuan geologi, membawa minyak ke permukaan (lapangan Klamono, Mogoi, Wasian, dll.), dan membuka keterpencilan suku-suku Papua. Ini sebuah contoh bagaimana minyak bisa membuka dunia yang semula ”back of beyond”. Teman-teman ex Petromer Trend (kini PetroChina) yang menemukan lapangan2 besar di Salawati awal tahun 1970-an (misal Walio dan Kasim), BP yang sedang mengembangkan Tangguh di Berau Bay, dan Genting Kasuri yang mau memulai survey di wilayah ex Babo, pasti punya cerita tersendiri dan terkini membuka Kepala Burung ini; saya hanya menceritakan sedikit masa lalunya. Salam, awang