Mas Vicky dan Pak Kusuma

Saya kira paradigm untuk peningkatan produksi dan mengurangi cost recovery
harus dipilah secara hati hati.

Melihat kondisi lapangan produksi di Indonesia yang sebagian besar sudah
berproduksi lebih dari 10, tentunya sudah melewati masa peak produksi dan
mulai memasuki masa penurunan . Usaha usaha yang banyak dilakukan saat ini
bukan lagi untuk meningkatkan produksi tapi lebih untuk menahan laju
penurunan atau paling tidak membuat produksi stabil.
Dan wajar bahwa biaya untuk menahan penurunan tentunya lebih mahal daripada
pada masa awal produksi

Sebagai contoh sederhana saja adalah pada saat kita hendak membor sumur
dimana  sudah ada depleted reservoir.               Pada saat belum ada
depleted reservoir kita cukup dengan 1 phase drilling, tapi dengan adanya
depleted reservoir kita terpaksa merubah strategi dengan 2 phase drilling
untuk menutup depleted reservoir dulu agar tidak terjadi loss , sebelum kita
melanjutkan drilling formasi dengan mudweight yang lebih tinggi.
Dengan contoh ini saja tentunya menunjukkan bahwa biaya untuk memproduksi
jadi bertambah.

Dan memang ada lapangan tua yang sudah kakek kakek bisa dibangkitkan jadi
ABG dengan mengintensifkan G&G studies dan mengebor sumur baru, tapi saya
kira jumlahnya hanya sedikit dan secara 2G&R cukup kompleks.

Untuk itu saya setuju dengan pendapat bahwa memang peningkatan produksi
hanya bisa dilakukan dengan mengintensifkan explorasi baik intensive dan
extensive (menemukan stakes baru yang belum pernah diproduksi) atau new
venture ( menemukan lapangan baru).

Salam

PS : sekalian mengobati kangennya Mas Iwan membaca tulisan saya yang  tanpa
tanda tanya
2011/9/26 <koeso...@melsa.net.id>

> **Paling gampang sih hilangkan saja cost recovery itu, tapi split
> dinaikkan sesuai dg kesepakatan pemerintah dan PSC, akan banyak membebaskan
> geologist dari pekerjaan administrasi, dan ikut berexplorasi. Juga akan
> memangkas birokrasi. Semua untung lah. RPK
>
> Powered by Telkomsel BlackBerry®
> ------------------------------
>  *From: *Rovicky Dwi Putrohari <rovi...@gmail.com>
> *Date: *Mon, 26 Sep 2011 09:50:50 +0700
>  *To: *<iagi-net@iagi.or.id>
> *ReplyTo: *<iagi-net@iagi.or.id>
> *Subject: *Re: [iagi-net-l] Re: [Geologi UGM] Cost Recovery = Investasi ?
>
> 2011/9/26 kartiko samodro <kartiko.samo...@gmail.com>
>
>> Mas Vicky
>>  Apa lalu sebaiknya cost recovery hanya akan diberlakukan berdasarkan
>> persentase kenaikan jumlah produksi ?
>> Sementara semua usaha / biaya yang dikeluarkan tanpa kenaikan jumlah
>> produksi dianggap sebagai resiko dari kontraktor migas ?
>>
>
> Kalau di Malesa, CR diperhitungkan terhadap cost dikenal dengan ROC
> (Recovery over Cost). JAdi jumlah yang boleh di cost recovery akan
> ditentukan pada biaya. Malah mungkin lebih tepat kalau dibuat Split over
> cost, artinya split akan lebih bagus untuk operator apabila costnya rendah.
> Dalam hal ini maka operator akan sangat berkepentingan dalam mengoptimasi
> biaya supaya perolehan keuntungannya optimum.
> Tetapi tentunya arrangement2 baru seperti ini untuk PSC yang akan datang,
> sedangkan PSC yang sudah berjalan tetap terikat pada kontrak yg sedang
> berjalan.
>
> Ketika anda introduce "kenaikan" produksi, tentunya harus ada persetujuan
> base-line. Ini mengundang diskusi sangat lama.
>
> btw, aku masih bertanya-tanyi ttg Hatta Radjasa yang punya paradigma rada
> nyentrik spt disini : Hatta: Kemacetan Simbol Kemajuan Perekonomian
>
> http://economy.okezone.com/read/2011/08/07/20/489079/hatta-kemacetan-simbol-kemajuan-perekonomian
>
>
> RDP
>

Kirim email ke