Di indonesia akan sulit, karena kerja antar kabupaten sulit, gubernur saja gak bisa satukan bupati danyang setingkat.
Masih sangat kuat egoisme dan atau kedaerahannya. Coba antar kampung saja saling gempur. Semoga bisa damai. Powered by Telkomsel BlackBerry® -----Original Message----- From: bosman batubara <bosman200...@yahoo.com> Date: Sat, 25 Feb 2012 00:22:26 To: iagi-net@iagi.or.id<iagi-net@iagi.or.id> Reply-To: <iagi-net@iagi.or.id> Subject: Re: [iagi-net-l] Indonesia Membutuhkan Komisi Pemberantasan Banjir Jawabannya sebenarnya ada di tulisan itu sendiri... nih saya kopikan... saya juga cuma melempar ide. Atau mungkin logikanya kita balik, gimana memaksimalkan dan mengintegrasikan kerja2 unit2 tentang bencana yang sudah ada? *** ,... Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk menerobos perbedaan konsep administrasi dan DAS ini? Solusi paling mendasar tentu saja adalah, tata ulang batas-batas adminisrasi dan buat batas yang baru sesuai dengan morfologi, dan kalau mungkin distrbusi ekosistem, dimana konsep ini sering dikenal dengan bio/eco-region. Akan tetapi ini tentu saja bukan pekerjaan yang mudah. Ada banyak instrument birokrasi seperti perkantoran, dan bahkan juga sistem pendataan, yang juga mesti dirombak. Dan sudah pasti biayanya akan sangat mahal. Di sini barangkali penting menggali inspirasi dari daerah lain di dunia, kita ambil contoh manajemen Sungai Danube yang melibatkan 14 negara (Austria, Bosnia-Herzegovina, Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Jerman, Hungaria, Moldovia, Montenegro, Rumania, Serbia, Slovakia, Slovenia dan Ukraina). International Commission for the Protection of the Danube River (icpdr; http://www.icpdr.org/), selain mengurusi masalah ekosistem, kualitas air, polusi, air tanah, bendungan dan struktur hydrologi lainnya, manajemen cekungan sungai, juga memasukkan banjir dan kekeringan dalam list urusan mereka. Artinya, badan inilah yang menjadi otoritas terhadap rencana aksi pengurangan resiko banjir untuk kawasan DAS Danube. Hal yang sama untuk Sungai Rhine yang melibatkan Swiss, Perancis, Luxemburg dan Belanda dengan superbody yang melintas batas administrasi negara dengan nama International Commision for the Protection of the Rhine (ICPR; http://www.iksr.org/index.php?id=58&L=3). Dan juga untuk Sungai Orda yang melibatkan Jerman, Republik Ceko dan Polandia (http://www.mkoo.pl/index.php?mid=18). Lantas apa yang kita miliki? Untuk manajemen bencana di Indonesia, kita memiliki Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Selain itu kita juga memiliki Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang hadir lewat Balai Sungai-sungainya. Dan yang terakhir, kita juga memiliki Staf Khsusus Presiden bidang Kebencanaan dan Bantuan Sosial. Serta tak boleh kita lupakan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) seperti yang dibentuk di Aceh pasca tsunami 2004. Dari kelima badan yang kita miliki di atas, lantas siapa yang bertanggung jawab terhadap banjir musiman di Jakarta? Siapa yang akan kita tuding dan tuntut mundur kalau banjir terjadi terus-menerus? Sepertinya tidak satu pun. BNPB sementara ini tampaknya masih bergelut dengan masalah institusi dan belum memiliki kapabilitas kelembagaan untuk mengurusi bencana seperti banjir yang membutuhkan riset dan kecakapan teknologi. Balai-balai sungai di PU, yang tampaknya sebenarnya merupakan gudang para pakar banjir, lebih terkonsentrasi mengurusi permasalahan suplai air minum. BRR sifatnya ad hoc, hanya muncul ketika kita memiliki kasus seperti tsunami Aceh 2004. Staf Khusus Presiden untuk bidang Kebencanaan dan Bantuan Sosial lebih tidak jelas lagi, belakangan ini malah sibuk dalam urusan “piramida” di Gunung Sadahurip. Indikasi paling gampang dari kurang kuatnya, dan juga tidak sinergisnya, pekerjaan badan-badan yang berhubungan dengan bencana banjir yang kita miliki misalnya, dapat kita lihat dari hal yang kecil. Untuk kasus banjir, data menerus curah hujan dari setiap stasiun pengamatan adalah data yang sangat vital. Karena dari situ kita bisa mulai membuat model volume air yang kita miliki. Dari data curah hujan kita bisa menghitung berapa air yang masuk ke sebuah system catchment, dan dengan berbagai data lain kita bisa membuat sebuah neraca “water balance”. Kalau kita sudah memiliki model “water-balance” ini, maka minimal kita memiliki pijakan apa yang harus dilakukan, dimana ada permasalahan, dan skenario seperti apa yang perlu dikembangkan. Untuk kasus banjir, historical data dari curah hujan ini juga sangat dibutuhkan karena dari situ kita bisa membuat sebuah perhitungan yang berbasis sejarah untuk selanjutnya menggenerasi prediksi return period sebuah banjir sesuai dengan kebutuhan kita. Untuk masalah ini saja, kita belum beres. Sepertinya bidang ini ada di BMKG, tetapi manakala kita butuhkan, ia tidak tersedia dengan cepat. Jadi agak susah membayangkan badan-badan yang kita miliki seperti di atas bisa bekerja sinergis kalau untuk masalah database curah hujan saja kita tidak punya sebuah sistem yang mudah diakses. Di beberapa negara yang memiliki pengelolaan air yang baik, data seperti itu dengan mudah didapatkan, tinggal beberap klik di internet. Optimisme yang mungkin bisa kita uarkan adalah, pada dasarnya kita sudah punya institusi-institusi yang memadai untuk sebuah manajemen banjir yang integratif. Permasalahannya, tidak semua institusi itu bekerja dengan sinergi. Disebutkan begitu, kalaulah semua isntitusi itu berada di bawah satu sistem yang terintegrasi, niscaya terma “banjir kiriman” seperti di atas tidak akan muncul di laporan BAPPENAS. Dari sinilah muncul ide pembentukan sebuah “superbody” yang analog dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ...., tabik bosman batubara ________________________________ From: nyoto - ke-el <ssoena...@gmail.com> To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Saturday, February 25, 2012 4:04 AM Subject: Re: [iagi-net-l] Indonesia Membutuhkan Komisi Pemberantasan Banjir Lha sudah menjadi kebiasaan di Indonesia ini kan apa2 dibentuk komisi atau badan atau lembaga atau bisa juga satgas, yg terpenting bukan hasilnya, tetapi diatas kertasnya ada sesuatu supaya bisa ada "anggaran" utk pelaksanaan dan ada yg "tandatangan" utk mengeluarkan / membelanjakan uang negara secara resmi... itung2 pesta uang negara yg legitimate. wass, nyoto 2012/2/25 Ismail Zaini <lia...@indo.net.id> >sebetulnya kalau masalah bencana alam ( spt Banjir ) kan sudah ada Badan ( >BNPB ) yg nangani Bencana tsb , kenapa harus bikin bikin lagi Komisi baru >nanti malah kebanyakan Komisinya......, >Tugas Badan ini kan sudah jelas nangani bencana mulai pra bencana ( >penanggulangan ) , sampai paska bencana ( rehabilitasi ), lha pra bencana ini >kan mempunyai arti luas bisa dari studi studi itu kenapa terjadi bencana dan >bagaimana cara memitigasinya . >Badan ini juga dilengkapi oleh Tim Pengarah yang anggotanya ada yg dari unsur >masyarakat profesional........dan Badan ini juga akan gampang kuat untuk >untuk berkoordinasi dg Institusi yang ada spt Direktorat Sungai dan Balai >Besar Wilayah Sungai di PU , BKMG untuk urusan hujan dan cuaca, dll >............ini yang mestinya dioptimalkan..... > > >ISM > >----- Original Message ----- >>From: bosman batubara >>To: iagi net >>Sent: Friday, February 24, 2012 8:58 PM >>Subject: [iagi-net-l] Indonesia Membutuhkan Komisi Pemberantasan Banjir >> >> >>Hallo... mari kta teruskan diskusi banjirnya... >>*** >> >>Indonesia Membutuhkan Komisi Pemberantasan Banjir >>Tulisan ringan ini dapat dianggap sebagai terusan dari tulisan sebelumnya >>“Proyek Setengah Hati Menangani Banjir Jakarta’. Tulisan ini, pada dasarnya, >>terilhami oleh diskusi yang semakin tajam di mailing list alumni Jurusan >>Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada. Karena itu, terima kasih untuk semua >>partner diskusilah… >>*** >>Banjir tahunan sudah menjadi langganan bagi kota seperti Jakarta. Awal tahun >>ini Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah mewanti-wanti >>warga Jakarta agar bersiap menghadapi bencana banjir (Kompas, 2/1/2012). >>Dalam peringatannya BMKG menyatakan bahwa curah hujan yang tinggi dengan >>durasi yang lama akan melanda daerah Jakarta dan sekitarnya. Dan terbukti >>memang apa yang dikhawatirkan oleh BMKG. Pada bagian akhir bulan Februari >>ini, kawasan Bukit Duri, Tebet, Jakarta sudah mulai terkena banjir. >>Banjir bukan cuma masalah Jakarta, tetapi ia adalah masalah dunia. >>Berdasarkan data yang dirilis oleh Bank Dunia (BD; 2012), pada tahun 2010 >>saja di seluruh dunia ada sebanyak 178 juta orang terkena dampak banjir. Dan >>kerugian ekonomi akibat banjir-banjir tersebut untuk tahun 2008—2010 saja >>mencapai sebesar 40 milyar dollar Amerika Serikat (USD). Kalau data ini >>dipertajam, maka khusus untuk daerah Jabodetabek, menurut Badan Perencanaan >>Pembangunan Nasional (BAPPENAS; 2007), untuk banjir pada tahun 2007 saja >>total kerugian, termasuk di dalamnya hilangnya peluang untuk melaksanakan >>kegiatan ekonomi, mencapai 4.3 triliun Rupiah. Ini bukan jumlah yang sedikit, >>kalau dibandingkan misalnya dengan APBD DKI 2008 yang sebesar 20,59 triliun, >>maka kerugian akibat banjir di tahun 2007 adalah sekitar 20%, alias >>seperlima, dari APBD DKI untuk tahun 2008. Ini baru di DKI, belum lagi kalau >>kita mengkuantifikasi total kerugian untuk semua wilayah Indonesia, tanpa perlu melakukan perhitungan lagi, kita bisa memprediksi bahwa kita akan menemukan angka yang cukup signifikan seperti di atas. *** >>selengkapnya: >>http://annelis.wordpress.com/2012/02/24/indonesia-membutuhkan-komisi-pembe >>rantasan-banjir/ >> >>tabik >>bosman batubara