Kebanggaan semu dan pura2 kaya?
Powered by Telkomsel BlackBerry®

-----Original Message-----
From: "Sugeng Hartono" <sugeng.hart...@petrochina.co.id>
Date: Tue, 10 Apr 2012 20:52:58 
To: <iagi-net@iagi.or.id>; <iagi-net@iagi.or.id>
Reply-To: <iagi-net@iagi.or.id>
Cc: <airia...@calmarine.ptc.co.id>
Subject: [iagi-net-l] Artikel: Kontrak migas jaman Bung Karno
Selamat malam semuanya.
Artikel ini saya temukan di tumpukan koran yg baru saya buka setelah pulang 
dari rig.
Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Salam,
sugeng


Ketidakpastian: Tragedi
Budiarto Shambazy, Wartawan Senior KOMPAS
07 April 2012



Di awal 1960-an, minyak mencakup seperempat dari total ekspor yang didominasi 
multinational corporations yang menanam modal 400 juta dollar AS dan 
diperkirakan melonjak 1 miliar dollar AS tahun 1965.
Caltex (AS) menguasai 85 persen ekspor, Stanvac (AS) 5 persen, dan Permina 10 
persen. Tahun 1963 total ekspor 94 juta barrel per tahun atau 1,7 persen dari 
konsumsi dunia.Ekspor minyak dikuasai Shell (Belanda) yang per tahunnya 43 juta 
barrel, Stanvac 10 juta barrel. Penerima terbesar AS, Jepang, dan Australia.

Sejak 1951, Bung Karno (BK) membekukan konsesi bagi multinational corporations 
(MNC) dan memberlakukan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1960. UU ini menegaskan, 
”Seluruh pengelolaan minyak dan gas alam dilakukan negara atau perusahaan 
negara.”

Sejak merdeka, MNC berpegang pada ”let alone agreement”. Cara ini menghindari 
nasionalisasi, tetapi mewajibkan MNC mempekerjakan mayoritas SDM lokal. 
Pembekuan konsesi membuat MNC kelabakan karena laba menurun dan produksi 
terhambat. ”Tiga Besar” (Stanvac, Caltex, dan Shell) langsung minta negosiasi 
ulang.

BK menjawab, kalau MNC, ia akan jual konsesi ke Jepang. Maret 1963, BK 
menegaskan, ”Saya berikan Anda waktu beberapa hari untuk berpikir dan saya akan 
batalkan seluruh kontrak lama jika tuan-tuan tak mau terima tuntutan saya.”
BK menuntut Caltex menyuplai 53 persen dari kebutuhan domestik yang harus 
disuling Permina. Surplus produksi Tiga Besar harus dipasarkan ke luar negeri 
dan hasilnya diserahkan kepada kita.

Caltex wajib menyerahkan fasilitas distribusi dan pemasaran dalam negeri dan 
biaya prosesnya diambil dari laba ekspor. Caltex menyediakan valuta asing yang 
dibutuhkan untuk biaya pengeluaran dan investasi modal yang dibutuhkan Permina.
BK menuntut Caltex menyuplai kebutuhan minyak tanah dan bahan bakar minyak 
(BBM) dalam negeri. Formula pembagian laba 60 persen untuk kita dalam mata uang 
asing dan 40 persen untuk Caltex dalam rupiah.

Caltex panik dan minta bantuan Presiden John F Kennedy. Mereka menilai, 
tuntutan BK tidak masuk akal dan bisa membuat Caltex bangkrut.
Washington DC sempat anggap BK gertak sambal. Namun, waktu Presiden China Liu 
Shaoqi dan menteri Uni Soviet ke Jakarta membahas penjualan konsesi, mereka 
sadar BK tidak main-main.

Duta Besar AS di Jakarta Howard Jones pusing. ”Jika Tiga Besar keluar, AS tidak 
punya pilihan kecuali membatalkan bantuan ekonomi. Jangan mengancam BK,” lapor 
Jones ke Kennedy.
Saat itu RI ingin ikut program paket stabilisasi IMF yang ditawarkan Kennedy. 
Sehari setelah penandatanganan paket itu, BK menerbitkan ”Regulasi 18” yang 
isinya tuntutan dia.

BK tidak mau paket stabilisasi dikaitkan dengan Regulasi 18. Kennedy 
ketar-ketir dan segera mengirimkan utusan khusus, Wilson Wyatt, ke Tokyo, 
mencegat BK di Jepang.

Lewat negosiasi alot, BK dan Wyatt menyepakati sistem ”kontrak karya” yang 
disahkan DPR, 25 September 1963. Intinya, RI memiliki kedaulatan atas kekayaan 
minyak dan gas sampai point of sales.
MNC cuma kontraktor: Stanvac untuk Permina, Caltex untuk Pertamin, dan Shell 
untuk Permigan. Jangka waktu dan area konsesi dibatasi dibandingkan dengan 
kontrak-kontrak lama.

MNC menyerahkan 25 persen area eksplorasi setelah lima tahun dan 25 persen 
lainnya setelah 10 tahun. Pembagian laba tetap 60:40, MNC wajib menyediakan 
kebutuhan untuk pasar domestik dengan harga tetap dan menjual aset 
distribusi/pemasaran setelah jangka waktu tertentu.

MNC menerima karena yang penting batal kehilangan konsesi. Kennedy dan Kongres 
menyetujui paket stabilisasi IMF, yang oleh BK diselaraskan dengan Rencana 
Pembangunan Nasional Ketiga yang berlaku delapan tahun sejak 1961.
Bandingkan kontrak karya dengan profit-sharing agreement (PSA) ala Orde Baru 
yang justru antinasionalisasi. PSA seolah menempatkan kita sebagai pemilik, MNC 
hanya kontraktor.

Namun, pada praktiknya, MNC yang mengontrol ladang yang mendatangkan laba 
berlipat ganda yang mirip kolonialisme. PSA ”pernikahan ideal” antara kontrak 
bagi hasil yang seolah menempatkan negara menjadi majikan dan sistem kontrak 
berbasis konsesi/lisensi yang profit oriented.

Kita seakan pegang kendali, padahal MNC-lah yang punya kedaulatan. ”Klausul 
stabilisasi” PSA mengatakan, UU kita tidak berlaku bagi setiap kegiatan MNC dan 
tidak bisa menjadi rujukan jika terjadi sengketa—yang berlaku hukum 
internasional yang tidak kenal kepentingan nasional.

Ironisnya, ”cerita sukses” PSA ini yang dipakai MNC untuk menguras minyak Irak. 
Lebih ironis lagi, sikap BK ditiru Presiden Bolivia Evo Morales.

Namun, dulu ekonomi bangsa ini kuat karena lebih dari 50 persen GNP berasal 
dari pertanian dan dari industri 15 persen. Utang luar negeri cuma 2,5 miliar 
dollar AS dan TNI kita disegani.
Kini, ekonomi kita morat-marit—walau bangga menjadi anggota G20—karena setiap 
sebentar dikait-kaitkan dengan proyeksi Bank Dunia, IMF, atau harga BBM di 
Nymex. Utang luar negeri sudah mencapai Rp 1.800 triliun, TNI-nya low battery.
Tak salah belajar dari sejarah: negosiasi ulang tidak mustahil, perubahan UU 
bukan barang haram. Jika kepemimpinan nasional seperti Morales, kemelut 
anggaran/kenaikan harga BBM selesai.

Keputusan mengambangkan kenaikan harga BBM membuat ketidakpastian yang 
menimbulkan kerugian sosial, politik, dan ekonomi yang semakin besar. Tugas 
kepemimpinan nasional ialah melindungi rakyat dari situasi serba tidak pasti 
itu.
Jika pemimpin nasional memperlihatkan sikap tidak pasti, kita akan mengalami 
tragedi. Setiap pemimpin selayaknya berani bilang, ”Saya tak akan biarkan 
bangsa kita tenggelam ke jurang tragedi.”  


"Save a Tree" - Please consider the environment before printing this email.



Save a Tree  Please consider the environment before printing this email.

====================================================================================================================================================================================
DISCLAIMER : This e-mail and any files transmitted with it ("Message") is 
intended only for the use of the recipient(s) named above and may contain 
confidential information. You are hereby notified that the taking of any action 
in reliance upon, or any review, retransmission, dissemination, distribution, 
printing or copying of this Message or any part thereof by anyone other than 
the intended recipient(s) is strictly prohibited. 
If you have received this Message in error, you should delete this Message 
immediately and advise the sender by return e-mail. Opinions, conclusions and 
other information in this Message that do not relate to the official business 
of PetroChina International Companies In Indonesia or its Group of Companies 
shall be understood as neither given nor endorsed by 
PetroChina International Companies In Indonesia or any of the companies within 
the Group.
==============================================================================================================================================================

Kirim email ke