lho yang membuat undang-undang kan pemerintah dan dpr/mpr.
nampaknya memang tidak tahu atau pura-pira tidak tahu, atau memang pengin
negara ini, selamanya dijajah bangsa asing.
sekarang ini semua industri penting< termasuk migas?> kayaknya diluar
kontrol pemerintah, maupun dpr.
memang pintar tu sahabat dekat NKRI, secara fisik masih merdeka tetapi
secara hukum sudah terjajah. lho kan semua ini nurut IMF dan ADB< maupun PBB
Hanya senang *diberi gelar negeri demokratis* saja sampai mengorbankan
ekonomi alias mengorbankan kehidupan warga.
Jadi mau kemana kita nanti?
salam.


On Thu, Apr 12, 2012 at 10:25 AM, rimbawan prathidina <
rimbawanprathid...@gmail.com> wrote:

> Saya coba menyadur sedikit dalam bukunya Kwik Kian Gie "Indonesia
> Menggugat Jilid II"
>
>
>
> *PROSES PENJAJAHAN DALAM PERUNDANG - UNDANGAN DAN KEBIJAKAN-KEBIJAKAN
> OLEH ELIT BANGSA INDONESIA SENDIRI*
>
>
>
> *Menuju ke arah liberalisasi sejauh mungkin*
>
>
>
> Sejak Republik Indonesia berdiri sampai tahun 1967 tidak pernah ada
> rincian konkret dari ketentuan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi: "*Barang
> yang penting bagi negara dan cabang cabang produksi yang menguasai hajat
> hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar -
> besar kemakmuran rakyat"*
>
>
>
> *Undang - undang nomor 1 tahun 1967*
>
> * *
>
> Penjabaran yang konkret sampai bisa menjadi peraturan tidak pernah ada
> sampai tahun 1967. dalam tahun itu terbit UU no.1 tahun 1967 tentang
> Penanaman Modal Asing. Terbitnya UU tersebut sebagai tindakan lanjut dari
> konfrensi Jenewa bulan November 1967
>
>
> saya kutip pasal 6 ayat 1 yang berbunyi: "*Bidang - bidang usaha yang
> tertutup untuk penanaman modal asing secara pengusahaan penuh ialah bidang
> - bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak
> sebagai berikut:*
>
>
>
> a. Pelabuhan - Pelabuhan
>
> b. Produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum
>
> c. Telekomunikasi
>
> d. Pelayaran
>
> e. Penerbangan
>
> f.  Air minum
>
> g. Kereta Api Umum
>
> h. Pembangkit Tenaga Atom
>
> j. Mass media
>
>
>
> *Undang undang Penanaman Modal Dalam Negri di tahun 1968*
>
> * *
>
> Undang-undang nomor 6 tahun 1968 mengenai penanaman Modal Dalam Negri
> pasal 3 ayat 1 sudah mengizinkan investor asing memasuki cabang-cabang
> produksi yang jelas disebut ”*menguasai hajat hidup orang banyak*” itu
> asalkan porsinya modal asing tidak melampui 49%. Namun ada ketentuan bahwa
> porsi investor Indonesia yang 51% itu harus ditingkatkan menjadi 75% tidak
> lebih lambat dari tahun 1974.
>
>
>
> *Peraturan Pemerintah omor 20 Tahun 1994*
>
>
>
> Ditahun 1994 terbitperaturan pemerintah nomor 20 dengan pasal 5 ayat 1
> yang iosinya membolehkan perusahaan asing melakukan kegiatan usaha yang
> tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak.
>
>
>
> Pasal 6 ayat 1 mengatakan: ”*Saham peserta Indonesia sebagaimana dimaksud
> dalam pasal 2 ayat (1) huruf a sekurang – kurangnya 5% (lima persen) dari
> seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian*”.
>
>
>
> *Apa artinya ini?* Artinya adalah bahwa pasal 6 ayat 1 UU no. 1/1967
> mengatakan bahwa perusahaan asing tidak boleh memasuki bidang usaha yang
> tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
>  beserta perincian nya. UU no. 6/1968 pasal 3 ayat 1 secara implisit
> mengatakan bahwa asing boleh memiliki dan menguasai sampai 49%. UU no
> 4/1982 melarang asing sama sekali masuk didalam bidang usaha pers. PP
> 20/1994 lalu dengan enaknya mengatakan bahwa kalau didalam perusahaan
> kandungan Indonesianya adalah 5% sudah dianggap perusahaan Indonesia yang
> dapat melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara  dan
> menguasai hajat hidup rakyat beserta perincian nya, termasuk media massa. Jadi
> PP no.20/1994 menentang UU no 1/1967, menentang UU no. 6/1968, menentang UU
> no.4/1982 dan menentang Jiwa pasal 33 UUD 1945.
>
>
>
> Yang Sangat menyakitkan juga ialah diambilnya rumusan pasal 33 UUD 1945
> secara mentah-mentah, yang lalu dikatakan bahwa itu boleh ditangan asing
> dengan kandungan Indonesia %5. jadi seperti menantang dan meremehkan UUD
> 1945
>
>
> Salam
>
> Rimbawan
>
>
>
> On Tue, Apr 10, 2012 at 8:52 PM, Sugeng Hartono <
> sugeng.hart...@petrochina.co.id> wrote:
>
>> **
>>
>> Selamat malam semuanya.
>> Artikel ini saya temukan di tumpukan koran yg baru saya buka setelah
>> pulang dari rig.
>> Semoga bermanfaat bagi kita semua.
>> Salam,
>> sugeng
>>
>>
>> Ketidakpastian: Tragedi
>> Budiarto Shambazy, Wartawan Senior KOMPAS
>> 07 April 2012
>>
>>
>>
>> Di awal 1960-an, minyak mencakup seperempat dari total ekspor yang
>> didominasi multinational corporations yang menanam modal 400 juta dollar AS
>> dan diperkirakan melonjak 1 miliar dollar AS tahun 1965.
>> Caltex (AS) menguasai 85 persen ekspor, Stanvac (AS) 5 persen, dan
>> Permina 10 persen. Tahun 1963 total ekspor 94 juta barrel per tahun atau
>> 1,7 persen dari konsumsi dunia.Ekspor minyak dikuasai Shell (Belanda) yang
>> per tahunnya 43 juta barrel, Stanvac 10 juta barrel. Penerima terbesar AS,
>> Jepang, dan Australia.
>>
>> Sejak 1951, Bung Karno (BK) membekukan konsesi bagi multinational
>> corporations (MNC) dan memberlakukan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1960. UU
>> ini menegaskan, Seluruh pengelolaan minyak dan gas alam dilakukan negara
>> atau perusahaan negara.
>>
>> Sejak merdeka, MNC berpegang pada let alone agreement . Cara ini
>> menghindari nasionalisasi, tetapi mewajibkan MNC mempekerjakan mayoritas
>> SDM lokal. Pembekuan konsesi membuat MNC kelabakan karena laba menurun dan
>> produksi terhambat. Tiga Besar (Stanvac, Caltex, dan Shell) langsung minta
>> negosiasi ulang.
>>
>> BK menjawab, kalau MNC, ia akan jual konsesi ke Jepang. Maret 1963, BK
>> menegaskan, Saya berikan Anda waktu beberapa hari untuk berpikir dan saya
>> akan batalkan seluruh kontrak lama jika tuan-tuan tak mau terima tuntutan
>> saya.
>> BK menuntut Caltex menyuplai 53 persen dari kebutuhan domestik yang harus
>> disuling Permina. Surplus produksi Tiga Besar harus dipasarkan ke luar
>> negeri dan hasilnya diserahkan kepada kita.
>>
>> Caltex wajib menyerahkan fasilitas distribusi dan pemasaran dalam negeri
>> dan biaya prosesnya diambil dari laba ekspor. Caltex menyediakan valuta
>> asing yang dibutuhkan untuk biaya pengeluaran dan investasi modal yang
>> dibutuhkan Permina.
>> BK menuntut Caltex menyuplai kebutuhan minyak tanah dan bahan bakar
>> minyak (BBM) dalam negeri. Formula pembagian laba 60 persen untuk kita
>> dalam mata uang asing dan 40 persen untuk Caltex dalam rupiah.
>>
>> Caltex panik dan minta bantuan Presiden John F Kennedy. Mereka menilai,
>> tuntutan BK tidak masuk akal dan bisa membuat Caltex bangkrut.
>> Washington DC sempat anggap BK gertak sambal. Namun, waktu Presiden China
>> Liu Shaoqi dan menteri Uni Soviet ke Jakarta membahas penjualan konsesi,
>> mereka sadar BK tidak main-main.
>>
>> Duta Besar AS di Jakarta Howard Jones pusing. Jika Tiga Besar keluar, AS
>> tidak punya pilihan kecuali membatalkan bantuan ekonomi. Jangan mengancam
>> BK, lapor Jones ke Kennedy.
>> Saat itu RI ingin ikut program paket stabilisasi IMF yang ditawarkan
>> Kennedy. Sehari setelah penandatanganan paket itu, BK menerbitkan Regulasi
>> 18 yang isinya tuntutan dia.
>>
>> BK tidak mau paket stabilisasi dikaitkan dengan Regulasi 18. Kennedy
>> ketar-ketir dan segera mengirimkan utusan khusus, Wilson Wyatt, ke Tokyo,
>> mencegat BK di Jepang.
>>
>> Lewat negosiasi alot, BK dan Wyatt menyepakati sistem kontrak karya yang
>> disahkan DPR, 25 September 1963. Intinya, RI memiliki kedaulatan atas
>> kekayaan minyak dan gas sampai point of sales.
>> MNC cuma kontraktor: Stanvac untuk Permina, Caltex untuk Pertamin, dan
>> Shell untuk Permigan. Jangka waktu dan area konsesi dibatasi dibandingkan
>> dengan kontrak-kontrak lama.
>>
>> MNC menyerahkan 25 persen area eksplorasi setelah lima tahun dan 25
>> persen lainnya setelah 10 tahun. Pembagian laba tetap 60:40, MNC wajib
>> menyediakan kebutuhan untuk pasar domestik dengan harga tetap dan menjual
>> aset distribusi/pemasaran setelah jangka waktu tertentu.
>>
>> MNC menerima karena yang penting batal kehilangan konsesi. Kennedy dan
>> Kongres menyetujui paket stabilisasi IMF, yang oleh BK diselaraskan dengan
>> Rencana Pembangunan Nasional Ketiga yang berlaku delapan tahun sejak 1961.
>> Bandingkan kontrak karya dengan profit-sharing agreement (PSA) ala Orde
>> Baru yang justru antinasionalisasi. PSA seolah menempatkan kita sebagai
>> pemilik, MNC hanya kontraktor.
>>
>> Namun, pada praktiknya, MNC yang mengontrol ladang yang mendatangkan laba
>> berlipat ganda yang mirip kolonialisme. PSA pernikahan ideal antara kontrak
>> bagi hasil yang seolah menempatkan negara menjadi majikan dan sistem
>> kontrak berbasis konsesi/lisensi yang profit oriented.
>>
>> Kita seakan pegang kendali, padahal MNC-lah yang punya kedaulatan.
>> Klausul stabilisasi PSA mengatakan, UU kita tidak berlaku bagi setiap
>> kegiatan MNC dan tidak bisa menjadi rujukan jika terjadi sengketa yang
>> berlaku hukum internasional yang tidak kenal kepentingan nasional.
>>
>> Ironisnya, cerita sukses PSA ini yang dipakai MNC untuk menguras minyak
>> Irak.
>> Lebih ironis lagi, sikap BK ditiru Presiden Bolivia Evo Morales.
>>
>> Namun, dulu ekonomi bangsa ini kuat karena lebih dari 50 persen GNP
>> berasal dari pertanian dan dari industri 15 persen. Utang luar negeri cuma
>> 2,5 miliar dollar AS dan TNI kita disegani.
>> Kini, ekonomi kita morat-marit walau bangga menjadi anggota G20 karena
>> setiap sebentar dikait-kaitkan dengan proyeksi Bank Dunia, IMF, atau harga
>> BBM di Nymex. Utang luar negeri sudah mencapai Rp 1.800 triliun, TNI-nya
>> low battery.
>> Tak salah belajar dari sejarah: negosiasi ulang tidak mustahil, perubahan
>> UU bukan barang haram. Jika kepemimpinan nasional seperti Morales, kemelut
>> anggaran/kenaikan harga BBM selesai.
>>
>> Keputusan mengambangkan kenaikan harga BBM membuat ketidakpastian yang
>> menimbulkan kerugian sosial, politik, dan ekonomi yang semakin besar. Tugas
>> kepemimpinan nasional ialah melindungi rakyat dari situasi serba tidak
>> pasti itu.
>> Jika pemimpin nasional memperlihatkan sikap tidak pasti, kita akan
>> mengalami tragedi. Setiap pemimpin selayaknya berani bilang, Saya tak akan
>> biarkan bangsa kita tenggelam ke jurang tragedi.
>>
>>
>> "Save a Tree" - Please consider the environment before printing this
>> email.
>>
>>  ------------------------------
>> “Save a Tree” – Please consider the environment before printing this
>> email.
>>
>>
>> ====================================================================================================================================================================================
>> DISCLAIMER : This e-mail and any files transmitted with it ("Message") is
>> intended only for the use of the recipient(s) named above and may contain
>> confidential information. You are hereby notified that the taking of any
>> action in reliance upon, or any review, retransmission, dissemination,
>> distribution, printing or copying of this Message or any part thereof by
>> anyone other than the intended recipient(s) is strictly prohibited.
>> If you have received this Message in error, you should delete this
>> Message immediately and advise the sender by return e-mail. Opinions,
>> conclusions and other information in this Message that do not relate to the
>> official business of PetroChina International Companies In Indonesia or its
>> Group of Companies shall be understood as neither given nor endorsed by
>> PetroChina International Companies In Indonesia or any of the companies
>> within the Group.
>>
>> ==============================================================================================================================================================
>>
>>
>

Kirim email ke