Rekans IAGI, Ini saya copikan perihal tsb di atas dari milis sebelah (bukan tulisan saya), mudah2an ada manfaatnya:
TATA KELOLA MIGAS MERAH PUTIH Oleh Mantan Pertamina Kelompok Poverep Tata Kelola Migas Nasional yang Merah Putih, seperti apakah bentuknya? Dalam pengelolaan migas nasional diseluruh negara pemilik cadangan migas, selalu ada 3 unsur penting yang saling terkait dalam Tata Kelola Migas, yaitu Pemerintah sebagai Pemegang Policy, Badan Pemerintah sebagai Regulator dan Perusahaan Negara sebagai Eksekutor. Didunia saat ini ada 2 model Tata Kelola Migas, ada yang menjalankan model 3 Pilar seperti Norwegia, Brasil, Aljazair, Meksiko, Nigeria, Indonesia. Ada yang menjalankan model 2 Pilar seperti Malaysia, Angola, Saudi Arabia, Rusia, Venezuela. Pengertian 2 Pilar adalah Pemegang Regulasi dirangkap oleh Pemegang Policy atau oleh Pelaksana Bisnis. Norwegia dan Brasil merupakan contoh negara dengan Tata Kelola Migas dengan model 3 Pilar terbaik, dan Malaysia serta Saudi Arabia juga merupakan contoh negara dengan model 2 Pilar terbaik saat ini. Jadi apa yang menjadikan terbaik diantara kedua model tersebut. Ternyata kesuksesan pelaksanaan model 3 Pilar ataupun 2 Pilar di negara tersebut diatas adalah support yang kuat dari Pemerintah terhadap Perusahaan Negara sebagai Eksekutornya. KATA KUNCI keberhasilan adalah SUPPORT KUAT dari PEMERINTAH. Bagaimanakah dengan Indonesia ? Saat ini Indonesia dengan UU Migas no 22 tahun 2001 menganut model 3 Pilar, yaitu Pemerintah sebagai Pemegang Policy, Bpmigas sebagai Pemegang Regulasi dan Pertamina sebagai Eksekutor. Berjalan baikkah model ini? Ternyata tidak berjalan baik karena masing-masing masih belum bisa mengayuh biduk ke satu tujuan. Dan puncak kegalauan dalam pelaksanaan model 3 Pilar ini terjadi pada akhir tahun 2012 dengan keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pasal tentang Bpmigas dan frasanya dinyatakan tidak sesuai dengan Konstitusi, UUD 1945 Pasal 33. Dasar pertimbangan apakah yang menjadi keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut? Pertimbangannya adalah penguasaan oleh negara dan dikuasai negara dalam UUD 1945 Pasal 33 yang tidak dipenuhi oleh keberadaan Bpmigas. Kekayaan alam yang terkandung didalam wilayah hukum negara adalah milik rakyat yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam UUD 1945, dikonstruksikan bahwa rakyat secara kolektif memberi mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan dan tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mahkamah Konstitusi menilai bahwa Bpmigas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan SDA migas maka negara dalam hal ini Pemerintah tidak dapat melakukan pengelolaan secara langsung atas SDA migas pada kegiatan hulu. Selain itu model hubungan antara Bpmigas sebagai representasi negara dengan BU atau BUT dalam pengelolaan Migas mendegradasi makna penguasaan negara atas SDA migas yang bertentangan dengan amanat UUD 1945 Pasal 33. Bagaimana dengan SKK Migas, secara umum sama dengan Bpmigas, malah tidak punya Legal Standing. Marilah kita melihat kembali kebelakang, bagaimana Tata Kelola Migas yang ada di Indonesia. Berdasarkan UU no 44 tahun 1960 dan UU no 8 tahun 1971, Pertamina sebagai Pelaksana Bisnis atau Eksekutor mempunyai tugas pokok di Hilir sebagai penyedia dan penyalur BBM yang dibutuhkan Rakyat, dan di Hulu memproduksi dan mengembangkan Basis Cadangan Migas Nasional agar terjamin terlaksananya tugas pokok di Hilir. Tugas pokok ini merupakan implementasi UUD 1945 Pasal 33. Basis Cadangan Migas Nasional sebagai soko guru Ketahanan Energi Nasional memiliki arti strategis dan vital yang perlu terus dipelihara dan ditingkatkan, yang terus terkuras produksinya. Production Sharing Contract yang diterapkan oleh Pertamina berkarakter Kontrak Jasa dengan Pihak Investor sehingga Kuasa Pertambangan tetap ditangan Pertamina demi efektifnya Kuasa Negara hingga tataran pelaksana Usaha Migas. Mudah2an para pembuat Kebijakan dan UU Migas Baru, dapat memberikan yang terbaik, yang Merah Putih untuk bangsa dan negara. Benarkah dulu Tata Kelola Migas dengan Pertamina sebagai Eksekutor merangkap juga sebagai Regulator sebagai implementasi model 2 Pilar atau malah ada yang menyatakan sebagai model 1 Pilar dimana kekuasaan Pertamina terlalu besar? Pemahaman seperti diatas sangat tidak ada dasar hukumnya, karena dalam ikatan PSC antara Pertamina dan Kontraktor jelas tertera ketentuan hak, wewenang dan kewajiban masing-masing Pihak sebagai hasil negosiasi, dan dalam PSC tidak pernah memuat fungsi Pertamina sebagai Regulator. Adapun Regulator yang merupakan wewenang eksklusif tetap berada ditangan Pemerintah sebagai Eksekutif dari Kedaulatan Negara yang tidak pernah didelegasikan kepada siapapun termasuk Pertamina di dalam sektor Industri Migas. Demikian juga dengan tudingan Monopoli, dalam UU tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat no 5 tahun 1999, Pertamina dan PLN jelas dan eksplisit tidak termasuk sebagai usaha Monopoli. Jadi jelas bahwa dulu Tata Kelola Migas menggunakan model 2 Pilar, dimana Pemerintah merangkap sebagai Pemegang Policy dan Regulator, sedangkan Pertamina hanya sebagai Eksekutor. Saat ini Pertamina masih dituding sebagai ANAK EMAS karena di sektor Hulu pembagian antara Pemerintah dan Pertamina EP dalam KKS sebesar 60% : 40% untuk minyak dan gas, sedangkan Investror Asing ataupun lainnya sebesar 85% : 15% untuk minyak dan 70% : 30% untuk gas. Marilah kita lihat lebih baik, dengan UU no 8 tahun 1971, Pertamina sebagai Perusahaan Milik Negara 100%, dalam usaha melaksanakan tugas pokoknya, seluruh pendapatan setelah dikurangi biaya baik dari Hilir, Hulu dan Retensi hasilnya 60% kembali ke Pemerintah dan 40% masuk ke Pertamina, dengan catatan bahwa semua uang yang dihasilkan masuk ke rekening Pemerintah. Dengan UU Migas no 22 tahun 2001, sesuai Pasal Peralihan bahwa Pedapatan Pertamina tidak berubah, namun dengan adanya Pasal Unbundling dan Pertamina berubah menjadi PT Persero, tentunya hanya sektor Hulu saja khususnya pada Wilayah Kerja existing yang dikelola Anak Perusahaan Pertamina tetap mendapat pembagian 60% : 40%, sedangkan PT Pertamina Persero yang pendapatannya merupakan konsolidasi seluruh usaha sektor Hilir dan Hulu, yang merugi di PSO dan penjualan LPG karena ketentuan Pemerintah, juga berlaku ketentuan PT yaitu ditambah beban pajak dan deviden. Benarkah pendapatan Pertamina secara keseluruhan mencapai 40% seperti sebelumnya? Kalau melihat kontrak KKS saat inipun sudah sangat bervariasi pembagiannya, ada yang mendapat pembagian 60% : 40% untuk minyak dan lebih besar untuk gas, mungkin tujuannya untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi bagi kontrak baru. Kalau melihat pengalokasian dana untuk Program Kerja Tahunan Pertamina dengan UU no 8 tahun 1971, yang harus mendapatkan alokasi anggaran dari Pemerintah, bagian terbesar lebih dari 75% anggaran untuk kegiatan Hilir sesuai dengan tugas pokoknya dan sisa anggaran yang kecil untuk kegiatan Hulu. Hasilnya bisa dilihat, bahwa di sektor Hilir, Pertamina sebagai penyedia dan penyalur BBM sangat baik mulai dari ujung barat sampai ujung timur Indonesia, sedangkan di sektor Hulu sesuai dengan anggaran yang kecil maka hasilnya juga kurang baik, meskipun demikian Pertamina tetap berupaya membangun dan meningkatkan sektor Hulu baik untuk Own Operation maupun untuk kerjasama, dengan cara menelorkan bentuk lain selain PSC yaitu TAC, JOB-PSC dan JOA-PSC dengan tetap berbasis pada ketentuan PSC. Sedangkan dalam UU Migas no 22 tahun 2001 yang sudah tidak utuh lagi, pengalokasian anggaran Pertamina sebagian besar lebih dari 75% untuk kegiatan Hulu dan sisanya untuk kegiatan sektor Hilir. Jadi sebenarnya Pertamina baru mulai sekitar tahun 2006 untuk kegiatan sektor Hulu mendapat perhatian lebih dan fokus yang hasilnya baru dirasakan saat ini. Kalau melihat Laporan Keuangan Pertamina tahun 2012 dengan hasil yang sangat baik, benarkah karena Pertamina sebagai ANAK EMAS di negerinya sendiri? Kembali ke Tata Kelola Migas Nasional, yang bagaimana yang Merah Putih? Tentunya yang sesuai dengan amanat UUD 1945, Pasal 33, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi, pengelolaan secara langsung sesuai dengan maksud Pasal 33 UUD 1945 seperti yang diungkapkan oleh Mohammad Hatta founding leader bangsa. Kesuksesan dan keberhasilan dalam Tata Kelola Migas Nasional tentunya apabila ada keterpaduan antara pengelolaan migas yang baik, support yang kuat dengan arah yang sama dari Pemerintah dan adanya upaya membuat nilai tambah atas hasil migas tersebut. MIK Powered by Telkomsel BlackBerry®