Mas Yudie,
Poverev adalah singkatan dari Ponggawa dan Veteran Pertamina, namun anggotanya 
hampir 90% adalah pensiunan dan hampir 100% dulunya bekerja di bagian hulu 
migas (eksplorasi-produksi)

Salam,

MIK
Powered by Telkomsel BlackBerry®

-----Original Message-----
From: "Yudie Iskandar" <yudieiskan...@gmail.com>
Sender: <iagi-net@iagi.or.id>
Date: Sat, 2 Mar 2013 03:19:09 
To: <iagi-net@iagi.or.id>
Reply-To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Re: [iagi-net] Tata Kelola Migas Merah Putih
Pagi pak,
Kalau boleh tahu, kelompok Pertamina Poverep itu apa ya?
Salam

Yudie
“_^

-----Original Message-----
From: ikusum...@gmail.com
Sender: <iagi-net@iagi.or.id>
Date: Sat, 2 Mar 2013 03:15:24 
To: <iagi-net@iagi.or.id>
Reply-To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: [iagi-net] Tata Kelola Migas Merah Putih
Rekans IAGI,
Ini saya copikan perihal tsb di atas dari milis sebelah (bukan tulisan saya), 
mudah2an ada manfaatnya:

TATA KELOLA MIGAS MERAH PUTIH

Oleh Mantan Pertamina Kelompok Poverep

Tata Kelola Migas Nasional yang Merah Putih, seperti apakah bentuknya? Dalam 
pengelolaan migas nasional diseluruh negara pemilik cadangan migas, selalu ada 
3 unsur penting yang saling terkait dalam Tata Kelola Migas, yaitu Pemerintah 
sebagai Pemegang Policy, Badan Pemerintah sebagai Regulator dan Perusahaan 
Negara sebagai Eksekutor.
Didunia saat ini ada 2 model Tata Kelola Migas, ada yang menjalankan model 3 
Pilar seperti Norwegia, Brasil, Aljazair, Meksiko, Nigeria, Indonesia. Ada yang 
menjalankan model 2 Pilar seperti Malaysia, Angola, Saudi Arabia, Rusia, 
Venezuela. Pengertian 2 Pilar adalah Pemegang Regulasi dirangkap oleh Pemegang 
Policy atau oleh Pelaksana Bisnis.
Norwegia dan Brasil merupakan contoh negara dengan Tata Kelola Migas dengan 
model 3 Pilar terbaik, dan Malaysia serta Saudi Arabia juga merupakan contoh 
negara dengan model 2 Pilar terbaik saat ini. Jadi apa yang menjadikan terbaik 
diantara kedua model tersebut. Ternyata kesuksesan pelaksanaan model 3 Pilar 
ataupun 2 Pilar di negara tersebut diatas adalah support yang kuat dari 
Pemerintah terhadap Perusahaan Negara sebagai Eksekutornya. KATA KUNCI 
keberhasilan adalah SUPPORT KUAT dari PEMERINTAH.

Bagaimanakah dengan Indonesia ?

Saat ini Indonesia dengan UU Migas no 22 tahun 2001 menganut model 3 Pilar, 
yaitu Pemerintah sebagai Pemegang Policy, Bpmigas sebagai Pemegang Regulasi dan 
Pertamina sebagai Eksekutor. Berjalan baikkah model ini? Ternyata tidak 
berjalan baik karena masing-masing masih belum bisa mengayuh biduk ke satu 
tujuan. Dan puncak kegalauan dalam pelaksanaan model 3 Pilar ini terjadi pada 
akhir tahun 2012 dengan keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan 
bahwa pasal tentang Bpmigas dan frasanya dinyatakan tidak sesuai dengan 
Konstitusi, UUD 1945 Pasal 33.
Dasar pertimbangan apakah yang menjadi keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut? 
Pertimbangannya adalah penguasaan oleh negara dan dikuasai negara dalam UUD 
1945 Pasal 33 yang tidak dipenuhi oleh keberadaan Bpmigas. 
Kekayaan alam yang terkandung didalam wilayah hukum negara adalah milik rakyat 
yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi 
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam UUD 1945, dikonstruksikan bahwa rakyat 
secara kolektif memberi mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan dan 
tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan untuk tujuan 
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa Bpmigas hanya melakukan fungsi pengendalian 
dan pengawasan terhadap pengelolaan SDA migas maka negara dalam hal ini 
Pemerintah tidak dapat melakukan pengelolaan secara langsung atas SDA migas 
pada kegiatan hulu. Selain itu model hubungan antara Bpmigas sebagai 
representasi negara dengan BU atau BUT dalam pengelolaan Migas mendegradasi 
makna penguasaan negara atas SDA migas yang bertentangan dengan amanat UUD 1945 
Pasal 33.
Bagaimana dengan SKK Migas, secara umum sama dengan Bpmigas, malah tidak punya 
Legal Standing.
Marilah kita melihat kembali kebelakang, bagaimana Tata Kelola Migas yang ada 
di Indonesia. 
Berdasarkan UU no 44 tahun 1960 dan UU no 8 tahun 1971, Pertamina sebagai 
Pelaksana Bisnis atau Eksekutor mempunyai tugas pokok di Hilir sebagai penyedia 
dan penyalur BBM yang dibutuhkan Rakyat, dan di Hulu memproduksi dan 
mengembangkan Basis Cadangan Migas Nasional agar terjamin terlaksananya tugas 
pokok di Hilir. Tugas pokok ini merupakan implementasi UUD 1945 Pasal 33.
Basis Cadangan Migas Nasional sebagai soko guru Ketahanan Energi Nasional 
memiliki arti strategis dan vital yang perlu terus dipelihara dan ditingkatkan, 
yang terus terkuras produksinya. Production Sharing Contract yang diterapkan 
oleh Pertamina berkarakter Kontrak Jasa dengan Pihak Investor sehingga Kuasa 
Pertambangan tetap ditangan Pertamina demi efektifnya Kuasa Negara hingga 
tataran pelaksana Usaha Migas.
Mudah2an para pembuat Kebijakan dan UU Migas Baru, dapat memberikan yang 
terbaik, yang Merah Putih untuk bangsa dan negara.
Benarkah dulu Tata Kelola Migas dengan Pertamina sebagai Eksekutor merangkap 
juga sebagai Regulator sebagai implementasi model 2 Pilar atau malah ada yang 
menyatakan sebagai model 1 Pilar dimana kekuasaan Pertamina terlalu besar?
Pemahaman seperti diatas sangat tidak ada dasar hukumnya, karena dalam ikatan 
PSC antara Pertamina dan Kontraktor jelas tertera ketentuan hak, wewenang dan 
kewajiban masing-masing Pihak sebagai hasil negosiasi, dan dalam PSC tidak 
pernah memuat fungsi Pertamina sebagai Regulator. Adapun Regulator yang 
merupakan wewenang eksklusif tetap berada ditangan Pemerintah sebagai Eksekutif 
dari Kedaulatan Negara yang tidak pernah didelegasikan kepada siapapun termasuk 
Pertamina di dalam sektor Industri Migas.
Demikian juga dengan tudingan Monopoli, dalam UU tentang Larangan Monopoli dan 
Persaingan Usaha tidak Sehat no 5 tahun 1999, Pertamina dan PLN jelas dan 
eksplisit tidak termasuk sebagai usaha Monopoli.
Jadi jelas bahwa dulu Tata Kelola Migas menggunakan model 2 Pilar, dimana 
Pemerintah merangkap sebagai Pemegang Policy dan Regulator, sedangkan Pertamina 
hanya sebagai Eksekutor.
Saat ini Pertamina masih dituding sebagai ANAK EMAS karena di sektor Hulu 
pembagian antara Pemerintah dan Pertamina EP dalam KKS sebesar 60% : 40% untuk 
minyak dan gas, sedangkan Investror Asing ataupun lainnya sebesar 85% : 15% 
untuk minyak dan 70% : 30% untuk gas. Marilah kita lihat lebih baik, dengan UU 
no 8 tahun 1971, Pertamina sebagai Perusahaan Milik Negara 100%, dalam usaha 
melaksanakan tugas pokoknya, seluruh pendapatan setelah dikurangi biaya baik 
dari Hilir, Hulu dan Retensi hasilnya 60% kembali ke Pemerintah dan 40% masuk 
ke Pertamina, dengan catatan bahwa semua uang yang dihasilkan masuk ke rekening 
Pemerintah. Dengan UU Migas no 22 tahun 2001, sesuai Pasal Peralihan bahwa 
Pedapatan Pertamina tidak berubah, namun dengan adanya Pasal Unbundling dan 
Pertamina berubah menjadi PT Persero, tentunya hanya sektor Hulu saja khususnya 
pada Wilayah Kerja existing yang dikelola Anak Perusahaan Pertamina tetap 
mendapat pembagian 60% : 40%, sedangkan PT Pertamina Persero yang pendapatannya 
merupakan konsolidasi seluruh usaha sektor Hilir dan Hulu, yang merugi di PSO 
dan penjualan LPG karena ketentuan Pemerintah, juga berlaku ketentuan PT yaitu 
ditambah beban pajak dan deviden. Benarkah pendapatan Pertamina secara 
keseluruhan mencapai 40% seperti sebelumnya? 
Kalau melihat kontrak KKS saat inipun sudah sangat bervariasi pembagiannya, ada 
yang mendapat pembagian 60% : 40% untuk minyak dan lebih besar untuk gas, 
mungkin tujuannya untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi bagi kontrak baru.
Kalau melihat pengalokasian dana untuk Program Kerja Tahunan Pertamina dengan 
UU no 8 tahun 1971, yang harus mendapatkan alokasi anggaran dari Pemerintah, 
bagian terbesar lebih dari 75% anggaran untuk kegiatan Hilir sesuai dengan 
tugas pokoknya dan sisa anggaran yang kecil untuk kegiatan Hulu. Hasilnya bisa 
dilihat, bahwa di sektor Hilir, Pertamina sebagai penyedia dan penyalur BBM 
sangat baik mulai dari ujung barat sampai ujung timur Indonesia, sedangkan di 
sektor Hulu sesuai dengan anggaran yang kecil maka hasilnya juga kurang baik, 
meskipun demikian Pertamina tetap berupaya membangun dan meningkatkan sektor 
Hulu baik untuk Own Operation maupun untuk kerjasama,  dengan cara menelorkan 
bentuk lain selain PSC yaitu TAC, JOB-PSC dan JOA-PSC dengan tetap berbasis 
pada ketentuan PSC.
Sedangkan dalam UU Migas no 22 tahun 2001 yang sudah tidak utuh lagi, 
pengalokasian anggaran Pertamina sebagian besar lebih dari 75% untuk kegiatan 
Hulu dan sisanya untuk kegiatan sektor Hilir. Jadi sebenarnya Pertamina baru 
mulai sekitar tahun 2006 untuk kegiatan sektor Hulu mendapat perhatian lebih 
dan fokus yang hasilnya baru dirasakan saat ini.
Kalau melihat Laporan Keuangan Pertamina tahun 2012 dengan hasil yang sangat 
baik, benarkah karena Pertamina sebagai ANAK EMAS di negerinya sendiri? 
Kembali ke Tata Kelola Migas Nasional, yang bagaimana yang Merah Putih? 
Tentunya yang sesuai dengan amanat UUD 1945, Pasal 33, sesuai dengan putusan 
Mahkamah Konstitusi, pengelolaan secara langsung sesuai dengan maksud Pasal 33 
UUD 1945 seperti yang diungkapkan oleh Mohammad Hatta founding leader bangsa. 
Kesuksesan dan keberhasilan dalam Tata Kelola Migas Nasional tentunya apabila 
ada keterpaduan antara pengelolaan migas yang baik, support yang kuat dengan 
arah yang sama dari Pemerintah dan adanya upaya membuat nilai tambah atas hasil 
migas tersebut.

MIK
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Reply via email to