Seorang muslim diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti Rasulullah saw. dan 
meneladani beliau. Allah SWT berfirman (yang  artinya), ".... Apa yang 
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu, 
maka tinggalkanlah ...." (Al-Hasyr: 7). Juga, firman-Nya, "Sesungguhnya telah 
ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang 
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak 
menyebut Allah." (Al-Ahzaab: 21).

Sebelum mengamalkan hadits-hadits Rasulullah, seorang muslim harus memahami 
beberapa hal penting, yang merupakan kaidah, agar pemahamannya benar dan 
pengamalannya mendapatkan petunjuk (terarah).

Setiap hadits yang diutarakan oleh Rasulullah saw. itu ada maksudnya. Orang 
yang serampangan mengamalkan hadits tanpa memahami maksudnya akan terjebak pada 
kesalahan dalam pengamalan ibadahnya. Contoh berikut mungkin dapat menerangkan 
jelasnya pernyataan ini. Yaitu, kasus yang dialami oleh 'Adi bin Hatim r.a. 
ketika turun firman Allah SWT, "Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang 
putih dan benang hitam, yaitu fajar ...." (Al-Baqarah: 187). Dia ('Adi bin 
Hatim r.a.) mengambil dua helai benang: yang satu berwarna putih, dan yang satu 
lagi berwarna hitam. Kemudian, diletakkannya di bawah bantalnya. Setelah itu, 
dia mulai melihat (mengamati) kedua benang itu dan tidak tampak sesuatu. Ketika 
dia memberitahukan hal itu kepada Rasulullah saw., maka Rasulullah saw. 
bersabda, "Yang dimaksud dengan dua benang tersebut adalah gelapnya malam dan 
cerahnya waktu siang." (HR Bukhari dan Muslim). Dari sini terlihat dengan 
jelas, betapa seseorang yang belum mendapatkan pemahaman dengan benar itu pasti 
melangkah dengan tidak benar pula. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui 
bagaimana cara memahami sunnah dengan benar.

 

   1. Memahami Sunnah dengan Tuntunan Al-Qur'an
      As-Sunnah adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an dalam syariat 
Islam. As-Sunnah menerangkan dan merinci apa yang ada dalam Al-Qur'an. Tidak 
ada pertentangan antara As-Sunnah dengan Al-Qur'an. Jika terdapat pertentangan, 
hal itu mungkin terjadi karena haditsnya tidak shahih atau kita sendiri yang 
tidak bisa memahaminya. Karena, Allah SWT telah menegaskan, "Kalau kiranya 
Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang 
banyak di dalamnya." (An-Nisaa': 82).

      Contoh yang paling jelas bahwa sunnah yang shahih tidak bertentangan 
dengan Al-Qur'an, justru yang bertentangan dengan Al-Qur'an adalah 
hadits-hadits dha'if (lemah) dan maudhu (palsu), yaitu kisah gharaniq (sembahan 
atau tuhan-tuhan) kaum musyrikin). Diriwayatkan bahwa setelah membaca firman 
Allah SWT, "Maka apakah patut (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan 
Al-'Uzza dan Manat yang ketiga." (An-Najm: 19-20). Maka, Rasulullah saw. 
bersabda, "Mereka itu adalah gharaniq yang tinggi dan sungguh syafaatnya 
(pertolongannya) sangat diharapkan." Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka 
sifatkan dengan ketinggian-Nya yang agung. Kisah yang bathil ini mustahil akan 
benar karena bertentangan dengan ayat itu sendiri (yang disebutkan). Apakah 
patut Rasulullah saw. memuji tuhan-tuhan orang-orang musyrik? Maka dari itu, 
hadits ini jelas bathil, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Muhammad bin 
Ishaq bin Khuzaimah rhm. melalui ucapannya, "Ini (termasuk hadits) yang 
dipalsukan oleh orang-orang zindiq." (Nashbul Majaaniiq, hlm. 25).

       
   2. Mengumpulkan Hadits-Hadits yang Satu Tema dan Pembahasan pada Satu Tempat
      Merupakan suatu keharusan untuk memahami sunnah dengan pemahaman yang 
benar, yaitu mengumpulkan hadits-hadits shahih yang satu pembahasan supaya 
hadits yang mutasyabih (yang memiliki banyak penafsiran) bisa dikembalikan ke 
yang muhkam (maknanya jelas), yang muthlaq (tidakterikat) di bawa ke yang 
muqayyad (terikat), dan yang 'amm (maknanya umum) ditafsirkan oleh yang khashsh 
(maknanya khusus). Dengan cara ini, akan jelas maksud hadits tersebut, maka 
jangan mempertentangkan antara hadits yang satu dengan yang lainnya.

      Imam Ahmad berkata, "Suatu hadits, kalau tidak engkau kumpulkan 
jalan-jalannya (sanad-sanadnya), engkau tidak akan paham karena sebagian hadits 
menafsirkan sebagian yang lainnya." (Al-Jaami' (I/270).

      Apabila sanad-sanad suatu hadits yang satu pembahasan tidak dikumpulkan 
pada suatu tempat, maka itu bisa menyebabkan terjadinya kesalahan dalam 
memahami hadits tersebut. Padahal, orang itu berdalil dengan hadits shahih, 
akan tetapi dia tidak mengumpulkan hadits yang semisal dengannya sehingga 
menyebabkan pemahamannya terhadap hadits tersebut tidak sempurna. Bahkan, 
pemahaman dan gambarannya menyimpang tentang masalah yang dia bahas itu. Contoh 
untuk kasus ini adalah sebagai berikut.

      Hadits Abu Umamah ketika melihat alat pertanian, beliau berkata, "Aku 
mendengar Nabi saw. bersabda, 'Tidaklah (alat) ini masuk ke rumah suatu kaum, 
kecuali Allah akan memasukkan padanya kehinaan'." (HR Bukhari). Zhahir 
(lahiriah) hadits ini memberikan faedah tentang bencinya Rasulullah saw. 
terhadap pertanian. Namun, kalau seseorang mengumpulkan hadits-hadits yang lain 
tentang pertanian, maka dia akan mendapatkan bahwa Rasulullah saw. justru 
menganjurkan untuk bertani dan menerangkan tentang bolehnya bertani, 
sebagaimana sabda beliau sebagai berikut.

      "Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu burung 
memakan dari tanaman itu, atau binatang ternak, melainkan yang demikian itu 
sebagai sedekah (bagi yang menanam)." (HR Bukhari dan Muslim).

      "Jika kiamat telah mendatangi salah seorang di antara kalian dan di 
tangannya (masih) ada bibit kurma, maka hendaklah dia menanamnya." (HR Ahmad).

      Dari tiga hadits yang telah disebutkan ini ada satu hadits yang 
seolah-olah bertentangan, yaitu hadits yang disebutkan pertama. Lalu, 
bagaimanakah cara para ulama menyatukan antara hadits-hadits yang tampaknya 
bertentangan ini? Bagaimana pula pemahaman yang benar setelah menyatukan 
hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini (bertani)?

      Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya, Fathul Baari (V/5), menjelaskan 
bahwa cara menyatukan hadits-hadits ini adalah dengan salah satu dari dua cara 
sebagai berikut: (1) dibawa ke makna akibat buruk dari pertanian karena 
melalaikan kewajiban, atau (2) bertani dengan tidak melalaikan kewajiban tetapi 
melampaui batas dalam melakukannya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh 
Imam Bukhari di dalam memahami hadits-hadits tersebut dengan menulis judul bab 
sebagai berikut: "Hal-Hal yang Diperingatkan dari Akibat-Akibat Jelek karena 
Sibuk dengan Alat Pertanian atau Melampaui Batas dari yang Diperintahkan".

      Ada hadits yang mendukung pemahaman bahwa maksud larangan tersebut 
ditujukan apabila seseorang disibukkan dengan bertani dari kewajiban-kewajiban, 
seperti jihad di jalan Allah, apalagi bagi yang dekat tempatnya dengan 
musuh-musuh Allah. Hadits tersebut adalah hadits marfu' dari Ibnu 'Umar r.a., 
"Jika kalian berjual-beli dengan (cara) 'inah (salah satu bentuk riba), kalian 
dilalaikan oleh ternak kalian, dan kalian suka (disibukkan) dengan bertani 
sehingga kalian meninggalkan (kewajiban) jihad, niscaya Allah akan menimpakan 
atas kalian kehinaan yang Dia tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali 
kepada agama kalian." (Hadits Shahih Riwayat Ahmad dan Abu Dawud).

       
   3. Menyatukan Hadits-Hadits yang Tampak Bertentangan
      Pada dasarnya tidak ada pertentangan antara nash-nash Al-Qur'an dan 
As-Sunnah yang shahih. Seandainya terjadi suatu pertentangan, maka itu anggapan 
kita semata, bukan hakikat dari nash-nash tersebut. Inilah keyakinan seorang 
mukmin pada hadits-hadits yang dapat dipercaya (hadits-hadits yang shahih atau 
hasan). Firman Allah berikut harus selalu menjadi pedoman. "Kalau kiranya 
Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang 
banyak di dalamnya." (An-Nisaa': 82).

      Contoh hadits-hadits yang tampaknya bertentangan adalah hadits-hadits 
yang melarang seseorang menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau kecil, 
sementara ada hadits-hadits lain yang membolehkan hal tersebut. Cara jama' yang 
dipakai para ulama untuk menyatukan hadits-hadits yang tampak bertentangan 
tersebut adalah dengan menyatakan bahwa hadits-hadits larangan dimaksudkan bila 
dilakukan di tempat terbuka, sedangkan hadits-hadits yang membolehkan 
dimaksudkan bila dilakukan di dalam suatu tempat yang ada pembatasnya (seperti 
seseorang melakukannya di WC). (Ta-wiil Mukhtalafil Hadiits [hlm. 90] dan 
Nailul Authaar [I/98]).

      Adapun kitab yang paling bermanfaat (dan bagus) yang bisa dijadikan 
rujukan untuk mendapatkan mukhtalaful hadits (hadits yang tampaknya 
bertentangan dengan hadits yang lain tetapi memungkinkan untuk 
dijamak/disatukan) adalah Musykilul Aatsaar karya Ath-Thahawi dan Ta'wiil 
Mukhtalaf al-Hadiits karya Ibnu Qutaibah.

       
   4. Mengetahui Nasikh dan Mansukh Suatu Hadits
      (Nasikh=Hadits yang Menghapus Hadits yang Lain; Mansukh=Hadits yang 
Dihapus)
      Nasakh (hukum yang lama diganti hukum yang baru) dalam hadits memang 
terjadi. Seorang muslim yang mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui kalau 
hadits itu mansukh, berarti dia telah terjatuh ke dalam ilmu yang tidak 
diperintahkan syara' untuk mengamalkannya. Sebab, kita tidak diperintahkan 
untuk mengamalkan hadits-hadits yang mansukh. Sementara nasakh adalah suatu 
'illat (penyebab) dilarangnya beramal dengan satu hadits (yang mansukh, ed.).

      Al-Hafizh as-Suyuthi rhm. berkata (yang artinya), "Nasakh telah 
dimasukkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam kategori al-'ilal (cacat hadits). Namun, 
beliau hanya mengkhususkannya dalam masalah pengalamannya saja (bukan status 
haditsnya)." (Al-Alfiyah, hlm. 22).

      Seseorang tidak boleh tergesa-gesa dalam masalah ini sehingga mengatakan 
hadits ini mansukh, kecuali setelah mengetahui dalil-dalil dan qara-in 
(tanda-tanda) yang menunjukkan adanya nasakh.

      Adapun kitab-kitab yang bisa membantu untuk mengetahui yang mansukh dari 
hadits-hadits adalah sebagai berikut.
          * Ittihaaf Dzawiir Rusuukh karya Al-Ju'buri.
          * An-Naasikh wal-Mansuukh karya Ibnul Jauzi.
          * Al-I'tibaar fin Naasikh wal-Mansuukh minal Akbaar karya Al-Hazimi.

       
   5. Mengetahui Asbabul Wuruud Hadits
      (Asbabul Wuruud=Sebab-Sebab Disabdakannya Suatu Hadits)
      Mengetahui sebab-sebab disabdakannya suatu hadits sangat membantu dalam 
memahami maksud hadits Rasulullah. Termasuk cara yang baik dalam memahami 
sunnah Nabi adalah meneliti (melihat) sebab-sebab tertentu disabdakannya suatu 
hadits, atau kaitannya dengan 'illat (alasan atau sebab) tertentu yang 
ditegaskan langsung dari nash (teks) hadits itu, atau dari istinbath/kesimpulan 
(maknanya), atau yang dipahami (langsung) dari kondisi ketika hadits tersebut 
diucapkan (oleh Rasulullah saw.).

      Untuk memahami suatu hadits dengan pemahaman yang benar dan mendalam, 
tidak boleh tidak, kita harus mengetahui situasi dan kondisi yang menyebabkan 
hadits itu diucapkan oleh Nabi. Biasanya, hadits datang sebagai penjelas 
terhadap kejadian-kejadian tertentu dan sebagai terapi terhadap situasi dan 
kondisi kejadian tersebut. Dengan begitu, maksud dari hadits itu dapat 
ditentukan dengan jelas dan rinci. Tujuannya tidak lain agar hadits itu tidak 
menjadi sasaran bagi dangkalnya perkiraan, atau kita mengikuti zhahir (lahiriah 
dari hadits tersebut) yang tidak dimaksudkan (oleh maknanya). (Kaifa Nata'aamal 
ma'as-Sunnah [hlm. 125]).

      Contoh kasusnya adalah sebagai berikut. Ada sebuah hadits yang berbunyi 
(artinya), "Kalian lebih tahu urusan dunia kalian." (HR Muslim, Kitab 
Al-Manaaqib, no. 2363).

      Sebagian orang menjadikan hadits ini sebagai alasan untuk lari dari 
hukum-hukum syara' (agama) yang berkaitan dengan masalah ekonomi, perdata, 
politik, dan yang semisalnya dengan alasan--seperti anggapan mereka yang 
salah--bahwa itu adalah urusan duniawi.

      Apakah betul ini yang dimaksud oleh hadits tersebut? Sama sekali tidak! 
Karena, di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah terdapat hal-hal yang mengatur urusan 
muamalah: jual-beli, serikat dagang, pegadaian, sewa-menyewa, utang-piutang, 
dan sebagainya. Bahkan, ayat terpanjang di dalam Al-Qur'an turun untuk membahas 
aturan penulisan utang-piutang. "Hai, orang-orang yang beriman, apabila kamu 
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu 
menuliskannya dengan benar ...." (Al-Baqarah: 282).

      Dengan demikian, hadits tersebut di atas ditafsirkan oleh sebab 
diucapkannya hadits tersebut, yaitu kisah penyerbukan pohon kurma atas anjuran 
Rasulullah berdasarkan pendapat beliau yang merupakan dugaan belaka dalam 
masalah penyerbukan pohon kurma. Setelah itu para sahabat menjalankan saran 
Nabi tersebut dengan penuh ketaatan, padahal ketika itu mereka tidak melakukan 
penyerbukan, kemudian Rasulullah saw. bersabda dengan hadits tersebut.

      Contoh yang lain adalah hadits yang artinya, "Barang siapa melakukan 
sunnah yang baik dalam agama Islam ...." (HR Muslim, Kitab Az-Zakaah, Bab 
"Al-Hatstsu 'alash Shadaqah" [IV/2801, 2802]).

      Sebagian orang memahami hadits ini dengan pemahaman yang salah. Sehingga, 
mereka membuat bid'ah-bid'ah (amal yang diada-adakan dan tidak ada dasarnya) 
dalam agama dengan beranggapan bahwa mereka sedang mendekatkan diri kepada 
Allah dan beramal dengan sunnah yang baik, yang masuk dalam kandungan makna 
hadits Rasulullah saw. di atas.

      Akan tetapi, kalau kita merujuk kepada sebab disabdakannya hadits ini, 
akan kita dapatkan sebabnya, yaitu bahwa Nabi pada suatu hari menyuruh para 
sahabat untuk bersedekah. Kemudian, datanglah seorang pria dengan membawa 
bungkusan besar yang kedua tangannya hampir tidak mampu untuk membawanya, lalu 
ia meletakkannya di tengah masjid. Setelah itu, orang-orang pun ikut berinfaq 
sampai muka Rasulullah saw. berseri-seri (karena senang), seakan-akan wajah 
beliau seperti sesuatu yang disepuh dengan emas, lalu beliau mengucapkan hadits 
tersebut.

      Maka dari itu, mengartikan hadits tersebut kepada perbuatan bid'ah 
jelas-jelas secara meyakinkan bukan yang dimaksud. Bahkan, itu merupakan 
kesesatan yang nyata. Dan, sebab-sebab disabdakannya hadits tersebut menjadi 
bukti terkuat akan kesalahan cara pengambilan dalil yang ditempuh oleh mereka.

      Ibnu Hamzah ad-Dimasyqi mempunyai kitab berjudul Al-Bayaan wa at-Ta'riif 
fii Ashaab Wuruud al-Hadiits asy-Syariif yang dicetak dalam tiga jilid. Kitab 
itu termasuk yang paling lengkap dalam bidang ilmu ini (asbaabul wuruud hadits).

       
   6. Mengetahui Ghariibul Hadiits
      (Ghariibul Hadiits=Kata-Kata yang Sulit Dipahami pada Teks Hadits)
      Rasulullah saw. adalah orang yang paling fasih dalam mengucapkan bahasa 
Arab dan beliau berbicara kepada para sahabat dengan bahasa Arab yang jelas dan 
dikenal oleh mereka. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam memahami apa yang 
diinginkan dari lafazh yang diucapkan oleh Rasulullah saw. karena mereka adalah 
orang Arab asli, yang tidak pernah dimasuki (dipengaruhi) oleh bahasa orang 
'Ajam (orang non-Arab).

      Tetapi, dengan berlalunya waktu dan berbaurnya sebagian orang dengan yang 
lain, baik yang Arab maupun yang 'Ajam, bahasa yang dipakai sebagian besar 
orang Arab menjadi lemah. Selain itu, bahasa mereka bercampur dengan bahasa 
orang 'Ajam, serta mereka menjadi semakin jauh dari bahasa Arab yang fasih. 
Sehingga, banyak orang yang menemukan kesulitan dalam memahami hadits-hadits 
Nabi karena mereka tidak mengetahui arti kata-kata dalam hadits-hadits tersebut.

      Oleh sebab itulah, para ulama bangkit menyusun karangan semacam ini, 
yaitu kitab-kitab ghaariibul hadiits. Mereka menyusun sebuah kitab untuk 
menerangkan kata-kata yang sulit dipahami dalam suatu hadits beserta 
penjelasannya. Jika seorang ulama, penuntut ilmu, dan seorang muslim secara 
umum ingin memahami hadits yang baik, hendaklah dia merujuk kepada kitab-kitab 
ghariibul hadiits, yang paling penting di antaranya adalah sebagai beirkut.
          * Ghariibul Hadiits karya Al-Harawi.
          * Ghariibul Hadiits karya Abu Ishaq al-Harbi.
          * Ghariib ash-Shahiihain karya Al-Humaidi.
          * An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits karya Ibnul Atsir.
      Kitab yang terakhir (An-Nihaayah) adalah kitab terlengkap dan paling 
bermanfaat daripada kitab-kitab ghariib lainnya.

       
   7. Memahami Sunnah seperti yang Dipahami Sahabat Rasulullah
      Kaidah ini termasuk yang paling penting supaya seorang muslim berpegang 
dengan sunnah, seperti berpegangnya salafush shaleh, serta agar selamat dari 
penambahan dan pengurangan.

      Dengan demikian, yang paling utama dalam menerangkan As-Sunnah adalah 
hadits-hadits Nabi sendiri, kemudian perkataan dan perbuatan para sahabat 
(al-aatsaar as-salafiyah), karena para sahabat telah menyaksikan turunnya 
Al-Qur'an dan wahyu turun di hadapan mereka. Maka, jika terjadi pemahaman yang 
salah dari salah seorang mereka terhadap Sunnah Nabi, niscaya Jibril akan turun 
kepada Rasulullah saw. untuk meluruskan dan mengoreksi pemahaman yang salah itu.

      Oleh karena itu, para ulama hadits menggolongkan perkataan seorang 
sahabat: "Kami berpendapat begini pada zaman Rasulullah," sebagai perkataan 
yang memiliki hukum marfu' (yang bisa disandarkan kepada Rasulullah saw.). 
Apabila orang-orang berselisih tentang pemahaman suatu hadits, maka pemahaman 
yang paling utama didahulukan adalah pemahaman sahabat Rasulullah saw.

      Contoh untuk kasus ini adalah hadits tentang menghadap ke kiblat atau 
membelakanginya ketika buang air besar atau kecil. Ada atsar (perkataan 
sahabat) dari Ibnu Umar r.a., beliau berkata, "Sesungguhnya yang demikian itu 
(buang hajat) terlarang jika di tempat yang terbuka, namun jika di antara kamu 
dan kiblat ada sesuatu yang menutupi (menghalangi), maka tidak mengapa 
(hukumnya boleh)." (HR Abu Dawud, Kitab Ath-Thaharah Bab "Karaahiyah Istiqbaali 
Qiblati 'inda Qadhaa-il Haajah" [I/3]).

      Kitab-kitab yang penyusunnya banyak menukil atsar-atsar salafiyyah 
(orang-orang shalih terdahulu) dari sahabat dan tabi'in adalah sebagai berikut.
          * Mushannaf 'Abdirrazzaq.
          * Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
          * Sunan Sa'id bin Manshur.
          * Sunan ad-Darimi.
          * As-Sunan al-Kubraa dan As-Sughaa karya Imam Al-Baihaqi.

       
   8. Merujuk Kitab-Kitab Syarah Hadits
      (Kitab-Kitab yang Berisi Penjelasan dan Keterangan dari Matan [Teks] 
Hadits) Termasuk hal-hal yang penting dalam memahami hadits-hadits Nabi adalah 
merujuk kitab-kitab syarah. Sebab, di dalamnya terdapat penjelasan tentang 
gharib, nasikh-mansukh, fiqhul hadits, dan riwayat-riwayat yang tampaknya 
bertentangan sehingga seseorang tidak mungkin meninggalkan kitab-kitab seperti 
ini.

      Para ulama hadits telah meninggalkan kitab-kitab syarah untuk kita yang 
menjelaskan hadits-hadits Nabi saw. Para ulama adalah penerjemah hadits-hadits 
Nabi untuk seluruh umat. Setiap seorang ulama yang lebih dahulu (lebih dekat 
masa hidupnya dari Rasulullah saw.) maka penjelasannya akan lebih dekat kepada 
kebenaran dan lebih layak untuk diterima, biasanya.

      Kitab syarah yang paling utama didahulukan setelah memperhatikan yang 
lebih dahulu zaman penyusunnya adalah kitab yang penyusunnya memiliki perhatian 
terhadap dalil-dalil dengan menerangkan makhaarijul ahaadiits (jalan 
periwayatan hadits) yang bermacam-macam, serta menerangkan shahih dan dha'ifnya 
dalil tersebut.

      Demikian pula harus didahulukan kitab yang penyusunnya paling jauh dari 
fanatik madzhab, yangmana suatu hadits bisa saja dipalingkan olehnya dari makna 
yang sesungguhnya yang diinginkan Rasulullah saw. tanpa disertai dalil yang 
rajih (kuat).

      Di antara contoh kitab syarah hadits yang sesuai dengan pemahaman para 
sahabat dan mu'tamad (yang bisa dipertanggungjawabkan) yaitu sebagai berikut.
          * Syarhus Sunnah karya Imam Al-Baghawi.
          * Fathul Baari karya Ibnu Rajab al-Hanbali.
          * Fathul Baari Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqalani.

Sumber: Diringkas dari Delapan Kaidah Memahami Sunnah, terj. Abu 'Abdirrahman 
Mukti 'Ali 'Abdulkarim (Pustaka Imam Asy-Syafi'i, 2007); judul asli: Dhawaabith 
Muhimmah li Husni Fahmis Sunnah, Dr. Anis bin Ahmad bin Thahir (Jeddah: Husnu 
Salim, 1999).

Oleh: Abu Annisa 

Kirim email ke