Salam,
On Sep 19, 2008, at 10:34 PM, Resza Ciptadi wrote:
Nampaknya disini letak perbedaannya pak, IMHO saya pribadi
perpandangan dasarnya jelas organisasi itu harus menggunakan kernel
Linux secara 100%(supaya masuk konteks Kelompok yang menggunakan
kernel Linux) selain itu yah mesti dibuat interfacenya agar masuk KPLI
Meeting. Di dalam Interface ini paling tidak ada sifat2 berikut:
mensosialisasikanLinux(), memakaiLinuxKernel(). Nah untuk kasus Telkom
dia tidak mengimplement mensosialiasasikanLinux(), sedangkan untuk
awari pengimplementasian memakaiKernelLinux() diragukan(karena yang
disebut dalam dokumen organisasi adalah Open Source tidak spesifik
kernel Linux-- terlepas dari motivasinya apa).
Sebenarnya tidak beda-beda amat, cuma bagaimana cara memandangnya dan
mau sejauh apa pengertiannya. Anda ragu mungkin karena tidak terlalu
dalam melihat ke dalam kedua organisasi tersebut. Akan lebih susah
lagi kalau melihat berbagai macam organisasi lain dengan kompleksitas
masing-masing.
Kalau anda mau sedikit out of the box, akan melihat lebih banyak
persamaan. Misalnya, kedua organisasi itu AWARI dan Telkom menggunakan
kernel Linux. Baik yang free maupun semi proprietary (misalnya
Mikrotik, Vyatta). Kedua organisasi juga mensosialisasikan Linux.
Telkom bahkan punya portal komunitas linux sendiri bersama Onno W.
Purbo (yang kebetulan juga salah satu pendiri AWARI). AWARI juga
menerbitkan buku panduan warnet berbasis Linux / FOSS lengkap dengan
aneka distribusi Linux yang sudah teruji oleh anggota untuk digunakan
di Warnet. Dan tidak kurang-kurang kedua organisasi ini terlibat dalam
aktivitas komunitas Linux, pameran, nara sumber ceramah / seminar,
pelatihan. Bahkan boleh jadi lebih aktif dibanding KPLi manapun :)
Pertanyaannya, kenapa harus 100% Linux? Dasarnya apa? Sementara di
dalam distribusi Linux sendiri bisa jadi banyak sekali paket aplikasi
yang tidak 100% free dan opensource. Toh tidak masalah? So, kenapa
harus 100%? Saya yakin kalau kriteria 100% ini diterapkan justru KPLi
sendiri tidak bakalan lolos. Lha wong masih banyak yang "terpaksa"
masih harus memakai non Linux / FOSS dengan berbagai alasan. Misalnya
tuntutan pekerjaan. Saya tetap berpendapat, bahwa sikap semacam ini
justru akan membelenggu dan menghambat perkembangan KPLi sendiri.
Renungkan baik-baik sebelum bersikap. Dunia ini sudah pasti bukan
hitam putih. Termasuk Linux sendiri. Bahkan si pemilik kernel, Linus
Torvalds pun belakangan juga bersikap seperti itu. So what?
Mengenai pertanyaan anda tentang istilah open source di dalam AD
AWARI, alasan utamanya semata adalah karena pemahaman istilah dan
kesan yang lebih netral. Ini hanya masalah strategi dan positioning
saja, kalau terlalu terang-terangan menyebut Linux atau sebelumnya ada
yang mengusulkan istilah FOSS saja maka akan banyak polemik dan pro
kontra yang mungkin juga akan datang dari calon partner dan anggota.
Jadi ini masalah internal di dalam AWARI saja. Pengertian luasnya,
ketika ini dibawa ke luar sebenarnya adalah FOSS dan termasuk di
dalamnya Linux. Kalau anda mengatakan ini tidak spesifik Linux, ya
memang tidak. Karena di AWARI tidak hanya pakai Linux, tapi apa saja
yang memang dibutuhkan di Warnet. Bahkan, saya pernah tahu ada
beberapa anggota AWALI pun memakai non Linux. Apakah itu masalah?
Menurut saya, itu hanya sekedar pilihan, tidaklah menghilangkan esensi
bahwa dia menggunakan Linux dan memilih untuk bergabung dengan AWALI.
Demikian juga kalau ada orang yang memilih Linux yang tidak free,
Linspire, Xandros, apakah kemudian dia menjadi tidak esensial? Saya
pikir harusnya tidak memandang sesempit itu.
Akan tetapi, kalau memang penyebutan istilah open source itu dikritisi
dan dianggap kurang pas, tidak masalah, perubahan redaksi bisa kita
lakukan dan terima kasih untuk masukannya. Mungkin dalam Rakernas
tahun depan Pengurus bisa mengajukan catatan perubahan istilah open
source ini kepada wakil cabang untuk diambil keputusan. Atau mungkin
menunggu Munas berikutnya. Tidak masalah, perubahan untuk perbaikan
adalah hal biasa.
Btw, pembahasan saya selanjutnya tidak sepenuhnya hanya untuk
menanggapi tulisan anda. Saya gunakan posting anda untuk batu loncatan
menuangkan pandangan saya secara lebih luas yang mungkin menyangkut
hal lain di luar pokok diskusi kita sebelumnya. Harap dimaklumi.
Sebetulnya diskusi ini berakar menurut saya pada posisioning KPLi
sendiri, ini hampir sama penyebabnya ketika membahas apakah KPLI mau
dibadan hukumkan sampai2 akhirnya solusi tengahnya adalah jadilah
YPLI itu.
Saya pikir itu tuntutan yang wajar dan bukankah ILC2007 memang sudah
menyepakati hal tersebut dan mengamanatkan agar dilakukan upaya menuju
ke arah organisasi berbadan hukum. Saya banyak berada di organisasi
dalam berbagai bentuknya, pengalaman saya selama puluhan tahun
menunjukkan kepada saya bahwa pada akhirnya kalau kita mau benar-benar
maju dan berkembang, model organisasi komunitas berbasis voluntary
tidak mampu mendukung kemajuan yang ingin dicapai. Tuntutan internal
dan eksternal akan memaksa organisasi itu menentukan pilihan dan
akhirnya pasti akan membutuhkan wadah legal formal. Solusi seperti
YPLI hanyalah suatu peran antara, pada akhirnya setiap KPLi harus
menentukan sikap. Ada banyak sekali alasannya. Mulai dari masalah
aturan main, tanggung jawab peran fungsi dan kedudukan anggota dan
pengurus, masalah keuangan, sampai kerjasama kemitraan dengan pihak
lain (dalam aturan hukum negara kita perikatan antara dua organisasi
hanya bisa dilakukan apabila sama-sama berbadan hukum) dsb. (bisa
sangat panjang uraiannya) yang intinya: kalau mau maju, KPLi akan
membutuhkan wadah legal formal. Lalu apakah bila sudah berbadan hukum
maka urusan pasti akan lancar? Tentu saja tidak. Saya bahkan berkali-
kali terlibat dalam organisasi komunitas yang maju tetapi saat berubah
jadi badan hukum malah kacau balau. Berpulang pada niat dan kedewasaan
kita dalam berorganisasi dan tentu saja sambil tetap belajar. Tetapi,
secara umum, menjadi organisasi formal akan mendorong kemajuan bagi
komunitas itu. Saya tidak bisa ngomong banyak. Mungkin kalau nanti
saya ternyata sempat hadir ke Bali, kita bisa lanjutkan diskusinya
lebih lanjut soal ini.
Apalagi ketika Linux secara luas sudah dipakai masyarakat apalagi
masyarakat bisnis tentu bukan tidak mungkin para pemain bisnis ingin
berebut pengaruh diantara KPLI2 ini, mirip partai politik berebut
pengaruh di media masa.
Saya paham. Tapi menurut saya, kekhawatiran itu agak terlalu jauh.
Kalau organisasi kita punya aturan main yang jelas di dalam anggaran
dasar, misalnya: tidak berpolitik atau berafiliasi dengan partai atau
ormas manapun, non partisan dan non profit, maka justru dengan mudah
kita menepis pengaruh semacam itu. Sederhana saja. Itu salah satu
manfaat menjadi organisasi formal. Tidak bisa seenaknya. Justru dengan
model OTB seperti sekarang ini ya KPLi lebih rawan ditunggangi.
Kenapa? Lha wong tidak ada aturan main yang jelas kok. Sesukanya saja.
Mau mengibarkan bendera partai di sekretariat pun siapa yang bisa
melarang? Atas dasar apa melarang? Tidak ada hitam di atas putih. Mau
menuntut juga apa yang dituntut? Siapa yang berhak menuntut? Itu
konsekuensi organisasi yang bersifat cair, voluntary, bebas.
Ini sudah kejadian dan yang pertama punya
tendensi ini bukan awari tapi malah justru Microsoft di 2006.
Percayalah microsoft sekalipun tidak akan berbuat macam-macam. Kenapa?
Karena mereka tidak mungkin berhadapan atau membuat komitmen dengan
gerombolan tidak jelas! Saya cerita sedikit. Dulu AWARI mengalami hal
itu, organisasi seperti MS meskipun punya niat membantu, misalnya
mensponsori kegiatan sosial, mereka tidak bisa melakukannya. Kenapa?
Karena masalah sederhana: prosedur mereka melarang pemberian dana
kepada pihak yang bukan badan hukum. Kalau sampai diaudit, celaka
mereka. Demikian juga ketika bertemu dengan Pemerintah, ketika ada
tawaran kerja sama, mereka tanya badan hukum organisasi. Tanpa badan
hukum, mereka tidak bisa melakukan kerjasama. Lagi-lagi ini masalah
prosedural dan aturan hukum. Ketika bertemu partner misalnya vendor
komputer yang menawarkan paket komputer murah, keadaannya sama, mereka
juga perlu payung badan hukum karena harus melakukan perikatan
kerjasama. Bahkan sekedar MOU pun mereka tidak bisa melakukannya. Jadi
tidak ada pilihan lain, badan hukum adalah kebutuhan mutlak. Nah,
ketika membentuk badan hukum itulah selalu kita harus membahas aturan
main organisasi bersama dengan seluruh anggota. Di dalam aturan main
itulah dirancang berbagai macam perisai perlindungan terhadap anasir
dan pengaruh dari luar selain kebutuhan internal :)
Sebagai sebuah komunitas sosial yang harmonis keberadaan pihak-pihak
yang
berkepentingan bila tidak diatur secara fair dapat mengganggu harmoni
dan sifat kekeluargaan KPLI yang memang sebagai sebuah lembaga
paguyuban tempat orang berbagi secara ikhlas tanpa kepentingan apalagi
kepentingan uang. Bahkan mungkin meski diaturpun potensi disharmosi
tetap besar apalagi ketika yang berkepentingan itu memiliki dana besar
macam M$, Telkom, dll.
Bagaimana caranya melakukan pengaturan seperti yang diinginkan di atas
kalau tanpa ada badan hukum? Kalau hanya sekedar deklarasi bersama,
maka satu detik setelah deklarasi ada yang iseng melanggarnya, apa
yang akan kita lakukan? Saya yakin paling banter hanya bisa
mengumpat ... :)
Justru ketika kita berhadapan dengan organisasi besar dan berduit
seperti yang anda sebut diatas dan anda juga punya payung aturan main
legal formal dan badan hukum, pengaturan sangat detail untuk menjaga
harmoni itu sangat bisa dilakukan dan mengikat demi hukum yang kalau
ada pelanggaran, bisa dituntut beneran.
Saya ulang lagi. Kalau bentuk komunitas ini masih OTB, jangankan
mempengaruhi, untuk melirik saja mereka (organisasi besar berduit itu)
tidak akan berselera. Ngapain harus dipengaruhi? Wong dibiarin aja
lama kelamaan akan mati sendiri, kecapekan, bubar jalan. Wong tidak
ada mekanisme jelas untuk regenerasi (buktinya banyak KPLi dikudeta,
termasuk KPLi saya sendiri hehehe) dan ditinggal begitu saja oleh
aktivisnya tanpa bisa dimintai pertanggungjawaban, ya iyalah, wong
tidak ada ikatan apa-apa ngapain juga harus bertanggungjawab. Harus
lapor siapa dan lagipula yang bisa disebut anggota itu siapa saja? Apa
hak kewajibannya kok mereka bisa nuntut sesuatu? Sementara kenyataan
hidup para aktivis akhirnya memaksa mereka untuk serius, tidak bisa
lagi bermain-main.
Mereka (organisasi besar, mapan, formal, pemerintah) hanya menganggap
KPLi tidak lebih dari kumpulan hobbyist dan geek serta tukang ngoprek.
Sehingga kalau ada pejabat yang mengatakan bahwa komunitas dan
organisasi Linux itu tidak kapabel untuk menyelenggarakan support yang
profesional, ya jangan marah. Karena pernyataan itu pada satu sisi,
benar adanya. Itu sebabnya kemudian sejumlah aktivis tergerak untuk
memformalkan gerakan ini, seperti yang dilakukan YPLI, AOSI dlsb.
Sebagi jawaban dan bukti bahwa komunitas ini bisa serius dan
profesional. Akan sangat bagus bila KPLi pun menyusul. Tidak usah
phobia, dalam organisasi formal ideologi dan idealisme, gairah
eksplorasi, kebebasan berwacana, sikap yang lugas dlsb. tetap bisa
disalurkan dan diberi keleluasan ruang gerak, itu tergantung bagaimana
kita menyusun aturan mainnya saja. Bahkan semua itu bisa jadi lebih
terarah dan tidak lagi sekedar OMDO, tetapi juga memiliki kemampuan
untuk membuktikan dan mewujudkan dalam bentuk karya nyata. Dan, karena
punya bentuk formal, pihak yang akan mendukung juga tidak akan ragu-
ragu berkontribusi.
Lalu ada pertanyaan Kapan mau besar bila tidak mau berhubungan dengan
organisasi yang membawa kepentingan seperti organisasi bisnis (sesuai
pernyataan pa Didin awari masuk di dalamnya)? maka itu organisasi yang
membawa kepetingan semacam itu diberi wadah/container di luar KPLI
Meeting yang namanya konfrensi itu. Jadi memang dalam KPLI Meeting
sebaiknya hanya ada satu kepentingan bagaimana memajukan Linux di
Indonesia, tentu masukan2 dari konfrensi akan merembes juga ke KPLI
Meeting tapi harapannya tentu saja tidak menyebabkan disharmoni dan
perpecahan.
Baiklah. Nampaknya jadi lebih terbuka sekarang. Jadi ketakutannya
adalah para outsider ini akan menimbulkan disharmoni dan perpecahan.
Kalau boleh tahu, dasar kekhawatiran ini apa ya? Apa ada indikasi
bahwa misalnya kalau AWARI hadir akan melakukan suatu hal yang
memancing keributan? Lha yang datang cuma 1 orang lho, Ketua Umum
saja. Gampang ngatasinya, tinggal usir keluar atau kalau masih bandel,
keroyok aja! Atau mungkin ada desas desus isu bahkan pernyataan atau
dokumen bocoran yang isinya ada skenario mengacaukan ILC2008 melalui
kehadiran kelompok outsiders? Mungkin intrik pesanan dari salah satu
parpol :)
Kalau boleh saya mengusulkan dan memberi masukan. Dalam situasi
semacam ini, bukan hanya outsider yang bisa menimbulkan ketegangan,
bahkan insider pun punya potensi, kalau aturan main dan tata tertib
musyawarah tidak dibuat sebagai boundaries. Peran panitia di sini.
Oke, cara kedua, untuk mereduksi potensi pembahasan yang melebar dan
menimbulkan polemik berkepanjangan, sebelum acara, agenda pembahasan
sudah ditentukan dan kalau perlu dibikin kelompok kerja yang
melakukan pembahasan pendahuluan lebih spesifik untuk setiap isu.
Misalnya dimulai sejak sekarang di milis ini. Beberapa usulan
pembahasan dan permintaan laporan aktivitas tiap KPLi di posting-
posting belakangan ini adalah awal yang bagus untuk mengarah pada
pembahasan awal pra ILC2008. Peran pemimpin sidang/musyawarah di sini
untuk mengendalikan arena. Ketiga, peserta outsider diminta untuk
terlebih dahulu (sebelum acara) menyampaikan kepada floor apa misi
mereka di dalam musyawarah. Apa isu yang hendak disampaikan? Apa
targetnya? Apa output dan outcome yang diharapkan. Selanjutnya ini
dibahas di kelompok kerja. Mereka (outsider) diminta untuk fokus
kepada pembahasan isu yang telah disepakati saja. Mungkin diijinkan
ikut nimbrung juga dalam pembahasan, sebagai nara sumber referensi. Ya
iya lah, karena mereka kan yang melemparkan isu dan yang ngerti seluk
beluknya secara detail misalnya kalau AWARI salah satunya soal isu
games online. Kalau hadir tapi dilarang ngomong ya percuma saja hehehe.
Masih ada banyak cara lain, yang sifatnya teknis untuk mengendalikan
musyawarah yang melibatkan banyak orang semacam ini. Percayalah, kalau
benar ada semacam konspirasi untuk mengkooptasi KPLi dan membelokkan
arah perjuangan seperti yang anda khawatirkan itu, perlu proses
infiltrasi yang sudah jauh hari dilakukan dan pasca musyawarah akan
terus dimaintain. Tidak akan terwujud hanya dalam semalam di arena
musyawarah.
Menurut saya sebenarnya kekhawatiran seperti itu agak kebablasan
karena para outsider yang dari AWARI atau yang lain sebenarnya bukan
benar-benar outsider dan kita semua kenal siapa mereka dan seperti apa
integritasnya, mustahil mau berbuat kotor seperti itu! Dan yang lebih
penting lagi adalah: motif. KPLi pasti punya value yang amat sangat
besar dan berarti serta bakal menguntungkan kepentingan si "infiltran"
sehingga dia mau melakukan itu. Kenyataannya, mari kita tanya diri
kita sendiri. Value apa yang saat ini dimiliki KPLi? Apakah itu
soliditas dan kebersamaan? Apakah produk penting yang menggetarkan
jagat persilatan? SDM geeks, hacker nomor wahid tanpa tanding yang
mungkin punya tools pamungkas buat menghapus semua windows dari muka
bumi? Atau mungkin ada trilyuner yang mau gabung jadi investor? Ehm,
mungkin ada calon presiden atau calon wakil rakyat?
C'mon guys, wake up. Kita belum punya apa-apa, tidak ada value
signifikan apapun yang bisa memotivasi orang ingin menghancurkan
kita :) Kita ini baru dalam tahap konsolidasi, berusaha menyatukan
semua potensi serta mau mensinergikan gerakan supaya kekuatan menjadi
fokus dan menghasilkan impact optimal. Baru belajar debat, wacana
berorganisasi yang nggak selesai-selesai. Gak usahlah terlalu tinggi
memberikan kredit dan value untuk kontribusi tak seberapa yang bahkan
masih tersendat-sendat. Faktanya, sebagian besar KPLi, jangankan
berbuat untuk masyarakat, berjuang untuk tetap survive aja susah.
Infiltran mana yang tertarik menguasai komunitas yang belum jelas dan
masih sempoyongan begini? Kalau KPLi sudah benar-benar menjadi
organisasi kuat dan dominan di tengah komunitasnya, make sense kalau
ada inflitran yang berminat mempengaruhi dan menunggangi.
Ini lah sementara ini posisioning KPLI2, kecuali posisinya mau dirubah
menjadi terbuka bahkan untuk organisasi lain yang berkepentingan
terutama secara bisnis, konsekuensinya tentu akan ada aliran uang atau
bentuk-bentuk bisnis yang dibawa, tentu ini menjadi positif ketika
KPLI yang sebelumnya selalu bermasalah tentang pendanaan dapat secara
mandiri dan lebih profesional mengembangkan organisasi bahkan mungkin
membuka lapangan kerja. Pertanyaannya apakah mungkin ini dicapai
sedangkan kebanyakan KPLi saja tidak berbadan hukum? Side effect lain
ada kemungkinan kita kehilangan suasana paguyuban di dalamnya dan
selalu berbicara kepentingan tentang kepentingan kita masing2 di dalam
KPLI Meeting. Kita akan berbicara siapa dapat apa bagaimana bagi2nya
dan lain sebagainya(ini suasana yang lebih mirip Asosiasi bisnis saya
rasa mungkin AOSI lebih cocok bersuasana macam ini).
Nah tinggal rekan2 pilih yang mana. Mungkin ini yang dimaksud Quo
Vadis KPLI.
Nah, pernyataan terakhir ini yang melegakan. Saya sepakat. Itu yang
mesti kita pikirkan sekarang, alih-alih mencurigai siapa "orang asing"
yang akan ikut hadir di situ. Memangnya kalau sudah menyandang nama
KPLi bakal steril dan maksum? Bersih dari niat kotor? Hehehe ...
wallahualam.
_______
Regards,
Pataka
--
Berhenti langganan: [EMAIL PROTECTED]
Arsip dan info: http://linux.or.id/milis