Salam, On Sep 22, 2008, at 4:01 PM, fade2blac wrote:
Lalu bagaimana KPLI bisa hidup? Idealnya KPLI hidup dari sumbangan perusahaan-perusahaan atau insitutis bisnis non KPLI yang telah memperoleh profit dari Linux. Perusahaan ini berkepentingan karena KPLI adalah ujung tombak sosialisasi mereka. Disamping itu, juga berkepentingan mengingat mereka telah memperoleh nafkah dari Linux, sehingga sudah sewajarnya memberikan balikan terhadap komunitas yang telah membesarkannya. Selain itu juga bisa menginduk pada institusi pendidikan, yang relatif masih idealis.
Kenyataan tidak seindah teori. Perusahaan yang memperolah nafkah dari Linux tidak serta merta harus berutang budi pada KPLi. Kenapa? Ketika berdiri belum tentu karena peran KPLi, mungkin lebih banyak ditentukan oleh para investor dan justru KPLi hanya numpang. Untuk sosialisasi mereka belum tentu harus bergantung pada KPLi. Mereka punya mekanisme sendiri yang namanya marketing. Kalaupun ada kontribusi KPLi di dalam memberikan pasar barangkali tidak akan cukup signifikan untuk membesarkan perusahaan. Yang saya lihat selama ini, jaringan relasi, kekeuatan modal dan produk serta lobi bisnis lebih menentukan kemajuan dan pertumbuhan suatu perusahaan, dibanding ikatan tradisionalnya terhadap komunitas.
Perusahaan juga punya cara kontribusi sendiri terhadap Linux tanpa harus melaui KPLi, misalnya dengan ikut ambil bagian dalam pengembangan dlsb. Bahkan mungkin bagi perusahaan lebih masuk akal dari sudut pandang kepentingan bisnis bila langsung ikutan nimbrung di dalam proyek distro daripada bergabung dengan program KPLi. So, bagaimana caranya mengkaitkan mereka dengan KPLi? Selain alasan historis, sulit mencari alasan lain. Apalagi namanya perusahaan punya aturan main yang terikat secara hukum terhadap manajemen, pemegang saham dan juga kepada negara (misalnya masalah pajak) yang tidak bisa serta merta begitu saja ngasih dana ke KPLi. Apalagi KPLi-nya tidak berbadan hukum alias OTB. Salah-salah, dalam audit pajak bisa dituduh sebagai penggelapan. Kepemilikan saham lembaga / badan sosial / non profit di dalam perusahaan pun sekarang ini juga dibatasi, tidak bisa menjadi mayoritas. Jadi sulit mengendalikan secara dominan arah perusahaan, karena memang tidak baik perusahaan yang berorientasi profit tapi disetir oleh kepentingan non profit. Itu sebabnya, bahkan di bidang kesehatan dan pendidikan yang sudah jelas-jelas memiliki misi sosial sekalipun, kalau ingin profesional dan comply dengan peraturan ya harus berbadan hukum bisnis.
Bagaimana jika ada KPLI yang kesulitan menerima sumbangan/kontrak? Silakan meminta bantuan pada institusi usaha yang memang sudah siap. Bisa ke YPLI, yayasan ubuntu, atau bikin yayasan KPLI, atau ke salah satu PT yang bergerak di Linux yang memang secara institusi sudah disiapkan untuk itu.
Itu bisa jadi solusi yang masuk akal di dalam teori. Tetapi di dalam praktek tertib administrasi keuangan, tidak banyak perusahaan atau lembaga donor yang mau dengan cara seperti itu. Karena seperti yang saya sebutkan di atas, itu bisa menjadi pintu kesalahan manajemen keuangan. Misalnya tadi, dituduh sebagai penggelapan pajak. Atau mungkin lebih parah lagi money laundry. Transaksi keuangan dari badan hukum itu diatur oleh undang-undang, bukan semau-maunya meskipun niatnya baik kalau caranya / mekanismenya salah, bisa berabe. Dalam hal ini, Yayasan yang bertindak sebagai bridging dalam penyaluran dana dari badan hukum (perusahaan / donor) ke KPLi yang OTB bisa terjerat pidana penggelapan. Jangan menggampangkan. Pelajarilah lebih dalam masalah ini untuk lebih berhati-hati. Jangan malah di belakang hari jadi runyam.
Sifatnya yang cair membuat KPLI tidak pernah solid dan dari dulu begitu-begitu saja. Tapi kecairan ini juga membawa manfaat bahwa KPLI tetap ada wujudnya sepanjang pengguna Linux masih ada. Dan sifatnya yang egaliter (tidak ada pengurus pusat), tidak ribet, siapa saja dapat mendirikan, dapat mewadahi mahasiswa atau pengguna lain yang ingin berkontribusi di Linux tanpa kepentingan bisnis.
Pro kontra akan selalu ada. Tinggal mari kita membuat analisa yang obyektif. Apakah bentuk OTB selama 10 tahun terakhir ini sudah benar- benar optimal untuk mengembangkan visi dan misi kita? Ataukah justru lebih banyak jadi hambatan? Bagaimana dengan potensi yang hilang selama ini berapa nilainya kalau mungkin dikuantifikasi dan dibandingkan dengan nilai kontribusi yang berhasil dilakukan. Apakah sebanding? Ataukah neraca kita justru rugi? Bagaimana dengan tuntutan pada masa sekarang dan tantangan di masa depan? Apakah bentuk OTB masih akan tetap diyakini mampu mengakomodir semua kepentingan dan harapan serta dapat mewujudkannya? Dlsb.
Mari pikirkan secara lebih bijaksana dan out of the box, demi untuk melihat sudut pandang yang lebih luas dan obyektif terutama dengan melihat resikonya. Sudah bukan jamannya kita terjebak romantisme voluntary. Di banyak tempat, organisasi voluntary pun terbukti bisa dikelola secara resmi dan profesional serta mendunia tanpa kehilangan semangat voluntary dan idealismenya. Salah satunya yang terbesar adalah Red Cross dan badan-badan sosial UN. Mana yang akan kita kedepankan? Semangat voluntary dan ideologinya atau bentuknya? Sebab voluntary bukan berarti harus atau identik dengan OTB / informal serta tidak profesional. Itu dua hal yang berbeda.
Untuk mengabadikan semangat voluntary dan ideologinya di dalam lembaga formal, semua bisa dinyatakan dalam statuta / anggaran dasar organisasi dan menciptakan sistem yang mampu menjaga keberlangsungan semangat semangat tersebut dan menjadi pegangan seluruh anggota. So, ada banyak jalan. Jangan terburu memutuskan. Untuk suatu hal yang penting, perlu menggali pengetahuan lebih dalam dan belajar dari sumber mana saja.
_______ Regards, Pataka -- Berhenti langganan: [EMAIL PROTECTED] Arsip dan info: http://linux.or.id/milis