Pak Loeky yang baik, Anda satu-satunya pendukung aturan burqa ini yang masih sanggup mempertahankan akal sehat dan tidak secara defensif membabi buta membela peraturan itu. Saya respek. Dan saya akan tanggapi lebih lanjut di bawah ini, setelah setiap point Anda.
manneke -----Original Message----- > Date: Thu Nov 23 06:59:59 PST 2006 > From: "loekyh" <[EMAIL PROTECTED]> > Subject: [mediacare] Re: Belanda Berencana Larang Jilbab > To: mediacare@yahoogroups.com > > Pak Manneke, yg sangat dikuatirkan/ditakuti oleh pembuat aturan > seandainya orang dibolehkan memakai burqa itu bukan si pemakai burqa > yg rutin memakainya sebagai kewajiban agama, ttp ORANG2 LAIN yg > berniat jahat menyalahgunakan pakaian burqa (seandainya tak dilarang) > untuk mencuri, memperkosa, atau melakukan teror. > > Jadi sasaran peraturan ini BUKAN PARA MUSLIMAH PEMAKAI BURQA, ttp > ORANG2 YG BERPOTENSI MENYALAHGUNAKAN PEMAKAIAN BURQA untuk tujuan2 > jahat. Lagi pula saya pastikan peraturannya tidak akan berbunyi "Para > 'muslimah' dilarang memakai burqa" ttp kira2 berbunyi semacam berikut > "SIAPA PUN dilarang mengenakan pakaian atau penutup kepala yg menutup > seluruh wajah" (bunyi yg tak ada kaitannya dg unsur agama). JAWAB: Alasan yang masuk akal, tapi menjadi tak masuk akal ketika muslimah berburqah yang bukan teroris justru yang kena getahnya, sementara terorisnya bisa cari 1001 cara lain untuk mengebom. Bisa pakai HP, pakai baterei, pakai jam waker. Nanti, jangan-jangan semua ini juga akan dilarang karena dikhawatirkan akan bisa dipakai teroris. Si teroris tak terlalu kena dampak pelarangan itu, sementara perempuan muslim berburqa jelas langsung terkena dampaknya. Ayolah, Pak Loeky, Anda selalu sangat tajam dan jernih dalam memandang persoalan. Mengapa dalam hal ini tiba-tiba menjadi terkesan gamang? > > Karena jumlah para pemakai burqa di Belanda cuma sekitar 50-100 saja, > yg lebih banyak kena larangan ini justru orang2 yg harus jalan malam > dg tutup kepala pemain ski (untuk menghindari dingin), anak2 muda yg > ingin ikut meramaikan pesta Halloween di Belanda, para pemakai helm yg > sangat tertutup, dsb. Mestinya golongan belakangan yg lebih banyak > jumlahnya inilah yg rame2 protes, bukan para pembela muslimah yg > sangat sedikit jumlahnya. JAWAB: Ini saya tak setuju. Pemakai tutup kepala ski tak akan kena aturan ini, juga para pemakai helm atau topeng haloween. saya yakin kalau ini terjadi, orang Belanda yang tadinya setuju pada pelarangan burqa akan langsung teriak-teriak, termasuk Meneer Lim yang jagoan demokrasi itu. Bahwa mereka ini tak protes, dan bahkan mendukung aturan itu, alasannya jelas: aturan itu spesifik menjadikan burqa sebagai targetnya. > > Yang penting, ajaran agama apa pun harus berada di bawah hukum negara. > Walaupun pemerintah sekuler wajib menghormati keberadaan semua agama > (baik yg sudah lama ada, yg baru saja ada ataupun agama yg akan ada, > termasuk sekte2 baru), ttp setiap pemeluk agama harus patuh pada > aturan2 negara yg dibuat pemerintah. JAWAB: Sejak kapan kita setuju pemerintah mengatur hak individu untuk menentukan pakaian yang sesuai untuk dirinya, apalagi ketika jenis pakaian itu sama sekali tak mengarah pada ketelanjangan? kalau ini disetujui, kita juga akan harus setuju pada pemerintah Bung Karno yang memenjara Koes Plus gara-gara potongan rambutnya meniru The Beatles. Kalau pemerintah diber hak mengatur busana, buat apa kita repot-repot protes soal RUU APP? > > Seandainya setiap orang diberi hak untuk beribadah dan/atau mengenakan > pakaian sesuai ajaran agamanya, siapa tahu kelak 10 atau 20 tahun lagi > ada agama baru atau sekte baru yg memerintahkan umatnya untuk > berpakaian hampir telanjang pada saat beribadah. Celaka dong kalau ada > yg beribadah di dalam pesawat dg pakaian hampir telanjang :-) JAWAB: Jika itu terjadi, maka bairlah 10 atau 20 tahun lagi kita lihat situasinya dan pelajari betul apa yang sedang terjadi. Jangan dispekulasikan sekarang. Ini soal hukum, bukan saham. Yang sudah jelas adalah bahwa pemakai burqa itu tidak telanjang, seperti sekte yang Anda imajinasikan itu. Tak bisa kasusnya ditumpang tindihkan. Yang jelas juga, sikap Belanda terhadap ketelanjangan jauh lebih toleran daripada terhadap burqa. Demokratiskah? Konsistenkah? Terlebih lagi, adilkah? > > Kan MAYORITAS ORANG tidak setuju ada orang berpakaian telanjang di > ruang publik (seperti halnya mayoritas rakyat Belanda tidak setuju > orang berpakaian burqa)? Apakah sikap tidak setuju oleh mayoritas yg > diimplementasikan dalam aturan melarang telanjang di muka publik > memunculkan aturan otoriter ini? JAWAB: Kita selalu merespons tulisan kaum fundies yang mau menang sendiri dengan menentang definisi mereka tentang demokrasi sebagai suara terbanyak. Mengapa kita sekarang memakai paradigma yang biasanya kita tolak itu untuk membenarkan pelarangan burqa? Di dalam negara yang mengaku demokratis dan maju (tak seperti Indonesia yang masih dedel duel), biar minoritas cuma ada 100 orang, hak-haknya tetap dilindungi. Tidak mentang-mentang cuma 100 lalu boleh seenaknya dilangkai atau tak diabaikan. Masihkah kita setia dengan prinsip ini? > > Inti tulisan saya, bagi saya segala sesuatu yg melawan keputusan > aturan/ hukum negara dg alasan2 'religiuous' adalah NONSENSE, sebab > dalam hal ini sangat jelas faktanya: > > alasan2 'religious' (dalam tanda petik) = pembenaran (excuses) ATAS > NAMA AGAMA. JAWAB: Saya juga menganggap NONSENSE semua aturan hukum yang dibuat untuk menekan kebebasan orang dalam melaksanakan beribadah (dan berbusana sesuai ajaran agamanya, tanpa dipaksa oleh kyai, ustad, dsb), namun supaya beradab, maka aturan itu diselimuti sedemikian rupa dengan permainan kata canggih sehingga seolah terlihat demokratis padahal represif. Di mata saya jelas: hukum itu islamofobik, meski diwacanakan dengan cara seolah-olah tidak untuk menyerang Islam. > > Ada banyak alasan lain mengapa saya tak setuju pakaian burqa, mis. > mengapa para pemakai burqa secara psikologis tidak merasa 'risih' > ketika berkomunikasi tanpa memperlihatkan ekspresi wajahnya (semacam > perasaan risih dg pikiran: "Jangan2 lawan bicaraku merasa se-olah2 > sedang bicara dg robot yg cuma bisa ngomong, ttp tak bisa menampilkan > ekpresi?"). JAWAB: Saya juga tak tahu jawabnya, Pak Loeky. yang tahu hanyalah para pemakai burqa itu. Maka saya tak berhak menilai apakah pakai burqa itu membuat risih pemakaianya atau tidak. Bahwa mereka merasa at home dengan pakai burqa, seharusnya cukup merefleksikan kepada kita bukan bagaimana perasaan mereka? Masihkah kita mau memaksakan perasaan kita kepada mereka? > Saya agaknya salah membuat analogi antara larangan berpakaian burqa dg > larangan merokok, sebab yg pertama ditakutkan dampaknya pada orang > lain, sedangkan yg kedua selain dampaknya pada orang lain, juga untuk > diri sendiri (pelaku). Lebih tepat dianalogi dg larangan membawa > senjata api atau senjata tajam di muka umum. > > FYI, selama ber-tahun2 kemudian sejak pertama kali secara statistik > diketemukan KORELASI POSITIF antara kebiasaaan merokok dg penyakit > paru2 dan penyakit2 lainnya, PARA PAKAR masih belum bisa menemukan > secara pasti MEKANISME (BIOLOGI) MUNCULNYA PENYAKIT2 TSB sebagai > akibat langsung dari merokok, selain membuat berbagai teori2. Entah > sekarang, apakah mekanisme munculnya penyakit sebagai akibat kebiasaan > rokok sudah diketahui dan sudah teruji secara meyakinkan di lab. JAWAB: Para pakar sudah bisa membuktikan dengan bantuan Rontgen, CT Scan, dsb, bahwa merokok menyebabkan kontaminasi nikotin pada paru-paru. Sejauh mana itu menyebabkan orang jadi sakit atau sehat, sangat ditentukan daya tahan tubuh tiap-tiap perokok. Tapi, sudah banyak riset di pelbagai penjuru dunia yang membuktikan hubungan positif antara rokok dan macam-macam penyakit. Apakah riset tentang bahaya burqa yang konkret dan komprehensif juga sudah dilakukan? bahkan, ketika rokok sudah banyak dibuktikan destruktif pun, negara-negara Barat saja tak pernah mengeluarkan larangan merokok secara menyeluruh. Mengapa tak bisa bersikap sama terhadap burqa, yang di Belanda atau negara Eropa lain sama sekali belum terbukti dipakai teroris untuk ngebom? > > Jsdi cukup dg menggunakan data2 statistik yg diolah secara benar > (bukan asal2-an), orang yg bukan pakar kesehatan/kedokteran pun bisa > langsung percaya 95% atau 90% adanya hubungan sebab-akibat antara > penyakit paru2 dg kebiasaan merokok misalnya, hanya dari ANGKA2 > STATISTIK yg valid. JAWAB: Sayang sekali, statistik soal burqa menyebabkan bahaya terorisme belum pernah ada. Tapi, larangannya sudah mau dibikin. Dan kita mendukungnya? Ke mana akal sehat kita? > Salam > > --- In mediacare@yahoogroups.com, manneke <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > Pak Loeky, dari perspektif siapa atau siapa yang berhak menilai > tentang kebaikan suatu peraturan? Pembuat peraturan? Kaum mayoritas? > Ini sama saja seolah-olah mengatakan, "I have to do this for your own > good." Sangat paternalistik, di samping ada gunanya juga untuk > menutupi otoritarianisme. > > > > Dampak asap rokok pada orang lain sangat konkret dan bisa diukur > dengan berbagai peranti dan teknologi kesehatan. Dampak orang memakai > burqa pada orang lain? > > > > Ada "fear" yang sumbernya bisa ditemukan dan dikukur, ada "anxiety" > yang sumbernya tak jelas. Adilkah melarang sekelompok orang tertentu > untuk memilih cara berpakaiannya sendiri hanya berdasarkan "anxiety" > orang lain belaka? > > > > manneke > > >