Darul wrote:
Assalamulaikum WW

Wa 'alaikumus salaam warahmatullahi wabarakaatuh,

Jadi sistim bank bagi hasil ini adalah sumbangan Islam untuk membuktikan
bahwa Islam itu adalah rahmattan lil 'alamin. Mudahan dapat dimunculkan
produk Islam yang lainnya yang dapat memberi manfaat buat seluruh umat
manusia. Tapi sebaiknya jangan lagi memakai nama (maaf: Islam, Syari'ah,
Jamaah, apalagi ya?).

Mengapa pula orang Islam harus alergi (atau malu?) menyatakan bahwa sesuatu memang dari Islam? Yang tidak pantas adalah melekatkan nama Islam pada sesuatu yang haram contoh: khamr Islami, dll.


Akan tetapi nama tidak mesti menentukan status. Plang nama bank syari'ah tidak mesti menjadikan seluruh produknya sesuai syari'ah. Kadang karena masih banyaknya tenaga yang berasal dari sistem perbankan ribawi, terkadang pola kerjanya juga seperti itu. Misalnya melakukan pinjaman uang dan meminta tambahan dengan menganalogikannya dengan jual beli barang.

Terus terang saya akan lebih memilih layanan keuangan yang sesuai dengan syari'ah dan dijalankan oleh orang-orang yang memang mau memajukan sistem yang syar'i (baca: bukan hanya mau cari untung).

Pertanyaan mak Zul di alenia terakhir ini, telah didiskusikan hangat dan
panjang dulu disini, terutama analisa kritis dari Ronald P. Putra dan saya
selingi dengan sudut pandang yang berbeda. Kalau menurut saya itu adalah
salah satu sistim perbankan, kalau tidak disebut produk perbankan. Kalau
menurut Ronald dan maaf juga MUI itulah sistim yang halal. Menurut saya yang
dhaif, kalau ini disebut halal maka secara inplisit bank ciptaan Yahudi
(mereka tidak memberi nama Yahudi atau Sabat atau sejenisnya) adalah haram.
Pada hal banyak ulama yang masih menerima sistim bank konvensional tersebut.
Apakah suatu akad dengan sama-sama menyatakan sanggup dan menguntungkan
diawal, dan harus ditepati  seperti janji atau komitmennya itu diakhir
kontrak adalah sistim yang termasuk haram?

Setahu saya, meminjamkan uang dengan meminta tambahan pada pengembaliannya termasuk riba dan riba adalah sesuatu yang diharamkan. Adapun melebihkan pengembalian pinjaman sesuai keikhlasan peminjam (bukan karena disyaratkan oleh pemberi pinjaman) adalah sesuatu yang baik.


Adanya keuntungan atau kerugian bukanlah patokan utama dalam halal atau haram. Bukankah pedagang khamr memperoleh keuntungan yang besar sedangkan perbuatannya tetap merupakan dosa?

Adanya sekelompok orang yang membolehkannya tidak menjadikannya halal karena yang menjadi pegangan adalah perintah Allah dan Rasul-Nya dengan pemahaman generasi awal yang terpuji.

Untuk permasalahn bunga bank ini ada sebuah buku kecil yang telah tersedia terjemahan Bahasa Indonesia-nya. "Dialog Ilmiah Bank syariah vs Bank Konvensional", Wahid Abdus Salam Baly, Darul Falah.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman yang pada waktu itu orang tidak memperdulikan lagi harta yang diperolehnya, apakah dari jalan halal atau dari jalan haram". (HR. al-Bukhari, an-Nasa'i)

Menurut saya lagi, jangan terlalu
menyanjungkan yang kita dapat terapkan dan menyalahkan apa saja yang
sebelumnya telah ada. Alangkah indahnya jika yang baru adalah salah satu
pilihan dan yang lama pilihan yang lain. Masing-masing dapat mengangkat
keunggulan masing-masing.


Bukankah syari'at yang dibawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang untuk menggantikan syari'at para Rasul sebelum beliau sehingga hanya ada satu jalan yang benar bagi kita?


Allahu a'lam.
--
Ahmad Ridha ibn Zainal Arifin ibn Muhammad Hamim
(l. 1400 H/1980 M)

____________________________________________________

Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke